Minggu, 19 Februari 2017
Playlist
Selasa, 06 Oktober 2015
Sesal
Parau, Marcel memohon lewat suaranya yang serak. Pria itu berdiri di depan sebuah toko cokelat sambil diguyur derasnya air hujan.
Mirsha menggeleng.
Wanita itu menggenggam tas tangannya di tangan kanan, sementara tangan kirinya erat memegangi gagang payung merah yang sedari tadi hampir terbang ditiup angin kencang.
"Mirsha.. Please, marry me.."
Marcel benar-benar memintanya tanpa basa-basi.
Mirsha menatap Marcel pekat. Matanya yang agak sipit dan mulai sayu dengan kacamata yang ia ingat kalau dulu ia lah yang memilih frame untuk pria itu. Hidungnya yang mancung dengan sempurna. Bibirnya yang tipis nan menggoda. Kumis dan janggut tipis itu. Walau dibasahi derai hujan dan dengan tampang yang mengiba, Marcel tetap terlihat gagah.
Meski begitu, Mirsha kembali menggeleng.
"Kamu pikir aku akan jawab iya?" Mirsha menghela nafas pelan, "Bukan.. Kamu pikir, aku masih akan jawab iya?"
"Come on.."
"How dare you, Marcel. Detik yang lalu, kamu baru saja berselingkuh di belakang seorang wanita, dan detik berikutnya, dengan berani kamu melamarnya.."
"Aku 'kan sudah minta maaf berulang kali, Mir. Aku lupa diri. Aku sudah membongkar semua rahasia yang aku tutup-tutupi selama ini."
"Dan kamu pikir, segampang itu memberi maaf?"
"Kamu selalu seperti ini. Tidak pernah bisa menutup kesalahan seseorang di masa lalu. Aku sudah berjalan ke depan. Kenapa justru kamu yang terus saja berbalik ke belakang?"
"Lalu apa? Kamu marah dengan sikapku ini?"
"Yeah.. Maybe.. No.. But.. Aahh! Sudahlah! Ini cuma memperburuk keadaan, kamu pasti akan membahas hal itu lagi."
"She's my bestfriend, Marcel!"
"Dia yang duluan menggodaku, Mir!"
"Bullshit!"
"Tutup mulut kotormu, Mirsha! Kamu masih saja bersikap seperti ini, tidak pernah bisa berubah!"
"Begitukah? Then should I marry you?"
"....."
Marcel kelu. Bulir-bulir hujan menyusuri wajahnya tanpa henti, membuatnya memicingkan mata.
"Aku mencintaimu. Sudah. Itu saja. Alasanku cuma sesederhana itu.."
"Sudah, Cel? Aku takut kehabisan wafer cokelat.."
Mirsha mengalihkan pandangan ke arah etalase toko cokelat. Di bawah lindungan payung merah, begitu jelas, kedua bola matanya berkaca-kaca.
*
"Jadi, kamu akan tetap menikahinya?"
Marcel tertunduk, merenung di balik kemudi mobil sambil menatap kosong layar ponselnya. Satu pesan singkat yang sedari kemarin menunggu dibalas, karena sesungguhnya Marcel memang tidak mampu. Dan satu pertanyaan sederhana itu mampu membuat perut Marcel seakan keracunan makanan. Perutnya melilit.
"Aku ke rumahmu sekarang, ya. Ada penjelasan yang harus aku jelaskan."
Marcel memutar kunci, menjalankan mobil dan berbelok ke kanan di pertigaan depan. Padahal, sudah dihafalnya rumah Mirsha hanya tinggal lurus saja tanpa perlu berbelok.
"Mir, aku agak terlambat, ya. Macet."
Marcel mengetik dengan tergesa-gesa sambil menginjak gas.
*
Di depan rumah bercat kelabu Marcel memarkirkan mobilnya. Tak sampai lima langkah, ia sampai di depan pintu.
"Aku 'dah di depan, Sheil."
Kembali ia mengetik pesan.
Satu menit.
Dua menit.
Tiga menit.
Tak ada balasan.
Mata Marcel melirik gulungan koran harian yang diacuhkan di dekat keset. Mana Misheil?
Jempol Marcel menekan tombol hijau di ponsel, mencoba menghubungi nomor Misheil. Nada sambung terdengar di telinga kanannya, lama, panjang, dan mengambang, hingga akhirnya berhenti sendiri tak ada jawaban.
