Selasa, 06 Mei 2014

Marah

Sudah sekian lama kau pergi, meninggalkan aku dan teman yang waktu itu hanya mentertawaiku ketika melihatmu jauh. Sembari kau membagi kasih, aku kau tanggalkan. Mencoret-coret kembali warna yang telah pudar, tak berjeda, tanpa perasaan.

Kau menangis palsu. Lidahmu terlalu kelu untuk berdalih. Jidatmu berkenyit, berpikir, drama mana yang ingin kau mainkan. Jauh sejak dulu, kita bertukar gerak dalam layar, tapi kini sirna tanpa jejak. Sering ku mainkan berulang, tapi kau tidak.

Satu.
Dua.
Tiga.

Waktu itu aku yakin dengan cinta. Jarak ujung terjauh samudera dengan selat banda tidak akan mampu menandinginya. Berkata kau dulu,"Aku sayang banget sama kamu."

Dengan wajah sedih, kuakhiri kisah kita. Menyudahi semuanya. Ya. SE-MU-A-nya.

Masa bergerak cepat, berulang kali bulan berganti, matahari nampak begitu lelah menanti. Tapi aku di sini masih marah, tenggelam dalam masa lalu yang begitu penuh sesal. Seandainya, merupakan kata yang sering terbesit semenjak saat itu.

Rindukan damai, menutup mata, dan mulai berhitung kembali.

Satu.
Dua.
Tiga.

Masih saja wajahmu terus berkelana dalam otakku yang kecil dan sempit. Membiarkan aku menyiksa diri tanpa batas, tak berbudi.

A-KU MA-RAH.

Bersenandung aku berbalapan dengan decit kursi yang bergoyang. Diikuti hentakan ujung kaki berbalas-balas. Jemari kananku naik bergantian, menimbulkan bunyi ketika kukuku menyentuh kayunya yang keropos tanpa isi. Sesekali ku tengok jam, lebih dari tengah malam. Tapi kau masih belum ingin pulang. Berkeliaran, muncul timbul dalam memori yang seenaknya kau buka-tutup.

Aku marah. Terlalu marah, hingga mataku menangis begitu lelah. Berpejam, menghitung.

Satu.
Dua.
Tiga.

Kau bilang begitu mencintaiku waktu itu. Apapun yang terjadi kita akan selalu bersama, dalam kasih, dalam pedih. Dalam mesra kita berbagi cinta, tawa, sesekali tangis kita maklumi tanpa sengaja. Bergandeng tangan kita di malam itu, wajahmu terlalu lelah untuk berjalan. Ingin kau menggendong, tapi... memegang tanganmu dan melihat wajahmu berkilauan di bawah sinar rembulan membuatku tak tega untuk menambah beban langkahmu.

Begitu banyak yang bisa membuat kita bahagia dan bertahan. Bahkan, begitu banyak alasan untuk kita kembali bersama. Tapi... kau memilih pergi.

Sa-tu.
Du-a.
Ti-ga.

DOR!

Laras yang dingin kini hangat darah.

2 komentar: