Tampilkan postingan dengan label Imagination. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Imagination. Tampilkan semua postingan

Minggu, 19 Februari 2017

Playlist

Aku menghempas pintu sekeras mungkin, bahkan ingin terkesan sengaja.

"Don't be so naive to yourself like that! Cinta itu cuma sampah!" teriakku keras di depan wajahnya yang nampak ketakutan sekaligus menahan pilu. Mata bulatnya yang sejak dulu selalu kujaga agar tak menangis, kini meneteskan bulir demi bulir rasa pedih dalam diam. Untuk sesaat, bibirnya mulai bergetar pelan, hendak mengucap entah apa, namun tak kunjung bersuara karena jelas terlihat rasa takut merasukinya dengan gila.

"Apa?! APA?!" Sebelum lancar ia berkata-kata, kembali bentakanku menyayat pendengaran.

"APA!!!" bentakku untuk terakhir kalinya pada malam itu.

Ia yang sedari tadi hanya diam menatap, akhirnya mengangkat tangan kanan dan mengusap pipinya perlahan, berbalik mengambil tas di sebelahnya dan berjalan pergi, meninggalkanku yang merasa puas tersenyum dengan keberhasilan egoku di pertengkaran kami yang ke sekian kalinya.

***

Jelas, malam itu, aku ingin dia kejar seperti biasa. Meraih tanganku lembut, memelukku dari belakang, kemudian membisikkan kata maaf hingga aku kembali utuh ceria. Namun tidak dengan kenyataan, karena tepat tiga bulan yang lalu, di malam itu aku hanya pergi dijemput sang hujan. Bukan, tak seperti hujan yang biasanya kami tertawakan, yang biasanya selalu menjadi pelengkap acara jalan-jalan dan kisah romansa kami berdua. Hujan malam itu membawa rasa sakit yang tak kunjung reda hingga sekarang. Meski hanya menitik rintik demi rintik, tapi tanpa jeda, tanpa rima, tanpa tawa.

Ah, percuma. Tak mungkin setelah sekian lama, ia akan muncul membawa peluk hangat lalu kami kembali bahagia, batinku pelan.

Sepasang sepatu putih usang bergaris merah yang selalu kupakai kini kulempar ke sudut kamar. Berjalan di sekitar komplek rumah dan menangis hingga terbawa tidur, adalah dua cara ampuhku untuk cepat melupakan. Untuk memendam dalam-dalam masalah apa saja yang dapat membuatku kehilangan fokus dan akal sehat semampu yang kubisa. Tapi, tidur sudah. Mataku berontak kala kupaksakan membaca buku yang ada di pangkuan. Di luar, gerimis sang hujan berbisik dengan sendu dalam keheningan pagi yang masih terlalu buta. Tidak, jangan tidur lagi, batinku pelan berbicara.

Pandanganku beralih pada kasur yang kembali menggoda. Terlalu menggoda, malahan, hingga menatapnya saja pun kelopak mataku mulai terayun menutup. Spontan aku meluruskan duduk, dengan sedikit gelengan di kepala. Keluar sajalah.

Berdiri dengan cepat, kupakai sepatu putih usang bergaris merah itu dan bergegas menuju depan rumah. Tercium aroma hujan yang khas. Hmm... petrichor. But this time, without you.

Dengan parka abu yang menutup hingga leher, hoodie di kepala, celana hitam, dan sepatu kusam, aku mulai berjalan pelan. Tangan kiriku memasang earphone di kedua telinga, sementara tangan kanan menyusup masuk ke dalam kantung parka, menekan tombol yang menyalakan playlist acak seperti biasanya.

Tak seperti hari-hari sebelumnya, pagi ini tidak ada tujuan. Tidak ke taman komplek, tidak ke tempat bubur langganan sarapan, tidak tahu kemana. Pokoknya jalan saja, tanpa tujuan, dengan musik bervolume penuh di telinga, biar ramai dan lupa. Aku hanya ingin berjalan menjauh saja dari semua kekalutanku, dari kecemasanku, dari kamu.

Taylor Swift - If This Was a Movie
Come back, come back, come back to me like you could, you could, if you just said you’re sorry, I know that we could work it out somehow, but if this was a movie you’d be here by now

Salah lagu, batinku pelan. Jelas, kisah cintaku bukan sebuah film layar lebar, dan setelah semalam, jelas sudah ia tak akan kembali merengek seperti biasa. Jalanku semakin cepat, bahkan tanpa memperdulikan hujan yang semakin lebat. Kepalang tanggung lah.

Charlie Puth ft. Selena Gomez - We Don’t Talk Anymore
There must be a good reason that you’re gone, every now and then I think you might want me to come show up at your door, but I’m just too afraid that I’ll be wrong

Ya, mungkin hanya anganku saja. Ia sudah lelah dengan manjaku yang menyusahkan, mana mungkin ia masih mengharapkan aku muncul lagi? Bertanya kabarku saja pun sudah tidak. Mungkin aku malah akan diusir.

Alessia Cara - Here
But really I would rather be at home all by myself, not in this room with people who don’t even care about my well-being, I don’t dance, don’t ask, I don’t need a boyfriend, so you can go back, please enjoy your party, I’ll be here

Ha! Aku tak butuh kamu, teriakku bisu. Mulutku tanpa suara ikut bernyanyi sambil sesekali terpejam, menikmati irama dan mulai yakin kalau aku mampu melupakan.

Tove Lo - Habits (Stay High)
You’re gone and I gotta stay high all the time, to keep you off my mind, spend my days locked in a haze, trying to forget you babe, I fall back down

Walaupun tak separah liriknya, aku memang sudah berusaha keras melupakan. Menyibukkan diri dimana-mana, berusaha tidak menatap pesan-pesan lama, apapun demi melupa.

Shawn Mendes - Stitches
Tripping over myself, aching, begging you to come help, and now that I’m without your kisses, I’ll be needing stitches

Memang usahaku sudah sedemikian rupa, tapi tetap saja tak bisa menipu. Luka yang tersisa masih menganga, dan tak diacuhkan barang sedetikpun. Setelah semua yang dilalui bersama, pada akhirnya tak ada lagi kamu.

Bruno Mars - It Will Rain
‘Cause it would take a whole lot of medication, to realize what we used to have, we don’t have it anymore

Langkahku makin pelan, tanpa sadar mengimbangi lagu yang mengalun pilu. Air mata mulai menggenang di pelupuk. Bahkan hujan pun mengerti dan kini semakin deras, walau aku tetap saja acuh tak peduli walau harus basah kuyup.

Paloma Faith - Only Love Can Hurt Like This
Say I wouldn’t care if you walked away, but every time you’re there I’m begging you to stay, when you come close I just tremble

Benar yang selalu ayahku bilang tentang cinta. Selalu sama saja, selalu luka, selalu sisa tiada. Seperti teriakmu malam itu, kalau cinta cuma sampah. Tangisku pecah.

Imagine Dragons - Radioactive
I’m waking up, I feel it in my bones, enough to make my system blow, welcome to the new age, to the new age, welcome to the new age, to the new age

Seakan tersadar dari berbagai lamunan cengeng tadi, kini aku berjalan dengan cepat, basah namun lebih semangat. Ya, sudah cukup. Sudah saatnya lembar cinta aku tutup rapat-rapat.

Linkin Park - Numb
I’m tired of being what you want me to be, feeling so faithless, lost under the surface, don’t know what you’re expecting of me, put under the pressure of walking in your shoes

Hujan makin gila seakan tahu lagu di telingaku sedemikian menyeruaknya. Masa bodoh. Hari ini, galauku harus selesai!

Avril Lavigne - Wish You Were Here
I can be tough, I can be strong, but with you it’s not like that at all, there’s a girl that gives a shit, behind this wall, you just walked through it

Sialan, kembali lagi ke lagu sentimental seperti ini. Kusut sudah jalan pagiku kini. Terlalu banyak emosi yang tumpah. Membuat jantungku protes karena lelah. Membuat adrenalinku naik-turun seperti orang payah. Membuat khayalku terbang tak terarah. Tak jelas sudah.

Nafasku masih sesak dan batinku masih jengah, ketika hujan tiba-tiba mulai reda. Aku mengangkat kepala. Tiba-tiba saja kini aku berdiri di depan rumahnya yang sepi ditemani rintik hujan yang jatuh dengan pelan. Sudah tiga bulan. Nafas lelah terhela. Masih tidurkah? Lampu kamarnya masih menyala samar dari sela jendela.

Coldplay - Fix You
Lights will guide you home, and ignite your bones, and I will try to fix you

Haruskah aku mendekat dan mengetuk? Mungkin kata maaf kini masih berlaku. Mungkin sudah bukan waktunya lagi untuk mengedepankan ego dan malu. Lagipula, sudah tak nyaman terasa sepatu ini dengan air bekas hujan tadi yang merembes penuh gerutu.

Lady Antebellum - Need You Now
It’s a quarter after one, I’m all alone, and I need you know, said I wouldn’t call but I lost all control and I need you now, and I don’t know how I can do without, I just need you now

Tanpa kusadari, kakiku melangkah tanpa seizing logika. Maju lalu diam mematung di depan pintu, dengan tangan kiri kini melepas earphone sebelah kiri. Pelan, kuketuk pintu dengan ragu.

Satu.
Dua.

Tiga.

Hampir aku berbalik hendak pulang ketika pintu mengayun terbuka. Ia disana, dengan wajahnya yang terkejut. Sama denganku, earphone miliknya satu di telinga kanan, pasangannya tergantung di bahu kiri.

Adele - Hello
Hello, it’s me, I was wondering if after all these years you’d like to meet, to go over everything, they say that time’s supposed to heal ya, but I ain’t done much healing

“Hei...” ucapku lirih. Tak tahu harus berkata apa, tak menyiapkan kalimat yang cukup layak.

“Aku... minta maaf.”

***

Ada Band - Manusia Bodoh
Tiada yang salah, hanya aku manusia bodoh yang biarkan semua ini permainkanku berulang-ulang kali

Aku tertegun. Bagaimana mungkin setelah tiga bulan lamanya aku berusaha acuh sekuat tenaga, kini ia di hadapanku meminta maaf dengan sekujur tubuh yang basah kehujanan. Sejahat inikah efek dari diamku? Padahal aku diam karena merasa bersalah sudah sekeras itu padanya di malam tiga bulan lalu. Bodoh, batinku pelan, bukan padanya tapi pada diriku sendiri.

Tangga - Terbaik Untukmu
Mungkin ku cuma tak bisa pahami bagaimana cara tunjukkan maksudku, aku cuma ingin jadi terbaik untukmu

“Aku yang maaf...” sahutku pelan. Aku tak terpikir untuk mengatakan semua yang bergejolak di kepala. Lidahku terlalu kaku, nyaliku terlalu ciut. Terlanjur merasa bersalah dan malu sudah menyakitinya sedemikian pilu.

Dygta - Kesepian
Ku rindu disayangi, sepenuh hati, sedalam cintaku, setulus hatiku

Ia hanya diam menatap dalam ke arahku, dengan air mata yang menggenang di pelupuknya. Rasa bersalahku kian kuat.

“Maaf, untuk membuatmu serapuh ini, untuk semuanya...” Kuberanikan diri menyentuh pipinya yang dingin dan mengusapnya lembut. Bibirnya bergetar pelan, tapi bukan untuk menangis. Ia tersenyum penuh haru dengan tangis yang akhirnya meledak. Peluk menghambur.

Aerosmith - I Don’t Wanna Miss a Thing
I don’t wanna close my eyes, I don’t wanna fall asleep ‘cause I’d miss you baby, and I don’t wanna miss a thing
‘Cause even when I dream of you, the sweetest dream would never do, I’d still miss you, baby, and I don’t wanna miss a thing


Kali ini dari playlist kami berdua yang secara bersamaan memainkan lagu yang sama. Kami yang sama-sama terbiasa mendengarkan lagu sekencang mungkin sama-sama tertegun. Sekebetulan itu. Ia menengadah ke arahku tanpa melepas peluknya. Tersenyum manis, yang membuat aku tak tahan untuk tak mengecup keningnya lembut.

Selasa, 06 Oktober 2015

Sesal

"Please, come with me.."

Parau, Marcel memohon lewat suaranya yang serak. Pria itu berdiri di depan sebuah toko cokelat sambil diguyur derasnya air hujan.

Mirsha menggeleng.

Wanita itu menggenggam tas tangannya di tangan kanan, sementara tangan kirinya erat memegangi gagang payung merah yang sedari tadi hampir terbang ditiup angin kencang.

"Mirsha.. Please, marry me.."

Marcel benar-benar memintanya tanpa basa-basi.

Mirsha menatap Marcel pekat. Matanya yang agak sipit dan mulai sayu dengan kacamata yang ia ingat kalau dulu ia lah yang memilih frame untuk pria itu. Hidungnya yang mancung dengan sempurna. Bibirnya yang tipis nan menggoda. Kumis dan janggut tipis itu. Walau dibasahi derai hujan dan dengan tampang yang mengiba, Marcel tetap terlihat gagah.

Meski begitu, Mirsha kembali menggeleng.

"Kamu pikir aku akan jawab iya?" Mirsha menghela nafas pelan, "Bukan.. Kamu pikir, aku masih akan jawab iya?"

"Come on.."

"How dare you, Marcel. Detik yang lalu, kamu baru saja berselingkuh di belakang seorang wanita, dan detik berikutnya, dengan berani kamu melamarnya.."

"Aku 'kan sudah minta maaf berulang kali, Mir. Aku lupa diri. Aku sudah membongkar semua rahasia yang aku tutup-tutupi selama ini."

"Dan kamu pikir, segampang itu memberi maaf?"

"Kamu selalu seperti ini. Tidak pernah bisa menutup kesalahan seseorang di masa lalu. Aku sudah berjalan ke depan. Kenapa justru kamu yang terus saja berbalik ke belakang?"

"Lalu apa? Kamu marah dengan sikapku ini?"

"Yeah.. Maybe.. No.. But.. Aahh! Sudahlah! Ini cuma memperburuk keadaan, kamu pasti akan membahas hal itu lagi."

"She's my bestfriend, Marcel!"

"Dia yang duluan menggodaku, Mir!"

"Bullshit!"

"Tutup mulut kotormu, Mirsha! Kamu masih saja bersikap seperti ini, tidak pernah bisa berubah!"

"Begitukah? Then should I marry you?"

"....."

Marcel kelu. Bulir-bulir hujan menyusuri wajahnya tanpa henti, membuatnya memicingkan mata.

"Aku mencintaimu. Sudah. Itu saja. Alasanku cuma sesederhana itu.."

"Sudah, Cel? Aku takut kehabisan wafer cokelat.."

Mirsha mengalihkan pandangan ke arah etalase toko cokelat. Di bawah lindungan payung merah, begitu jelas, kedua bola matanya berkaca-kaca.


*


"Jadi, kamu akan tetap menikahinya?"


Marcel tertunduk, merenung di balik kemudi mobil sambil menatap kosong layar ponselnya. Satu pesan singkat yang sedari kemarin menunggu dibalas, karena sesungguhnya Marcel memang tidak mampu. Dan satu pertanyaan sederhana itu mampu membuat perut Marcel seakan keracunan makanan. Perutnya melilit.


"Aku ke rumahmu sekarang, ya. Ada penjelasan yang harus aku jelaskan."


Marcel memutar kunci, menjalankan mobil dan berbelok ke kanan di pertigaan depan. Padahal, sudah dihafalnya rumah Mirsha hanya tinggal lurus saja tanpa perlu berbelok.


"Mir, aku agak terlambat, ya. Macet."


Marcel mengetik dengan tergesa-gesa sambil menginjak gas.


*


Di depan rumah bercat kelabu Marcel memarkirkan mobilnya. Tak sampai lima langkah, ia sampai di depan pintu.


"Aku 'dah di depan, Sheil."


Kembali ia mengetik pesan.

Satu menit.

Dua menit.

Tiga menit.

Tak ada balasan.

Mata Marcel melirik gulungan koran harian yang diacuhkan di dekat keset. Mana Misheil?

Jempol Marcel menekan tombol hijau di ponsel, mencoba menghubungi nomor Misheil. Nada sambung terdengar di telinga kanannya, lama, panjang, dan mengambang, hingga akhirnya berhenti sendiri tak ada jawaban.

"Sheil?"

Meragu, Marcel mengetuk pintu. Mendorongnya sedikit, yang ternyata tidak dikunci. Sekali lagi dihubunginya nomor Misheil.

Dan itu dia.

Terdengar.

Dari arah ruang tengah, sayup dering ponsel Misheil yang dikenalnya. Marcel menghampiri sembari menyapu pandangan ke seluruh ruangan. Nihil, tak ada siapa-siapa. Tangannya berayun meraih ponsel Misheil dan sedetik kemudian ia tersentak begitu menatap tulisan yang tertera di layar ponsel Misheil.


DUMBASS is calling.....


Spontan Marcel memutuskan panggilan teleponnya. What the!

"Sheil! Misheil! Ini aku Marcel, kamu di atas?"


Marcel melangkah kesal menaiki anak tangga. Sayup suara televisi terdengar dari atas kepalanya. Mungkin ia sedang menonton..


"Marcel.."


Sejenak Marcel mematung ketika sadar suara seorang wanita memanggil lirih namanya.

"Sheil?"

Marcel mempercepat langkahnya, kini ia sudah sampai di anak tangga teratas. 


"Maaf, Cel.. Seharusnya aku dan kamu sama sekali tak perlu bertemu.."


Marcel menoleh ke arah sofa biru tua yang kosong di depan televisi. Sudah jelas pendengaranku rusak..


"I loved you, I really did.."


"Mirsha?!" panggil Marcel seketika. Perut yang sejak awal sudah melilit terasa semakin mulas. Bagaimana mungkin ia mendengar suara kekasihnya sendiri di rumah Misheil?


"Sehabis kamu menonton rekaman ini, kita tak akan pernah bisa bertatapan langsung lagi.."


Marcel, dengan limbung, berjalan menghampiri televisi yang tengah menayangkan sosok Mirsha dengan jelas. Wanita yang ia cintai itu hanya mengenakan handuk putih bersih melilit tubuhnya hingga bagian dada. Kini, di kepala Marcel, seribu kalimat tanya meletup-letup.


"Marcel.."


Pria itu menatap sosok Mirsha di layar yang lagi-lagi menyebut namanya lirih dan.. terisak. Wajah Mirsha begitu sayu, pucat dan lemas. Matanya merah dan kelopak matanya begitu dalam. Tiba-tiba saja Mirsha menangis, dinding air matanya runtuh. Dengan gemetaran jemari mungilnya mengusap pipi yang basah oleh tetes kesedihan. Seluruh tubuhnya berguncang, ia menangis tersedu-sedu.