"Sheil?"
Meragu, Marcel mengetuk pintu. Mendorongnya sedikit, yang ternyata tidak dikunci. Sekali lagi dihubunginya nomor Misheil.
Dan itu dia.
Terdengar.
Dari arah ruang tengah, sayup dering ponsel Misheil yang dikenalnya. Marcel menghampiri sembari menyapu pandangan ke seluruh ruangan. Nihil, tak ada siapa-siapa. Tangannya berayun meraih ponsel Misheil dan sedetik kemudian ia tersentak begitu menatap tulisan yang tertera di layar ponsel Misheil.
DUMBASS is calling.....
Spontan Marcel memutuskan panggilan teleponnya. What the–!
"Sheil! Misheil! Ini aku Marcel, kamu di atas?"
Kamis, 19 Februari 2015
Ganjil
1. cintaku yang besar, cintaku yang tulus,
2. telah hilang, menguap, dan kini rasa benciku
3. berkembang setiap hari. ketika melihatmu,
4. aku tak ingin lagi melihat wajahmu sedikitpun.
5. satu hal yang sungguh ingin aku lakukan adalah
6. mengalihkan mata ke lelaki lain. aku tak lagi mau
7. menikahkan aku-kau. percakapan terakhir kita
8. sungguh, sungguh amat membosankan dan tak
9. membuat aku ingin bertemu kau sekali lagi.
10. selama ini, kau selalu memikirkan diri sendiri.
11. jika kita menikah, aku tahu aku akan menemu
12. hidupku jadi sulit, dan kita tak akan menemu
13. bahagia hidup bersama. aku punya satu hati
14. untuk kuberikan, tapi itu bukan sesuatu
15. yang ingin aku beri buatmu. tiada yang lebih
16. bodoh dan egois dari kau, kau tak pernah
17. memerhatikan, merawat dan mengerti aku.
18. aku sungguh berharap kau mau mengerti
19. aku berkata jujur. kau akan baik sekali jika
20. kau anggap inilah akhirnya. tidak perlulah
21. membalas surat ini. surat-suratmu dipenuhi
22. hal-hal tak menarik bagiku. kau tak punya
23. cinta yang tulus. sampai jumpa. percayalah,
24. aku tak peduli padamu. jangan pernah berpikir
25. aku masih dan akan terus menjadi kekasihmu.
catatan:
Tiap baris surat ini sengaja diberi angka, agar kau bisa membedakan baris ganjil dan baris genap.
Baca baris-baris ganjil saja, hapus baris selebihnya.
Jumat, 09 Mei 2014
Reuni
“Uhhh.. sakit. Memang sofa tua, terlalu renta.” gerutuku.
Memang sudah terlalu lama, terlalu sulit untuk diingat, kapan terakhir aku menepuk-nepuk debu sofa biar berterbangan. Kapan terakhir aku menyikat dan menyeka sofa tua kesayangan dan satu-satunya ini. Sofa dengan warna biru tua kelam, hadiah pernikahan dari sahabat-sahabatku dan dia, Riana salah satunya. Riana, sahabat yang begitu ingin aku temui, sahabat yang ingin aku peluk, aku lepas, kemudian aku peluk lagi.
Kupandang sekali lagi handphone butut ini, memastikan akan mengatakan “tidak” pada ajakan Riana. Tapi godaan untuk bertemu Riana sekali lagi membuatku seakan bimbang, berteman dengannya tidak pernah sendu, mudah menghilangkan pilu yang kadang terlalu lama menjadi lumut di hati. Namun… kali ini? Riana… maaf, batinku.
Jengah. Hari begitu panjang, sedang menunggu dia untuk pulang, menemaniku yang sendirian. Namun masih saja dia disibukkan oleh kemacetan jalan. Sepi, bahkan burung gagak pun akan mati. Mendengarkan irama jam yang begitu monoton diikuti dengan napasku yang sama-sama saja. Begitu standar, begitu-begitu saja. Sejak hari itu, aku bilang hidupku terasa sama, terasa hambar, menunggunya pulang, tanpa bisa melakukan apa-apa. Kecuali… kecuali dengan memainkan social media dan bermain gadget masuk dalam hitungan melakukan apa-apa.
Sesekali otakku berputar pada sisi reuni SMA. Mengingatkanku kembali pada jaman-jaman indah semasa SMA. Begitu ingin aku pergi pada reuni besok. Begitu ingin kakiku melangkah dan menari riang bersama Riana. Seandainya saja aku bisa, batinku.
Kusibakkan tirai yang menutupi debu atas sofa. Ia sempat bilang, bulan kali ini begitu indah untuk dipandang. Begitu menggoda untuk dicuri, disandingkan dengan mataku yang berkilauan. Ah, masih saja dia romantis sesuai caranya, pikirku. Pesan yang langsung saja dikirim ketika aku mengeluh tentang rinduku padanya. Sepuluh jam begitu terasa berlebihan untukku. Kasih, cepatlah pulang, rindu membuatku terus menggerutu, pesanku berulang-ulang di telepon.
Memang bulan sekarang begitu indah. Berkilauan, pamer, membuat bintang disekitarnya menjadi iri. Cahayanya membuat bintang kehilangan perhatian. Rasi bintang terindah dan venus merah pun tercuri perhatiannya. Ah… tapi anggunnya bulan malam ini masih belum bisa menggoyahkan pikiranku tentang reuni besok yang akan terjadi. Pikiranku membayangkan hiruk-pikuk dan kemeriahannya seperti tahun lalu. Tawa dan canda diumbar, bahagia rasanya.
Lalu… tahun ini, apa aku lewatkan saja? batinku.
Lagi, Riana meneleponku kembali. Seingatku sudah kesembilan kalinya telepon itu datang. Tapi tidak pernah aku angkat. Khawatir terselip rindu dalam getar suaraku. Khawatir terucap kata ingin bertemu, dengan malu yang menunggu. Aku ingin bertemu Riana, bicara, tertawa, bahkan tertidur sementara. Tapi tidak pada masa ini, aku belum siap.
Sama dengan belum siapnya aku untuk mengangkat panggilan dari Riana. Kali ini? Maaf… Riana, ucapku pelan.
Entah kenapa aku begitu mudah larut dalam sendu yang berkepanjangan. Mudah tenggelam dalam rasa sepi, gundah, dan jengah bersamaan. Tidak seperti aku yang dulu, semasa SMA yang begitu bersemangat, mengikuti banyak kegiatan sekolah hingga lupa rumah. Lantas, mengapa aku masih ragu untuk datang pada reuni?
Reuni. Datang atau tidak, kurasa mereka masih akan mengingatku. Tidak hanya itu saja, mereka akan merindukanku dengan segala keramaian yang mereka buat. Reuni pasti masih ada tahun depan. Mungkin tidak menjadi masalah aku melewatkannya tahun ini, kataku. Hanya saja, harus menunggu selama dua belas bulan, atau empat puluh delapan minggu, atau tiga ratus enam puluh lima hari lagi untuk reuni berikutnya.
Mulai tergoda aku untuk mengatakan iya pada Riana. Menelepon Riana balik, mengatakan iya, kemudian menentukan corak apa yang akan kami pakai pada reuni nanti. Belum selesai khayalanku pada keriuhan nanti, tiba-tiba pintu depan ada yang mengetuk.
“Iya? Siapa?” teriakku dari dalam.
“Ini aku, akhirnya aku pulang.” jawab kekasihku datang.
“Sebegitu macet dijalan?” tanyaku dengan wajah kesal. Berniat sedikit mencuri perhatian, melempar sinyal bahwa rinduku terlalu meluap-luap saat ini.
Tanpa menjawab ia melepaskan sepatu dan menaruh belanjaan di meja depan, berjalan dengan lelah menghampiriku. Tersenyum, kemudian, “Hai.” Ia mengecupku manis di kening, memelukku erat, mengecup pundakku sebegitu halus.
“Aku rindu.” bisikku.
“Iya, aku tau. Karena sama rasa itu ada padaku.” balas bisiknya.
Ia beranjak, kembali ke depan pintu rumah, mengambil belanjaan yang tadi ia lepaskan. “Beli apa untuk hari ini?” tanyaku penasaran.
“Spesial, nasi goreng mawut plus telor dadar.” senyumnya mengisyaratkan sesuatu.
“Mang Jaksa??” tanyaku buru-buru.