Marcel baru saja melayangkan pandangannya pada pintu kamar tertutup di sebelah sofa yang didudukinya, ketika suara isakan Mirsha di layar terdengar mulai berubah. Kini bibir merahnya mulai tersenyum lebar, dan akhirnya ia cekikikan.


"Leave him now, darling.."


Samar namun cukup jelas untuk didengar Mirsha, suara seorang wanita lain terdengar. Mirsha menatap ke arah lain, lengannya terulur menerima sesuatu, dan mendadak air mukanya kembali nampak sedih. Perlahan namun dengan pasti, Mirsha mengarahkan sebilah pisau dapur yang tajam, ke lehernya sendiri. Ia menatap ke arah kamera sambil tersenyum pilu.


"Good bye, Marcel.."


WAIT!!! Refleks oleh rasa ngeri akan apa yang selanjutnya mungkin terjadi, Marcel menekan tombol power off di remote televisi yang ada di sebelahnya. Jantung Marcel bergemuruh hebat.

APA-APAAN INI?

Marcel tahu jelas Mirsha bukanlah seorang bintang televisi, bahkan iklan sekalipun. Ya, karena memang bukan. Tapi yang baru saja ia lihat itu apa???

Kedua mata pria gagah itu dengan marah sekaligus bingung menatap liar mengelilingi ruangan. Kabel panjang, port USB, kaset kecil, handycam, dan banyak benda tak jelas lainnya. Marcel makin tak paham.

Kedua kaki Marcel melangkah tergesa-gesa menghampiri pintu kamar yang tertutup. Kegelisahan memuncak. Ia mendorong pintu itu dengan kasar, dan seketika, bau busuk menyeruak menusuk hidungnya. Ingatannya akan sosok Mirsha yang hanya memakai handuk dalam video tadi memerintahkannya untuk segera memeriksa kamar mandi. Namun langkahnya terhenti. Banyak hal aneh di kamar tidur ini.

Di lantai berserakan beragam jenis pakaian dalam wanita, juga bermacam botol minuman keras, beberapa di antaranya pecah. Dan tak hanya itu, yang paling membuat rasa penasaran meluap ialah beberapa lembar foto polaroid yang bertebaran di atas kasur yang berantakan.

Marcel segera memungut beberapa lembar dan seketika ia mual menyadari apa yang tengah ia pandangi. Foto-foto dua wanita dewasa yang begitu ia kenal, yang melakukan hal-hal yang sungguh tidak pantas. Tanpa busana. Saling mendekap. Saling menjamah. Ada pula yang membuka kakinya lebar-lebar. Saling menciumi dengan penuh nafsu..

Kini Marcel sungguh bisa merasakan bulu tengkuknya merinding. Bukan ketakutan, tapi jijik. Akal sehat nya menyuruh untuk segera lari, untuk berhenti membayangkan apa yang ada di balik pintu kamar mandi. Hanya saja, rasa penasaran menginginkan sebuah jawaban. Kebenaran.

Ia tak perlu membuka pintu itu dengan kasar, karena sejujurnya Marcel begitu ngeri dengan bayangan apa yang akan ia dapati di balik pintu itu. Bahkan sebelum kakinya melangkah masuk ke sana, Marcel dapat dengan jelas memandangi darah segar yang berceceran di sekitar lantai kamar mandi itu.

Marcel sungguh ngeri setengah mati, namun dengan menguatkan mental, ia menarik tirai yang menjadi penghalang pandangannya ke bathtub.

Marcel tercekat.

Seandainya ia mampu, ia pasti akan menjerit.

Tapi pemandangan di depannya terlalu menghancurkan pertahanan diri.

Terlalu menguras energi.

Menyedot seluruh tenaga yang tersisa.

Mengoyak semua kata-kata yang bisa ia keluarkan.

Mirsha dan Misheil sudah tak bernyawa, dengan kedua raga yang terendam dalam kubangan air merah menghitam. Bahkan Marcel masih bisa melihat handuk yang melilit tubuh kekasihnya dalam video tadi, bedanya handuk itu kini berwarna kemerahan.

Marcel terhuyung-huyung ke arah belakang, lututnya lemas, hingga ia akhirnya jatuh di atas ceceran-ceceran darah itu. Ia tak bisa mengucapkan kata barang sepatahpun. Berusaha keras untuk bangkit, Marcel berusaha berjalan keluar meski sesekali ia terjatuh. Ia menyandarkan tubuhnya di sofa sambil bernafas terengah-engah. Bau busuk dan menyengatnya darah serta alkohol membuatnya pening dan mual. Dengan pandangan yang sudah mulai mengabur, Marcel meraih kaset kecil yang tadi ia lihat, memasukkannya ke dalam DVD player, dan memberanikan diri menekan tombol rewind hingga ke detik awal, memainkan barang bukti terkuat yang sejak awal sudah memberi gambaran.

Play.


Sesaat kamera merekam tak jelas, masih menyesuaikan posisi. Sosok Misheil mulai nampak duduk di sisi kasur, menenggak sebotol alkohol yang isinya tinggal setengah. Tak lama, wanita itu menyeringai aneh.

"Now and then I think of when we were together.. Like when you said you felt so happy you could die.."

Dengan suara yang parau, Misheil mulai bernyanyi. Matanya menatap tajam ke arah kamera. Lirik yang ia hafal meskipun dalam kondisi mabuk, diselingi menenggak minumannya, juga sesekali cekikikan sembari memilin-milin rambutnya.

"I told myself that you were right for me, but felt so lonely in your company.. But that was love and it's an ache I still remember.."

Sekali lagi, kamera menyesuaikan angle. Kini sudah lebih jelas dan stabil. Misheil masih tetap bernyanyi ketika satu suara yang lebih merdu bernyanyi seakan menyahuti Misheil.

"Guess that I don't need that though, now you're just somebody that I used to know.."

Mirsha, muncul menghampiri Misheil, tersenyum lebar dan manis. Ia mengambil botol minuman keras itu dari tangan Misheil dan menenggaknya sampai habis tak bersisa, lalu menjatuhkan botol itu ke lantai begitu saja.

Misheil tertawa. Ia mulai menggelitiki Mirsha hingga wanita itu kegelian dan terhempas ke atas kasur, kedua matanya terpejam sedang bibir merahnya tersenyum. Misheil kembali tegak, menatap tajam ke arah kamera, dan mulai bernyanyi lagi.

"Now and then I think of all the time you screwed me over.. But had me believing it was always something that I'd done.."

Misheil masih terus bernyanyi sementara Mirsha bangkit dan mulai menyentuh Misheil. Mirsha menciumi pipinya, hidungnya, mengecup bibirnya..


Fast forward.

Marcel sudah cukup muak sejak tadi. Ia tak perlu melihat apa saja yang kedua wanita itu lakukan, walau banyak pertanyaan mulai bermunculan dari otaknya. Bagaimana bisa mereka jadi seperti ini? Apa yang telah Misheil lakukan pada Mirsha? Dan yang paling penting, apa yang telah Marcel perbuat hingga mereka berdua bisa jadi seperti ini?


Play.


"You must be confused, huh, Marcel?"

Misheil, dengan tampangnya yang teler dan tubuhnya yang tanpa busana, menatap kamera. Mirsha di sampingnya, menangis terisak-isak.

"I just make it fast, stupid! Now you can get the point, right? You stole Mirsha from me. Dia pikir dia bisa sembuh total. Dengan bersamamu. Awalnya dia memang bahagia. Lalu hancur. Semua. Padahal sudah kubilang, semua lelaki sama saja. Dia tak mau percaya. Lalu gampang buatku membuktikannya. Aku masuk ke duniamu. Lalu apa? Kamu mudah saja terperdaya. Dan kini, masih berani mau menikahinya? Sampai kamu mati pun tak mungkin bisa, Marcel. Cinta, katamu? Cih!"

Misheil terbahak-bahak.

"Mirsha pun kembali ke pelukanku. Jadi kamu tak usah repot-repot mengikutinya sampai ke toko cokelat. Wafernya habis! Oh, Marcel.. I'll never say sorry, cause you're jerk.."

Misheil bangkit beranjak, lalu menghampiri kamera, dan menunjuk ke arah Mirsha.

"Mirsha's always mine. Screw you."

Lalu ia pergi. Hanya tinggal Mirsha yang masih menangis tersedu di tempat tidur. Wanita itu mulai mengangkat kepalanya, memandang pilu ke arah kamera dengan wajah basah oleh air mata.

"Marcel.."

Mirsha terdiam cukup lama, matanya lekat memandangi kamera.


Pause.


"Mirsha.." Marcel berbisik sedih hingga akhirnya tak kuasa menahan tangis.

Dibiarkannya video itu berhenti. Tak sanggup melanjutkan hingga ke bagian wanita tercintanya menghabisi nyawanya sendiri. Marcel hanya ingin memandang wajah Mirsha yang menatapnya seperti ini, meski perasaannya hancur hingga tak bisa jernih berpikir. Wajah cantik itu. Sinar mata yang meneduhkan. Senyum yang selalu menenangkan. Kini berganti dengan wajah memucat pasi. Lenyap tenggelam dalam kubangan darah di kamar mandi.

Marcel melipat kedua kakinya ke dada. Mendekapnya. Menundukkan kepala dan menangis sepuasnya. Ia hanya ingin seperti ini. Diam tak beranjak, mengurung semua memori bersama Mirsha dalam hatinya serapat mungkin.

Tak apa, wahai waktu, berjingkatlah jika kau mau.

Tinggalkan saja aku sendiri.

Kubur aku dalam-dalam hingga tak terlihat dari permukaan genangan penyesalan.
­
­
­

Kamis, 19 Februari 2015

Ganjil

1. cintaku yang besar, cintaku yang tulus,
2. telah hilang, menguap, dan kini rasa benciku
3. berkembang setiap hari. ketika melihatmu,
4. aku tak ingin lagi melihat wajahmu sedikitpun.
5. satu hal yang sungguh ingin aku lakukan adalah
6. mengalihkan mata ke lelaki lain. aku tak lagi mau
7. menikahkan aku-kau. percakapan terakhir kita
8. sungguh, sungguh amat membosankan dan tak
9. membuat aku ingin bertemu kau sekali lagi.
10. selama ini, kau selalu memikirkan diri sendiri.
11. jika kita menikah, aku tahu aku akan menemu
12. hidupku jadi sulit, dan kita tak akan menemu
13. bahagia hidup bersama. aku punya satu hati
14. untuk kuberikan, tapi itu bukan sesuatu
15. yang ingin aku beri buatmu. tiada yang lebih
16. bodoh dan egois dari kau, kau tak pernah
17. memerhatikan, merawat dan mengerti aku.
18. aku sungguh berharap kau mau mengerti
19. aku berkata jujur. kau akan baik sekali jika
20. kau anggap inilah akhirnya. tidak perlulah
21. membalas surat ini. surat-suratmu dipenuhi
22. hal-hal tak menarik bagiku. kau tak punya
23. cinta yang tulus. sampai jumpa. percayalah,
24. aku tak peduli padamu. jangan pernah berpikir
25. aku masih dan akan terus menjadi kekasihmu.

catatan:
Tiap baris surat ini sengaja diberi angka, agar kau bisa membedakan baris ganjil dan baris genap.
Baca baris-baris ganjil saja, hapus baris selebihnya.

Jumat, 09 Mei 2014

Reuni

Aku memandang berulang-ulang SMS dari Riana, sahabat terbaikku semasa SMA. Mencoba meyakinkanku biar datang nanti pada saat reuni SMA untuk kesekian kalinya. Aku rebahkan badanku dengan sangat malas dan berat pada sofa yang sudah tidak lagi terlalu empuk. Bahkan pinggangku sempat mengeluh perih ketika tulangku bersinggungan dengan tulang-tulang sofa. Wajahku meringis ngilu. 

“Uhhh.. sakit. Memang sofa tua, terlalu renta.” gerutuku.  

Memang sudah terlalu lama, terlalu sulit untuk diingat, kapan terakhir aku menepuk-nepuk debu sofa biar berterbangan. Kapan terakhir aku menyikat dan menyeka sofa tua kesayangan dan satu-satunya ini. Sofa dengan warna biru tua kelam, hadiah pernikahan dari sahabat-sahabatku dan dia, Riana salah satunya. Riana, sahabat yang begitu ingin aku temui, sahabat yang ingin aku peluk, aku lepas, kemudian aku peluk lagi.

Kupandang sekali lagi handphone butut ini, memastikan akan mengatakan “tidak” pada ajakan Riana. Tapi godaan untuk bertemu Riana sekali lagi membuatku seakan bimbang, berteman dengannya tidak pernah sendu, mudah menghilangkan pilu yang kadang terlalu lama menjadi lumut di hati. Namun… kali ini? Riana… maaf, batinku. 

Jengah. Hari begitu panjang, sedang menunggu dia untuk pulang, menemaniku yang sendirian. Namun masih saja dia disibukkan oleh kemacetan jalan. Sepi, bahkan burung gagak pun akan mati. Mendengarkan irama jam yang begitu monoton diikuti dengan napasku yang sama-sama saja. Begitu standar, begitu-begitu saja. Sejak hari itu, aku bilang hidupku terasa sama, terasa hambar, menunggunya pulang, tanpa bisa melakukan apa-apa. Kecuali… kecuali dengan memainkan social media dan bermain gadget masuk dalam hitungan melakukan apa-apa. 

Sesekali otakku berputar pada sisi reuni SMA. Mengingatkanku kembali pada jaman-jaman indah semasa SMA. Begitu ingin aku pergi pada reuni besok. Begitu ingin kakiku melangkah dan menari riang bersama Riana. Seandainya saja aku bisa, batinku. 

Kusibakkan tirai yang menutupi debu atas sofa. Ia sempat bilang, bulan kali ini begitu indah untuk dipandang. Begitu menggoda untuk dicuri, disandingkan dengan mataku yang berkilauan. Ah, masih saja dia romantis sesuai caranya, pikirku. Pesan yang langsung saja dikirim ketika aku mengeluh tentang rinduku padanya. Sepuluh jam begitu terasa berlebihan untukku. Kasih, cepatlah pulang, rindu membuatku terus menggerutu, pesanku berulang-ulang di telepon. 

Memang bulan sekarang begitu indah. Berkilauan, pamer, membuat bintang disekitarnya menjadi iri. Cahayanya membuat bintang kehilangan perhatian. Rasi bintang terindah dan venus merah pun tercuri perhatiannya. Ah… tapi anggunnya bulan malam ini masih belum bisa menggoyahkan pikiranku tentang reuni besok yang akan terjadi. Pikiranku membayangkan hiruk-pikuk dan kemeriahannya seperti tahun lalu. Tawa dan canda diumbar, bahagia rasanya. 

Lalu… tahun ini, apa aku lewatkan saja? batinku.

Lagi, Riana meneleponku kembali. Seingatku sudah kesembilan kalinya telepon itu datang. Tapi tidak pernah aku angkat. Khawatir terselip rindu dalam getar suaraku. Khawatir terucap kata ingin bertemu, dengan malu yang menunggu. Aku ingin bertemu Riana, bicara, tertawa, bahkan tertidur sementara. Tapi tidak pada masa ini, aku belum siap.

Sama dengan belum siapnya aku untuk mengangkat panggilan dari Riana. Kali ini? Maaf… Riana, ucapku pelan.

Entah kenapa aku begitu mudah larut dalam sendu yang berkepanjangan. Mudah tenggelam dalam rasa sepi, gundah, dan jengah bersamaan. Tidak seperti aku yang dulu, semasa SMA yang begitu bersemangat, mengikuti banyak kegiatan sekolah hingga lupa rumah. Lantas, mengapa aku masih ragu untuk datang pada reuni? 

Reuni. Datang atau tidak, kurasa mereka masih akan mengingatku. Tidak hanya itu saja, mereka akan merindukanku dengan segala keramaian yang mereka buat. Reuni pasti masih ada tahun depan. Mungkin tidak menjadi masalah aku melewatkannya tahun ini, kataku. Hanya saja, harus menunggu selama dua belas bulan, atau empat puluh delapan minggu, atau tiga ratus enam puluh lima hari lagi untuk reuni berikutnya.

Mulai tergoda aku untuk mengatakan iya pada Riana. Menelepon Riana balik, mengatakan iya, kemudian menentukan corak apa yang akan kami pakai pada reuni nanti. Belum selesai khayalanku pada keriuhan nanti, tiba-tiba pintu depan ada yang mengetuk. 

“Iya? Siapa?” teriakku dari dalam.

“Ini aku, akhirnya aku pulang.” jawab kekasihku datang.

“Sebegitu macet dijalan?” tanyaku dengan wajah kesal. Berniat sedikit mencuri perhatian, melempar sinyal bahwa rinduku terlalu meluap-luap saat ini.

Tanpa menjawab ia melepaskan sepatu dan menaruh belanjaan di meja depan, berjalan dengan lelah menghampiriku. Tersenyum, kemudian, “Hai.” Ia mengecupku manis di kening, memelukku erat, mengecup pundakku sebegitu halus.

“Aku rindu.” bisikku.

“Iya, aku tau. Karena sama rasa itu ada padaku.” balas bisiknya.

Ia beranjak, kembali ke depan pintu rumah, mengambil belanjaan yang tadi ia lepaskan. “Beli apa untuk hari ini?” tanyaku penasaran.

“Spesial, nasi goreng mawut plus telor dadar.” senyumnya mengisyaratkan sesuatu.

“Mang Jaksa??” tanyaku buru-buru.

Ia mengangguk. “YEAAH! Makasih sayaaang! Pantesan kamu lama.” erangku manja.

Mang Jaka adalah penjual nasi goreng mawut favoritku semasa SMA. Rasanya begitu menggoda, aromanya terlalu naif untuk ditahan. Aku begitu mencintai masakannya semasa itu, begitu menyukai racikan yang Mang Jaka buat selama bertahun-tahun. Hingga kami lulus pun, aku dan dia masih sering bertandang ke sana.

“Eh, kamu jadi ke reunian besok?” tiba-tiba dia bertanya.

Mendadak nafsu makanku yang tadi banyak, mulai melunak. “Hmm. Masih belum tau. Menurut kamu?”

Ia tersenyum manis menggoda. “Aku rasa Riana juga sangat merindukanmu.”

“Mungkin tidak, aku tidak akan datang.” sambilku membuka bungkusan nasi goreng mawut spesial.