Ia mengangguk. “YEAAH! Makasih sayaaang! Pantesan kamu lama.” erangku manja.
Mang Jaka adalah penjual nasi goreng mawut favoritku semasa SMA. Rasanya begitu menggoda, aromanya terlalu naif untuk ditahan. Aku begitu mencintai masakannya semasa itu, begitu menyukai racikan yang Mang Jaka buat selama bertahun-tahun. Hingga kami lulus pun, aku dan dia masih sering bertandang ke sana.
“Eh, kamu jadi ke reunian besok?” tiba-tiba dia bertanya.
Mendadak nafsu makanku yang tadi banyak, mulai melunak. “Hmm. Masih belum tau. Menurut kamu?”
Ia tersenyum manis menggoda. “Aku rasa Riana juga sangat merindukanmu.”
“Mungkin tidak, aku tidak akan datang.” sambilku membuka bungkusan nasi goreng mawut spesial.
“Yakin?” tanyanya sambil menggeser kursi biar duduk berhadapan denganku.
Aku hanya bisa mengangguk. Mengambil piring yang ia sodorkan, tak sabar untuk makan. Tak sabar untuk menyudahi percakapan. “Masih ada sekitar delapan belas jam untukmu berubah pikiran.” godanya lagi. Aku acuh, mulai makan dan menikmati nasi goreng mawut spesial.
“Enak?” tanyanya sekali lagi. “Sudah pasti lah!” jawabku tanpa ragu, diakhiri dengan tawa kami yang memenuhi seisi rumah.
“Hmm. Sayang, besok pagi jadi kan?” tanyaku lirih.
Ia taruh piring dengan nasi goreng mawut di atas pangkuannya. Kemudian ia genggam tanganku erat, menatap mataku tajam. “Hanya bila kau siap. Dan aku berharap secepatnya kau siap. Meski bukan besok.”
Aku tersenyum manis, “Sudah berapa kali kita menundanya?”
“Berkali-kali. Terlalu banyak.” jawabnya sambil membawa satu suapan nasi goreng mawut ke dalam mulutku.
“Jadi?” tanyanya padaku.
“Aku siap.” tegasku padanya.
Tersenyum dia, lalu berlutut, dikecupnya kedua kakiku, “Selamat diamputasi besok, kaki-kaki istriku.”
Disentuhnya pipiku dengan lembut. Mengusap pipiku dengan jempolnya yang maju-mundur, “Aku mencintaimu, masih sama. Dengan atau tanpa kakimu.”
Diciumnya mesra bibirku yang basah dengan air mata.
Selasa, 06 Mei 2014
Marah
Kau menangis palsu. Lidahmu terlalu kelu untuk berdalih. Jidatmu berkenyit, berpikir, drama mana yang ingin kau mainkan. Jauh sejak dulu, kita bertukar gerak dalam layar, tapi kini sirna tanpa jejak. Sering ku mainkan berulang, tapi kau tidak.
Satu.
Dua.
Tiga.
Waktu itu aku yakin dengan cinta. Jarak ujung terjauh samudera dengan selat banda tidak akan mampu menandinginya. Berkata kau dulu,"Aku sayang banget sama kamu."
Dengan wajah sedih, kuakhiri kisah kita. Menyudahi semuanya. Ya. SE-MU-A-nya.
Masa bergerak cepat, berulang kali bulan berganti, matahari nampak begitu lelah menanti. Tapi aku di sini masih marah, tenggelam dalam masa lalu yang begitu penuh sesal. Seandainya, merupakan kata yang sering terbesit semenjak saat itu.
Rindukan damai, menutup mata, dan mulai berhitung kembali.
Satu.
Dua.
Tiga.
Masih saja wajahmu terus berkelana dalam otakku yang kecil dan sempit. Membiarkan aku menyiksa diri tanpa batas, tak berbudi.
A-KU MA-RAH.
Bersenandung aku berbalapan dengan decit kursi yang bergoyang. Diikuti hentakan ujung kaki berbalas-balas. Jemari kananku naik bergantian, menimbulkan bunyi ketika kukuku menyentuh kayunya yang keropos tanpa isi. Sesekali ku tengok jam, lebih dari tengah malam. Tapi kau masih belum ingin pulang. Berkeliaran, muncul timbul dalam memori yang seenaknya kau buka-tutup.