“Yakin?” tanyanya sambil menggeser kursi biar duduk berhadapan denganku.

Aku hanya bisa mengangguk. Mengambil piring yang ia sodorkan, tak sabar untuk makan. Tak sabar untuk menyudahi percakapan. “Masih ada sekitar delapan belas jam untukmu berubah pikiran.” godanya lagi. Aku acuh, mulai makan dan menikmati nasi goreng mawut spesial.

“Enak?” tanyanya sekali lagi. “Sudah pasti lah!” jawabku tanpa ragu, diakhiri dengan tawa kami yang memenuhi seisi rumah.

“Hmm. Sayang, besok pagi jadi kan?” tanyaku lirih.

Ia taruh piring dengan nasi goreng mawut di atas pangkuannya. Kemudian ia genggam tanganku erat, menatap mataku tajam. “Hanya bila kau siap. Dan aku berharap secepatnya kau siap. Meski bukan besok.”

Aku tersenyum manis, “Sudah berapa kali kita menundanya?”

“Berkali-kali. Terlalu banyak.” jawabnya sambil membawa satu suapan nasi goreng mawut ke dalam mulutku.

“Jadi?” tanyanya padaku.

“Aku siap.” tegasku padanya.

Tersenyum dia, lalu berlutut, dikecupnya kedua kakiku, “Selamat diamputasi besok, kaki-kaki istriku.”

Disentuhnya pipiku dengan lembut. Mengusap pipiku dengan jempolnya yang maju-mundur, “Aku mencintaimu, masih sama. Dengan atau tanpa kakimu.”

Diciumnya mesra bibirku yang basah dengan air mata. 

Selasa, 06 Mei 2014

Marah

Sudah sekian lama kau pergi, meninggalkan aku dan teman yang waktu itu hanya mentertawaiku ketika melihatmu jauh. Sembari kau membagi kasih, aku kau tanggalkan. Mencoret-coret kembali warna yang telah pudar, tak berjeda, tanpa perasaan.

Kau menangis palsu. Lidahmu terlalu kelu untuk berdalih. Jidatmu berkenyit, berpikir, drama mana yang ingin kau mainkan. Jauh sejak dulu, kita bertukar gerak dalam layar, tapi kini sirna tanpa jejak. Sering ku mainkan berulang, tapi kau tidak.

Satu.
Dua.
Tiga.

Waktu itu aku yakin dengan cinta. Jarak ujung terjauh samudera dengan selat banda tidak akan mampu menandinginya. Berkata kau dulu,"Aku sayang banget sama kamu."

Dengan wajah sedih, kuakhiri kisah kita. Menyudahi semuanya. Ya. SE-MU-A-nya.

Masa bergerak cepat, berulang kali bulan berganti, matahari nampak begitu lelah menanti. Tapi aku di sini masih marah, tenggelam dalam masa lalu yang begitu penuh sesal. Seandainya, merupakan kata yang sering terbesit semenjak saat itu.

Rindukan damai, menutup mata, dan mulai berhitung kembali.

Satu.
Dua.
Tiga.

Masih saja wajahmu terus berkelana dalam otakku yang kecil dan sempit. Membiarkan aku menyiksa diri tanpa batas, tak berbudi.

A-KU MA-RAH.

Bersenandung aku berbalapan dengan decit kursi yang bergoyang. Diikuti hentakan ujung kaki berbalas-balas. Jemari kananku naik bergantian, menimbulkan bunyi ketika kukuku menyentuh kayunya yang keropos tanpa isi. Sesekali ku tengok jam, lebih dari tengah malam. Tapi kau masih belum ingin pulang. Berkeliaran, muncul timbul dalam memori yang seenaknya kau buka-tutup.

Aku marah. Terlalu marah, hingga mataku menangis begitu lelah. Berpejam, menghitung.

Satu.
Dua.
Tiga.

Kau bilang begitu mencintaiku waktu itu. Apapun yang terjadi kita akan selalu bersama, dalam kasih, dalam pedih. Dalam mesra kita berbagi cinta, tawa, sesekali tangis kita maklumi tanpa sengaja. Bergandeng tangan kita di malam itu, wajahmu terlalu lelah untuk berjalan. Ingin kau menggendong, tapi... memegang tanganmu dan melihat wajahmu berkilauan di bawah sinar rembulan membuatku tak tega untuk menambah beban langkahmu.

Begitu banyak yang bisa membuat kita bahagia dan bertahan. Bahkan, begitu banyak alasan untuk kita kembali bersama. Tapi... kau memilih pergi.

Sa-tu.
Du-a.
Ti-ga.

DOR!

Laras yang dingin kini hangat darah.

Kamis, 13 Februari 2014

Lekat.

I still thinking about me.
About you.
About us.
And what we could be.

After all this time, can we fix it? Can we take that second chance? Can we?

Mencoba aku untuk tidak peduli. Dengan semua angan semu yang mencoba memanah dan menjadikanku sasaran empuk. Berusaha tak melamunimu di setiap detik-detik hidupku yang kosong. Berusaha agar aku tak lagi terjerembab dan berakhir dengan luka yang serupa. Tapi datangnya kamu, kamu dengan berjuta-juta suratan yang tersirat.

Semu.
Muncul bagai letupan debu. Terlihat, tapi samar. Terasa, tapi tak tergenggam.

Abu.
Kembali dengan secercah cahaya, menembus benteng hitam dari bilik terdalam di jiwaku yang mengemas rapat akan semua tentangmu.

Rancu.
Hati ini melonjak-lonjak merintih melihat setitik harapan yang samar kau tunjukkan tapi kau tarik kembali karena adanya dia yang kini bersandar di bahumu.

Palsu.
Kasarku kujejal menyesak ke lubuk. Andai aku cukup berani menantangmu, menunjuk tajam telunjuk ini ke arah wajahmu yang selalu bertamu di mimpi-mimpiku. Untuk sekedar mengharap sang pasti.

Aku, atau dia? Siapa?

Mampuku hanya mematut memangku dagu menunggu. Mengubur lagi memori fana yang sempat kau kuak dan kau bangkitkan.

Sejenak.

Mudah ucapmu berkata sesal, mengajakku mengingat kita dari asal. Dan pada akhirnya kalah lah benteng kokohku, tumpukan patahan hatiku yang telah kususun ulang. Detik ini. Terus kau meyakinkan aku untuk tetap tinggal. Dengan mata penuh sesal.

Detik ini.
Tidak lagi.

Kembali kau dengannya. Membuatku kini menyusun ulang pondasi membatas diri, membenteng antara aku dan kamu bermaksud agar aku tahu diri.

Hancur.

Muak aku percaya, lelah aku terima, omong kosong dan harapan memang tipis terlihat beda.

Hebat.
Kau.

Lekat.

Jumat, 10 Januari 2014

Glasses

”Kacamata kamu kemana?” tanyanya padaku. Aku menahan senyum, dia menatap lurus ke arah kedua bola mata coklat milikku.
”Ada.”
”Terus? Nggak dipake?”
"Nggak." Aku sengaja memelototkan kedua mataku dan berbalik membalas tatapannya. Puas.
”Kenapa?”
”Kenapa apanya?”
”Iya kenapa nggak pake kacamata aja?”
Kali ini aku tak kuasa menahan senyum yang terkembang. Aku menatap lekat ke arah bola matanya yang terhalang kacamata itu, lalu berkata, ”So, you’ll look at me straight into the eye…” Dia segera mengalihkan tatapan dan membetulkan letak kacamatanya. Aku tertawa.

-----

Hujan deras mengguyur di luar sana. Aku menunggu. Dia sudah terlambat hampir setengah jam dari yang dijanjikan. Seperti biasa, mendahulukan yang menurut dia lebih pantas didahulukan. Makan siang, mengantar teman, isi bensin, menjemput teman, nongkrong tak jelas, lalu tersadar jarum jam di tangannya sudah berlari mendahului.

Dia datang dengan langkah tenang. Sekujur tubuhnya basah kuyup. ”Udah nunggu lama?” tanyanya. Tetes-tetes air menutupi kacamatanya yang berembun. Agak geli melihatnya.
”Darimana?” aku membalikkan pertanyaan.
”Macet. Hujan. Hampir banjir..” Dia melepas kacamatanya dan mengusap wajahnya yang basah. Aku terdiam. Tak jadi tersenyum geli. Dia menyipitkan kedua matanya, tak biasa tanpa kacamata. ”Tapi perginya emang udah telat kan?” tanyaku lagi. Dia menghela nafas dan berniat memakai kembali kacamatanya yang masih berembun. Aku menahan tangannya dan merebut kacamatanya, mengambil lap kacamata dari dalam tas, lalu membersihkan kacamatanya dari bekas-bekas tetesan air hujan.
”Nih.” Aku mengembalikan kacamatanya dan dia memakainya.
”Lap kacamata kamu masih kamu bawa-bawa?”
Aku mengangguk.
”Ngapain?”
”Karena kamu nggak pernah bawa-bawa lap kacamata kamu..” jawabku singkat yang membuat dia tertegun.