Aku marah. Terlalu marah, hingga mataku menangis begitu lelah. Berpejam, menghitung.
Satu.
Dua.
Tiga.
Kau bilang begitu mencintaiku waktu itu. Apapun yang terjadi kita akan selalu bersama, dalam kasih, dalam pedih. Dalam mesra kita berbagi cinta, tawa, sesekali tangis kita maklumi tanpa sengaja. Bergandeng tangan kita di malam itu, wajahmu terlalu lelah untuk berjalan. Ingin kau menggendong, tapi... memegang tanganmu dan melihat wajahmu berkilauan di bawah sinar rembulan membuatku tak tega untuk menambah beban langkahmu.
Begitu banyak yang bisa membuat kita bahagia dan bertahan. Bahkan, begitu banyak alasan untuk kita kembali bersama. Tapi... kau memilih pergi.
Sa-tu.
Du-a.
Ti-ga.
DOR!
Laras yang dingin kini hangat darah.
Kamis, 13 Februari 2014
Lekat.
About you.
About us.
And what we could be.
After all this time, can we fix it? Can we take that second chance? Can we?
Mencoba aku untuk tidak peduli. Dengan semua angan semu yang mencoba memanah dan menjadikanku sasaran empuk. Berusaha tak melamunimu di setiap detik-detik hidupku yang kosong. Berusaha agar aku tak lagi terjerembab dan berakhir dengan luka yang serupa. Tapi datangnya kamu, kamu dengan berjuta-juta suratan yang tersirat.
Semu.
Muncul bagai letupan debu. Terlihat, tapi samar. Terasa, tapi tak tergenggam.
Abu.
Kembali dengan secercah cahaya, menembus benteng hitam dari bilik terdalam di jiwaku yang mengemas rapat akan semua tentangmu.
Rancu.
Hati ini melonjak-lonjak merintih melihat setitik harapan yang samar kau tunjukkan tapi kau tarik kembali karena adanya dia yang kini bersandar di bahumu.
Palsu.
Kasarku kujejal menyesak ke lubuk. Andai aku cukup berani menantangmu, menunjuk tajam telunjuk ini ke arah wajahmu yang selalu bertamu di mimpi-mimpiku. Untuk sekedar mengharap sang pasti.
Aku, atau dia? Siapa?
Mampuku hanya mematut memangku dagu menunggu. Mengubur lagi memori fana yang sempat kau kuak dan kau bangkitkan.
Sejenak.
Mudah ucapmu berkata sesal, mengajakku mengingat kita dari asal. Dan pada akhirnya kalah lah benteng kokohku, tumpukan patahan hatiku yang telah kususun ulang. Detik ini. Terus kau meyakinkan aku untuk tetap tinggal. Dengan mata penuh sesal.
Detik ini.
Tidak lagi.
Kembali kau dengannya. Membuatku kini menyusun ulang pondasi membatas diri, membenteng antara aku dan kamu bermaksud agar aku tahu diri.
Hancur.
Muak aku percaya, lelah aku terima, omong kosong dan harapan memang tipis terlihat beda.
Hebat.
Kau.
Lekat.
Jumat, 10 Januari 2014
Glasses
”Ada.”
”Terus? Nggak dipake?”
"Nggak." Aku sengaja memelototkan kedua mataku dan berbalik membalas tatapannya. Puas.
”Kenapa?”
”Kenapa apanya?”
”Iya kenapa nggak pake kacamata aja?”
Kali ini aku tak kuasa menahan senyum yang terkembang. Aku menatap lekat ke arah bola matanya yang terhalang kacamata itu, lalu berkata, ”So, you’ll look at me straight into the eye…” Dia segera mengalihkan tatapan dan membetulkan letak kacamatanya. Aku tertawa.
-----
Hujan deras mengguyur di luar sana. Aku menunggu. Dia sudah terlambat hampir setengah jam dari yang dijanjikan. Seperti biasa, mendahulukan yang menurut dia lebih pantas didahulukan. Makan siang, mengantar teman, isi bensin, menjemput teman, nongkrong tak jelas, lalu tersadar jarum jam di tangannya sudah berlari mendahului.
Dia datang dengan langkah tenang. Sekujur tubuhnya basah kuyup. ”Udah nunggu lama?” tanyanya. Tetes-tetes air menutupi kacamatanya yang berembun. Agak geli melihatnya.