-----

”Itu tulisannya apa? Kapan?” tanyaku padanya sambil memicingkan mata.
”Yang mana?”
”Itu..” tunjukku ke arah spanduk promosi acara jauh di seberang jalan. Dia malah menoleh heran ke arahku.”Apa?” tanyanya lagi.
”Kamu nggak bener-bener bisa baca jelas tanpa kacamata ya?” kataku padanya. Aku mendelik. ”Lensa kontak kan nggak ada yang buat astigmatisma. Bisa baca, tapi nggak terlalu jelas kalo yang jauh-jauh. Kamu yakin nggak mau pake kacamata lagi?”
Dia mengernyitkan dahi tak mengerti. Matanya menyipit, terpusat ke arah spanduk yang kutunjuk tadi. ”Jum’at minggu depan…” jawabnya, ”Dan aku yakin nggak mau pake kacamata lagi,” lanjutnya. Aku mengangkat bahu. ”Jum’at minggu depan kosong? Mau nonton acara itu gak?”
Dia balik mengangkat bahu.

-----

”Ada sesuatu..” ujarnya saat menghubungiku lewat telepon hari Kamis malam.
”Sama..” jawabku.
”Oke. Apa?”
”Nggak. Kamu dulu deh..” ujarku memberinya kesempatan berbicara lebih dahulu.
”Kacamata aku rusak.”
”Oh ya? Kenapa?”
”Keinjek orang. Kaca pecah, gagang patah, agak parah..”
”Ya ampun. Bukan agak. Itu parah. Terus?”
“Ya aku jadi rabun. Jumat nggak bisa ikut nonton.”
”Hah? Serius? Janjinya gimana dong?”
”Nggak apa-apa kan nonton sendiri?”
”Bisa nggak sendiri sih sebenernya..” aku terdiam sesaat, ”Itu yang tadi mau bilang…”
”Apa?”
”There’s this guy, asked me to go there too..”
“Oh ya? Bagus deh, jadi nggak ada aku nggak masalah..”
Ada yang meradang di dalam dada. “But I said no.”
“Kenapa? Hubungin lagi sana, bilang ajakannya diterima.”
”Kan asalnya maunya sama kamu..”
Dia tertawa. ”Ya abis gimana. Tega? Ini aku udah kayak orang buta, gak bisa lihat yang jelas, blur semua.”
“Telat juga. Mungkin orang itu udah punya acara lain lagi.”
“Hubungin dulu. Pasti mau.”
Ah, sial! Emang gampang?! “Nggak penasaran siapa orangnya?”
“Udahlah, sama siapapun, yang penting ada yang gantiin aku. Oke? Udah dulu ya…”
“Eh? Udah? Segini aja?”
Sungguh. Baru kali ini aku ingin menahannya lebih lama lagi.
“Oh iya. Lap kacamata kamu masih ada di kotak kacamata aku yang sekarang lagi ada di optik. Nggak tau beres kapan dibenerinnya. Nggak apa-apa ya?” tanyanya padaku di ujung telepon. Aku hanya bisa menghela nafas panjang. ”Ya udah. Ambil aja deh.”
”Oke. Ngomong-ngomong, have fun with the guy ya. Haha. Bye..”
Klik.

Aku menatap nanar ke arah kacamata yang tergeletak manis di atas meja kamar. Seolah sepasang lensa itu berbalik menatap dalam-dalam ke arahku. Apakah benar ini saatnya untuk belajar melepaskan?

Selasa, 31 Desember 2013

Bye, Pangandaran


Sometimes two people have to fall apart to realize how much they need to fall back together.

Pangandaran, 8 Agustus 2012.
Di hari inilah, aku menemukan seorang gadis di pantai dalam keadaan yang sangat parah. Kurasa ia terseret arus. Pelipisnya mengeluarkan darah cukup banyak. Hampir sekujur tubuhnya lebam. Aku segera membawanya ke klinik terdekat. Dokter menanganinya cukup lama. Ia koma. Koma untuk waktu yang cukup lama. Setelah 9 hari aku menunggui dia, akhirnya dia tersadar. Sayangnya, dia tak ingat apa-apa. Dia tidak ingat siapa namanya, di mana rumahnya, dan apa yang sedang dia lakukan di pantai saat kecelakaan itu terjadi. Tak ada yang dia ingat. Dia amnesia total. Dokter bilang, gadis itu bisa memulihkan kembali memorinya, namun membutuhkan waktu yang lama. Aku kasihan pada nya. Aku tak tega melihat raut wajahnya yang kebingungan. Akhirnya, aku mengajaknya untuk tinggal di rumahku, bersamaku. Hari-hariku kuhabiskan dengan berusaha membantu gadis itu mengembalikan ingatannya, namun hasilnya sama saja dari hari ke hari. Dia tak ingat barang satu hal pun dari masa lalu nya. Tapi.. aku merasa ada sesuatu yang aneh terjadi padaku. Pada perasaanku. Pada hatiku. Lama-kelamaan aku jatuh cinta pada gadis itu, begitu juga sebaliknya. Hal ini membuat aku malah berharap yang sebaliknya, aku berharap ingatan gadis itu tidak akan dan tidak pernah kembali lagi. Karena aku mencintainya dan tak mau kehilangan dia.

-----

Pangandaran, 26 Oktober 2012.
Aku dan gadis yang kucintai sedang duduk di tepi pantai. Aku masih berusaha membantunya untuk mengingat kembali masa lalunya, meskipun yang kuharapkan adalah agar ia tidak bisa mengingat apapun. Kulirik ke samping. Dia sedang melamun.. apa jangan-jangan dia mulai ingat ya..
“Ren.. kenapa bengong?” tanyaku ingin tahu. Ia tersadar lalu tersenyum lembut padaku.
“Nggak apa-apa Tang, enak aja di sini, ngeliat pantai rasanya jadi nyaman..”
“Ren.. di pantai ini aku nemuin kamu..” ucapku pelan.
“Iya, aku tau kok, hehe, kamu udah bilang berkali-kali..” sahut Renata sambil tersenyum manis.
“Iya.. waktu itu aku mau nenangin pikiran, sekalian hunting foto.. eh yang aku temuin malah badan mengambang,” lanjutku sambil menerawang, mengulang kejadian yang sudah kuceritakan beratus-ratus kali padanya. Ia tertawa kecil.
“Hahaha, eh kamu takut gak sih waktu nemuin badanku ngambang begitu?” tanyanya padaku. Aku tersenyum kecil.
“Ya iyalah, aku kaget banget. Malahan tadinya aku gak mau megang kamu, nyamperin badanmu aja aku nggak mau.. aku pikir kamu itu udah jadi mayat.”
“Ya terus kenapa kamu akhirnya nolongin aku? Katanya takut..” tanya Renata bingung. Aku menatapnya dalam.
“Waktu aku ngeliat muka kamu, aku ngerasa gak asing..” jawabku pelan. Wajahnya terlihat semakin jenaka saat ia kebingungan seperti itu. Ah, betapa aku mencintai gadis ini..
“Familiar gimana sih? Emang kita pernah ketemu? Dimana? Kok aku gak dikasih tau dari dulu..”
“Hmm.. jadi gini, dulu tuh aku sering banget mimpi, ada bidadari yang datang dari surga nyamperin aku. Nah muka kamu tuh mirip banget sama bidadari di mimpi aku itu..” jawabku asal. Renata menggodaku.
“Duh.. jadi aku bidadari nih? Bidadari yang turun dari surga? Hehehe..” katanya sambil tersenyum. Aku tertawa.
“Hahaha, udah ah! Kita jadi ngomong ngelantur, gak jelas ke mana arahnya! Nah sekarang kamu udah inget sesuatu belum?” aku mencoba bertanya lagi. Renata hanya menggeleng polos.
“Nothing, gak inget apa-apa nih Tang.”
“Yaah, jadi yang ada di pikiran kamu itu apa siih..” tanyaku mulai putus asa. Renata terseyum jenaka.
“Bintang. Aku cuma mikirin cowok yang namanya Bintang.”
“Loh kok aku sih.. dasar, udah ah! Nih ya, sekarang serius! Coba kamu fokus deh, kamu fokus.. konsentrasi dan sekarang tutup mata kamu.. merem loh ya jangan ngintip!” aku berujar ke telinganya sambil memegang kedua tangannya lalu menutup matanya sendiri.
“Iya, udah, nih aku gak ngintip.. terus?”
“Kamu tarik nafas panjang.. terus buang. Nah, iya, kayak gitu. Sekarang kamu rileks.. santai.. lemesin semua badan kamu..”
“Nih aku lemesin..”
“Yap, kayak gitu. Terus sekarang kamu dengerin suara pantai ini.. sambil tetep harus fokus dan konsentrasi. Dengerin baik-baik.. suara debur ombaknya.. suara burung-burung camar.. desau angin di sekitar kamu.. suara gesekan dedaunan.. dengerin sambil tetep fokus dan rileks.. nah sekarang, sambil tetep tutup mata, apa yang kamu lihat, bilang sama aku.”
“Aku lihat.. cowok..” ujar Renata pelan. Aku kaget. Aku takut kalau-kalau dia mulai ingat semuanya tentang dirinya di masa lalu..
“Cowok? Kayak gimana?” aku mencoba bertanya.
“Iya.. cowok.. tatapan matanya hangat.. rambutnya agak cepak.. bibirnya sedikit tipis.. sukanya merokok..”
“Ah itu mah aku Ren..” kataku pelan sambil diam-diam tersenyum. Ah, aku sudah gemetaran tadi.
“Hahahahahahahaha...” Renata tertawa lebar. Aku kembali mengarahkan dia.
“Fokus dong Renata.. kamu pingin ingatan kamu balik lagi gak sih? Ayo dong..” bujukku padanya.
“Nggak! Aku gak minta ingatanku untuk kembali lagi. Aku udah seneng begini.. buat aku udah cukup, udah ada kamu yang selalu jadi penghangat hidup aku. Kenapa sih kamu selalu memaksa aku buat inget-inget lagi masa lalu aku? Aku yang lupa aja gak mau tau, tapi kenapa malah kamu yang maksa aku.. aku lupa, aku gak inget semuanya, Tang, but it’s fine. Aku gak peduli masa lalu aku,” jelas Renata panjang lebar. Aku menghela nafas.
“Tapi Ren, kamu harus tetep inget. Kamu gak boleh ngebuang semua itu begitu aja.. nama Renata aja aku yang kasih kan? Masa kamu gak mau tau sih kamu itu dulu siapa? Siapa tahu hidup kamu itu ternyata dulunya bahagia dan menyenangkan, cuma gak sengaja aja hanyut sampai ke Pangandaran,” tanyaku bertubi-tubi padanya. Renata menggeleng.
“Emang kamu bisa dan berani jamin kalau hidup aku dulu bahagia? Siapa tau aja dulu tuh aku emang lagi depresi, terus aku sengaja dateng ke Pangandaran dan aku bunuh diri di sini, tapi kamu selametin!” jawab Renata menyampaikan argumennya. Aku mulai putus asa.
“Ya udah, udah. Terus sekarang mau kamu apa?” tanyaku pelan.
“Aku.. mau kita begini terus, Bintang. Aku udah bahagia dengan hidup aku yang begini, yang sama kamu. Emangnya kenapa sih? Kamu gak bahagia ya?” tanya Renata sedih.
“Gimana ya Ren.. menurut aku, kamu harus tetep tau, siapa kamu, kalau kamu punya keluarga kan kasihan mereka, pasti mereka khawatir banget sama kamu Ren..” jawabku sembari melihat jauh ke tengah pantai. Renata menggeleng.
“Tang.. udah hampir dua bulan aku di sini.. kamu yang nemuin aku sekarat di pantai ini, kamu yang bawa aku ke dokter, kamu yang ngerawat dan ngejagain aku selama ini. Dan mana? Selama itu juga, gak ada orang yang nyariin aku kan? Pangandaran gak luas, Tang. Harusnya, kalau emang mereka khawatir, mereka pasti udah nemuin aku, udah bawa aku pulang sekarang..”
Nggak Ren, Renata, liat aku, kamu harus bisa inget.. kita coba sekali lagi ya.. coba kamu merem… fokus sekali lagi.. tutup mata kamu.. tenang..” ucapku perlahan-lahan. Tapi Renata memberontak.
“Nggak mau ah, capek! Cukup Tang aku gak suka!”
“Ayo dong. Sekarang kamu merem.. yuk pegang tangan aku, nih ya sekarang kamu coba rasain dan inget sesuatu.. pasti ada kan? Ada yang muncul kan Ren?” tanpa sadar aku kembali memaksa Renata. Renata membuka matanya.
“Malu ah.. abis kamu nya ngeliatin aku kayak gitu..” ucapnya manja. Aku pun menutup mataku.
“Yaudah, nih aku juga merem ya.. kamu merem.”
“Oke, tapi kamu gak boleh ngintip ya! Janji!” kata Renata terdengar bersemangat. Aku mengangguk saja.
“Oke, sekarang kita sama-sama merem, kamu coba fokusin pikiran kamu.." Dan tiba-tiba, sebuah ciuman mendarat di pipiku. Hangat dan menenangkan.
“Aku gak bisa inget apa-apa, Bintang. Karena yang aku inget itu cuma kamu. Kamu dan kamu.”