”Darimana?” aku membalikkan pertanyaan.
”Macet. Hujan. Hampir banjir..” Dia melepas kacamatanya dan mengusap wajahnya yang basah. Aku terdiam. Tak jadi tersenyum geli. Dia menyipitkan kedua matanya, tak biasa tanpa kacamata. ”Tapi perginya emang udah telat kan?” tanyaku lagi. Dia menghela nafas dan berniat memakai kembali kacamatanya yang masih berembun. Aku menahan tangannya dan merebut kacamatanya, mengambil lap kacamata dari dalam tas, lalu membersihkan kacamatanya dari bekas-bekas tetesan air hujan.
”Nih.” Aku mengembalikan kacamatanya dan dia memakainya.
”Lap kacamata kamu masih kamu bawa-bawa?”
Aku mengangguk.
”Ngapain?”
”Karena kamu nggak pernah bawa-bawa lap kacamata kamu..” jawabku singkat yang membuat dia tertegun.
-----
”Itu tulisannya apa? Kapan?” tanyaku padanya sambil memicingkan mata.
”Yang mana?”
”Itu..” tunjukku ke arah spanduk promosi acara jauh di seberang jalan. Dia malah menoleh heran ke arahku.”Apa?” tanyanya lagi.
”Kamu nggak bener-bener bisa baca jelas tanpa kacamata ya?” kataku padanya. Aku mendelik. ”Lensa kontak kan nggak ada yang buat astigmatisma. Bisa baca, tapi nggak terlalu jelas kalo yang jauh-jauh. Kamu yakin nggak mau pake kacamata lagi?”
Dia mengernyitkan dahi tak mengerti. Matanya menyipit, terpusat ke arah spanduk yang kutunjuk tadi. ”Jum’at minggu depan…” jawabnya, ”Dan aku yakin nggak mau pake kacamata lagi,” lanjutnya. Aku mengangkat bahu. ”Jum’at minggu depan kosong? Mau nonton acara itu gak?”
Dia balik mengangkat bahu.
-----
”Ada sesuatu..” ujarnya saat menghubungiku lewat telepon hari Kamis malam.
”Sama..” jawabku.
”Oke. Apa?”
”Nggak. Kamu dulu deh..” ujarku memberinya kesempatan berbicara lebih dahulu.
”Kacamata aku rusak.”
”Oh ya? Kenapa?”
”Keinjek orang. Kaca pecah, gagang patah, agak parah..”
”Ya ampun. Bukan agak. Itu parah. Terus?”
“Ya aku jadi rabun. Jumat nggak bisa ikut nonton.”
”Hah? Serius? Janjinya gimana dong?”
”Nggak apa-apa kan nonton sendiri?”
”Bisa nggak sendiri sih sebenernya..” aku terdiam sesaat, ”Itu yang tadi mau bilang…”
”Apa?”
”There’s this guy, asked me to go there too..”
“Oh ya? Bagus deh, jadi nggak ada aku nggak masalah..”
Ada yang meradang di dalam dada. “But I said no.”
“Kenapa? Hubungin lagi sana, bilang ajakannya diterima.”
”Kan asalnya maunya sama kamu..”
Dia tertawa. ”Ya abis gimana. Tega? Ini aku udah kayak orang buta, gak bisa lihat yang jelas, blur semua.”
“Telat juga. Mungkin orang itu udah punya acara lain lagi.”
“Hubungin dulu. Pasti mau.”
Ah, sial! Emang gampang?! “Nggak penasaran siapa orangnya?”
“Udahlah, sama siapapun, yang penting ada yang gantiin aku. Oke? Udah dulu ya…”
“Eh? Udah? Segini aja?”
Sungguh. Baru kali ini aku ingin menahannya lebih lama lagi.
“Oh iya. Lap kacamata kamu masih ada di kotak kacamata aku yang sekarang lagi ada di optik. Nggak tau beres kapan dibenerinnya. Nggak apa-apa ya?” tanyanya padaku di ujung telepon. Aku hanya bisa menghela nafas panjang. ”Ya udah. Ambil aja deh.”
”Oke. Ngomong-ngomong, have fun with the guy ya. Haha. Bye..”
Klik.