-----

Pangandaran, 8 Agustus 2013.
Hari ini aku pulang larut malam, pekerjaanku hari ini sangat padat, aku sibuk seharian. Renata hanya menungguku dengan sabar di rumah. Aku pulang denga perasaan penat dan letih, tapi juga senang karena ada Renata yang menungguku. Dia penyemangat hidupku. Dia lah alasanku untuk tetap semangat menjalani hidup, hanya dia.
“Reeen? Renataaa.. Reen kamu dimanaa?” tanyaku setengah berteriak saat memasuk rumah. Tak lama, dia datang berlari pelan menghampiriku, sambil manghambur ke pelukanku.
“Bintaaang kamu kemana aja sih kok pulangnya lama banget.. aku khawatir tau..” jelasnya dengan raut muka sedih yang dibuat-buat. Aku tersenyum lelah sambil menghempaskan tubuh di sofa.
“Ya maaf dong sayang, tadi sibuk banget hunting foto disana-sini..”
“Aku kan kangeeen, kamu gak ngerti ya..” ujarnya sambil pura-pura cemberut.
“Aku juga kangen banget tau..” jawabku sambil tersenyum.
“Tapi aku kangen duluan, jadi aku lebih kangen sama kamu! Hahaha..” kata Renata manja.
“Aku duluan tau, tapi aku ngonongnya dalam hati.. Hahaha,” balasku.
“Ah bohooooooooooong!”
“Ah enggak sueeeer deh! Hahaha, beneran kok sayang, ini bunga buat kamu..” kataku sambil menyerahkan sebuket bunga mawar merah padanya.
“Awas kena duri ya, nanti kamu berdarah, aku gak mau kamu sakit,” omelku.
“Aaah bagus banget sayang.. kok tumben sih.. makasih banget yaa..” kata Renata manja sambil mencium pipiku.
“Soalnya.. hari ini hari yang spesial banget.”
“Spesial kenapa? Emang ada apa?” tanya Renata bingung. Aku menatapnya dalam.
“Hmm, coba kamu inget-inget lagi deh.. oh iya, ini, aku beliin kue buat kamu, aku bawa blackforest nih kamu pasti mau kaan..”
“Aaah suka! Suka bangeeeeeeet makasih banget Tang.. tapi kok ada tulisan Happy Birthday nya? Emang siapa yang ulang tahun? Kamu?” tanyanya ingin tahu. Ia memiringkan wajahnya padaku. Aku tersenyum.
“Kamu.”
“Hah? Aku? Tapi kan..”
“Iya, kamu kan nggak pernah inget kamu siapa, kapan ulang tahun kamu.. jadi aku pakai tanggal ini, tanggal setahun setelah aku nemuin kamu di pantai sebagai hari ulang tahun kamu, gak apa-apa kaan?”
“Beneran nih? Aaaah aku seneeeng banget.. terus sekarang umur aku berapa dong?” tanyanya lugu. Aku berpikir sejenak.
“Hmm, umur aku kan 23. Berarti kamu harus lebih muda dari aku.. gimana kalo 22 aja?” aku menawarkan padanya.
“22? Uuuuummm boleh deh! Kalau gitu hari ini jadi ulang tahun aku yang ke dua puluh dua! Yeaaay aku seneng bangetttt..”
“Aku seneng deh liat kamu bahagia gitu.. nah sekarang aku nyalain lilin nih. Sebelum kamu tiup, kamu merem dulu, dalam hati kamu make a wish ya..”
“Oke.. aku merem nih ya.. aku make a wish nih ya..” jawab Renata sambil menutup kedua matanya.
“Udah belum? Lama banget make a wish nya..” tanyaku setelah sekitar 4 menit dia diam.
“Belooom!”
“Lama amat sih..”
“Wishes aku ada banyaaak banget jadi lama hehehe..” jawab Renata. Wajahnya manis sekali. Aku mendekati nya dan kucium keningnya lembut.
“Aku sayang kamu, Ren..” aku berbisik pelan.
“Ya Tuhan, semoga tahun ini, tahun dan tahun-tahun selanjutnya aku selalu bisa sama Bintang..”
“Ehh eh kok wish nya diucapin, kok dikasih tau sih?” aku bingung. Renata tersenyum.
“Iya aku sengaja, gak apa-apa biar kamu bisa aminin..”
“Yaah kalau make a wish ketauan sama orang lain, bisa-bisa gak kekabul loh!” ancamku berbohong padanya.
“Waaah masa sih? Aaaaah gimana dongg huhu..”
“Hahahaha aku bohong.. segitu takutnya ya gak sama aku lagi?” tanyaku iseng.
“Ah dasar kamu nyebelin. Ngeselin gak asik ah.” Aku tersenyum lalu mencium pipi Renata.
“I love you, Renata..”
“Love you more, Bintang..”