Aku menatap nanar ke arah kacamata yang tergeletak manis di atas meja kamar. Seolah sepasang lensa itu berbalik menatap dalam-dalam ke arahku. Apakah benar ini saatnya untuk belajar melepaskan?
Selasa, 31 Desember 2013
Bye, Pangandaran
“Tapi Ren, kamu harus tetep inget. Kamu gak boleh ngebuang semua itu begitu aja.. nama Renata aja aku yang kasih kan? Masa kamu gak mau tau sih kamu itu dulu siapa? Siapa tahu hidup kamu itu ternyata dulunya bahagia dan menyenangkan, cuma gak sengaja aja hanyut sampai ke Pangandaran,” tanyaku bertubi-tubi padanya. Renata menggeleng.
“Emang kamu bisa dan berani jamin kalau hidup aku dulu bahagia? Siapa tau aja dulu tuh aku emang lagi depresi, terus aku sengaja dateng ke Pangandaran dan aku bunuh diri di sini, tapi kamu selametin!” jawab Renata menyampaikan argumennya. Aku mulai putus asa.
“Nggak mau ah, capek! Cukup Tang aku gak suka!”
“Lama amat sih..”
“Wishes aku ada banyaaak banget jadi lama hehehe..” jawab Renata. Wajahnya manis sekali. Aku mendekati nya dan kucium keningnya lembut.
“Aku sayang kamu, Ren..” aku berbisik pelan.
“Udah Bintang.. udah siap kok.. udah rapid an udah beres semua, tinggal dimasukin aja ke mobil, terus pergi deh..” jawabnya sambil mengeluarkan tas nya dari kamar. Aku membantu mengangkat koper satunya.
“Jangan panggil aku pake kata sayang.. bikin aku makin berat buat pergi jauh ninggalin kamu,” ucap Renata pelan. Air mata nya mengambang di pelupuk mata nya. Aku tak tahan. Aku tak mau dia menangis.
“Tapi yang aku tau, pacar aku itu kamu. Bukan dia. Kamu tau rasanya kan Tang.. kita sama-sama saling sayang, tapi nggak bisa bareng, gak bisa nyatu? Sakit Bintang..”
“Iya.. kamu juga baik-baik di sini.. jangan kebanyakan ngerokok..”
“Love you..”
“Love you more.. take care Ren..” kataku di saat terakhir itu.
“Reen? Renataa? Ini.. beneran kamu?” tanyaku setengah tak percaya.
“Gimana kamu? Sehat? Sama siapa ke sini?” tanyaku bertubi-tubi padanya. Bagaimana tidak, aku sangat rindu padanya!
“Oh masih dong.. hehe. Makin banyak kok. Kamu apa kabar.. aduh aku kaget banget liat kamu di sini.. gak tahu lagi mau ngomong apa.. udah kesenengan duluan..”
“Hehehe samaaa! Dari pas tadi aku liat punggung kamu aku udah seneeeng banget!”
“Segitunya ya..”
“Iya, boleh deh. Tapi nanti aku ajak fotografer lain ya?”
“Iya, dia pacar aku yang baru.. aku sekarang udah mulai nyoba untuk mencintai orang lain, seperti saat aku mencintai kamu dulu..”
“Aku pegang janji aku ke kamu kan Tang? Aku pasti bakal bahagia.. karena sekarang aku bahagiaaa banget ngeliat kamu udah punya pasangan baru.. kamu udah punya kebahagiaan kamu.. buat aku, kamu bahagia udah cukup..”
“Aku.. aku juga bahagia liat kamu bahagia, Ren.. langgeng ya sama pacar kamu..”
“Eh Ren! Bentar..”
“Nama asli kamu.. siapa?”
“Nama asli aku.. emang Renata, Bintang. Renata. Kamu tepat banget ngasih nama itu ke aku. Karena itu memang nama asli aku.. makasih banget buat semuanya ya, Tang.. karena kamu, aku udah bisa menghadapi kenyataan ini, aku mau mencoba menjalani hidup aku, aku mau ngejalanin apa yang ada di depan mata aku..”
“Makasih juga Ren.. cinta memang banyak bentuknya.. dan gak semuanya bisa bersatu.. kita gak bisa bersatu.. tapi setidaknya aku pernah ada di hati kamu, dan kamu pernah ada di hati aku, Renata.. thank you so much.”
“Selamat tahun baru, Ren.. kita sahabatan. Selamanya.”