-----

Pangandaran, 30 Oktober 2013.
Sudah lebih dari satu tahun aku menjalani hidupku dengan Renata. Walaupun dia tidak bisa mengingat masa lalunya, tapi sekarang dia punya memori baru bersamaku. Sayangnya.. hari ini ada sepasang orang tua yang datang menemuiku di pantai saat aku sedang mencari objek foto. Mereka bilang, mereka orang tua Renata. Mereka akhirnya menemukan jejak Renata yang hilang setahun yang lalu, setelah mengumpulkan informasi dari mana-mana. Saat aku membawa orang tua Renata ke rumahku, dan mereka bertemu.. secara perlahan dan otomatis, ingatan Renata kembali. Ingatannya mulai pulih.. ia mulai tahu masa lalunya seperti apa. Akhirnya, orang tua Renata meminta tolong padaku agar membantu Renata mempersiapkan kepulangannya hari itu juga. Aku hanya meng-iya-kan, walaupun hatiku sangat pedih, karena hal yang selama ini kutakutkan akhirnya terjadi. Cintaku akan pergi meninggalkan sebelah hatinya disini, terluka parah..
“Ren.. udah rapi semuanya?” tanyaku mencoba membantunya membereskan barang bawaannya.
“Udah Bintang.. udah siap kok.. udah rapid an udah beres semua, tinggal dimasukin aja ke mobil, terus pergi deh..” jawabnya sambil mengeluarkan tas nya dari kamar. Aku membantu mengangkat koper satunya.
“Mama dan papa kamu di mana? Kok nggak keliatan lagi?” tanyaku, melongok mencari-cari.
“Mereka nunggu di bandara, katanya mau ngasih aku waktu buat say goodbye sama kamu..” katanya pelan. Aku menghela nafas berat.
“Well.. mau berangkat sekarang aja, sayang?” tanyaku, pedih di dalam hati.
“Jangan panggil aku pake kata sayang.. bikin aku makin berat buat pergi jauh ninggalin kamu,” ucap Renata pelan. Air mata nya mengambang di pelupuk mata nya. Aku tak tahan. Aku tak mau dia menangis.
“Berat itu buat orang yg ditinggalin.. aku masih disini, di tempat yang sama. Di tempat cerita kita dimulai dan berakhir, Ren..” Renata lalu terisak pelan. Ia menatapku dengan matanya yang berair.
“Tang.. kalau aku boleh milih.. aku rela Tang. Aku rela.. aku gak apa-apa kalau keluarga aku nggak nemuin aku.. aku lebih suka di sini sama kamu.. aku rela ingetan aku gak balik asal bisa sama kamu.. aku gak peduli siapa aku sebenernya, aku gak mau jadi diri aku yang asli, aku mau kita selalu bareng, aku.. aku gak bisa kalau gak sama kamu..”
“Dulu, aku selalu berusaha, biar ingatan kamu balik.. biar kamu bisa tau siapa kamu, dari mana kamu, kamu kenapa bisa sampai di sini, siapa keluarga kamu.. tapi sekarang semuanya udah ada Ren, udah di depan mata kita, semua udah terpampang nyata dan kita udah gak bisa nolak.. kamu harus terima keadaan, harus terima realita.. keluarga kamu udah nemuin kamu, udah datang ke sini nyariin kamu.. sekarang ingatan kamu udah balik, keluarga kamu datang, kamu udah tau semuanya tentang masa lalu kamu, tapi malah gini jadinya.. harusnya aku seneng.. maaf Ren.. maaf karena aku sedih.. maaf ya.. sekarang kamu kuat.. aku mau Renata yang kuat! Renata yang selalu jadi penyemangat hidup aku.. yang jadi alasan aku untuk terus bertahan hidup, untuk gak putus asa.. kamu pasti bisa tanpa aku, pasti! Percaya sama aku Ren..”
“Pas ketemu mereka, aku sadar Tang, aku inget semuanya, mama, papa, pacar aku.. semuanya. Aku jadi sadar selama ini aku gak pernah mau nginget tentang mereka itu karena ada kamu Bintang.. karena kenyamanan aku sama kamu.. sekarang, ngeliat kita yang jadi begini, aku berharap ingatan aku gak akan pernah balik lagi..”
“Apapun yg terjadi di depan kamu.. aku yakin kamu pasti kuat ngadepinnya.. kamu harus bahagia Ren, harus. Sama keluarga kamu.. sama pacar kamu.. yang asli.”
“Tapi yang aku tau, pacar aku itu kamu. Bukan dia. Kamu tau rasanya kan Tang.. kita sama-sama saling sayang, tapi nggak bisa bareng, gak bisa nyatu? Sakit Bintang..”
“Lebih baik abis ini kita jangan pernah berhubungan.. cuma bikin kita berdua tambah sakit..” jawabku pelan.
“Bintaaaang.. aku gak bisa.. aku sayang banget sama kamu..”
“Udah.. udah ya.. jangan nangis lagi. Udah cukup. Yuk aku anter.”
“Udah nggak usah.. biar aku sama supir aja.. tolong jangan ikut.. kalau kamu ikut aku gak akan pernah bisa… ninggalin kamu, Tang..”
“Ya udah.. oke, berangkat sana.. sebentar lagi pesawat kamu boarding. Nanti telat.."
“ Oke.. boleh aku peluk? For the last time..”
“Sure..” Aku memeluknya sangat erat. Aku tak mau kehilangan dia.. tidak. Tapi aku bisa apa? Bukan hak ku untuk memisahkan orang tua dengan anaknya.. itu sangat kejam.
“Baik-baik ya disana..”
“Iya.. kamu juga baik-baik di sini.. jangan kebanyakan ngerokok..”
“Janji dulu sama aku, kalau di sana, kamu bakal bahagia.. apapun yang terjadi.. tanpa aku..”
“Iya.. aku janji.. karena aku bahagia asal kamu bahagia.. karena aku sayang banget sama kamu Tang..” katanya pelan. Lalu ia menciumku lama, lama sekali. Seakan-akan kami tak akan bertemu lagi. Seakan-akan, ini jam-jam terakhir kami..
“Love you..”
“Love you more.. take care Ren..” kataku di saat terakhir itu.

Dan dia pun berlalu. Pergi. Jauh.

-----

Pangandaran, 31 Desember 2013, pukul 11.50.
Aku sedang berjalan sendirian, menyusuri pantai yang sudah lama menjadi rumah bagiku di saat kepenatan dunia menyerangku. Aku berjalan dalam diam. Membiarkan pasir-pasir masuk melalui celah-celah jari kakiku Membiarkan debur ombak kecil membasahi telapaknya. Membiarkan semilir angin menusuk hingga ke tulangku. Membiarkan semua kenangan itu dicuci bersih dari hati dan pikiranku.. Renata..
“Bintaaang!” suara itu… mungkinkah? Aku menoleh.
“Reen? Renataa? Ini.. beneran kamu?” tanyaku setengah tak percaya.
“Tuh kan bener, dari belakang aku udah tau kalo itu kamu..” katanya sambil tersenyum lebar.
“Gimana kamu? Sehat? Sama siapa ke sini?” tanyaku bertubi-tubi padanya. Bagaimana tidak, aku sangat rindu padanya!
“Aku sama keluarga aku.. eh gimana kerjaan kamu? Lancar? Orderan foto masih banyak?”
“Oh masih dong.. hehe. Makin banyak kok. Kamu apa kabar.. aduh aku kaget banget liat kamu di sini.. gak tahu lagi mau ngomong apa.. udah kesenengan duluan..”
“Hehehe samaaa! Dari pas tadi aku liat punggung kamu aku udah seneeeng banget!”
“Hahaha dasaaar, sekarang kamu kerja apa?”
“Aku berkali-kali dapat tawaran buat kerja di Pangandaran, tapi selalu aku tolak.. aku takut keinget kamu lagi, Tang..”
“Segitunya ya..”
“Iyaa! Ini pertama kali nya aku berani nginjekin kaki aku lagi di pasir pantai Pangandaran, dan aku udah mulai bisa terima kenyataan dan realita kalau aku sama kamu harus pisah dan emang gak bisa nyatu..”
“Kamu ke sini buat liburan sama keluarga kamu?” tanya ku pelan. Renata menggeleng.
“Nggak cuma itu kok.. aku juga ke sini buat tunangan.. oh iya Tang, kamu mau gak jadi fotografer di acara pertunangan aku nanti?” tanya Renata perlahan-lahan. Aku terdiam sejenak. Aku harus sadar.. aku harus terima kenyataan yang sudah ada di depan mataku! Aku harus melupakan Renata..
“Iya, boleh deh. Tapi nanti aku ajak fotografer lain ya?”
“Boleh..”
“Iya, dia pacar aku yang baru..
aku sekarang udah mulai nyoba untuk mencintai orang lain, seperti saat aku mencintai kamu dulu..
“Aku pegang janji aku ke kamu kan Tang? Aku pasti bakal bahagia.. karena sekarang aku bahagiaaa banget ngeliat kamu udah punya pasangan baru.. kamu udah punya kebahagiaan kamu.. buat aku, kamu bahagia udah cukup..”
“Aku.. aku juga bahagia liat kamu bahagia, Ren.. langgeng ya sama pacar kamu..”
“Iya.. makasih.. kamu juga ya! Jangan bikin aku sedih..”
“Eh Ren! Bentar..”
“Iya? Kenapa?”
“Nama asli kamu.. siapa?”
“Nama asli aku.. emang Renata, Bintang. Renata. Kamu tepat banget ngasih nama itu ke aku. Karena itu memang nama asli aku.. makasih banget buat semuanya ya, Tang.. karena kamu, aku udah bisa menghadapi kenyataan ini, aku mau mencoba menjalani hidup aku, aku mau ngejalanin apa yang ada di depan mata aku..”
“Makasih juga Ren.. cinta memang banyak bentuknya.. dan gak semuanya bisa bersatu.. kita gak bisa bersatu.. tapi setidaknya aku pernah ada di hati kamu, dan kamu pernah ada di hati aku, Renata.. thank you so much.”
“Eh. Liat deh. Itu banyak fireworks.. udah tahun baru, Tang!”
“Gak kerasa ya.. udah segini lamanya kita bareng..”
“Selamat tahun baru, Tang.. kita sahabatan kan?”
“Selamat tahun baru, Ren.. kita sahabatan. Selamanya.”