Sabtu, 31 Mei 2014

Wah, Pelangi.

Hai.

Gue sering mikir, kenapa (bagi sebagian besar orang),
kalo orang mau pacaran harus pake acara tembak-tembakan segala?
Ya, kenapa harus diminta untuk jadi pacar?
Padahal, menurut gue sih you don't ask for love. Love flows.
And all you need to do is: to go with it.

Well, at first I even thought, that love has no reason.

Iya gak sih? Lo sayang sama orang, ya tau-tau sayang aja.
Alasannya gak jelas. Kadang malah gaada alasan sama sekali.
Soalnya gue juga ngerasain kayak gitu.
Saat ini.

Apa perlu menjabarkan segunung alasan kenapa lo mencintai seseorang?
Kenapa lo sayang sama dia?
Even more confusing for me, apa perlu punya alasan untuk mencintai seseorang?
Gue sayang sama seseorang.
Ya, after all this time.
 
Dan sangat sulit bagi gue untuk ngasih satu aja alasan buat ngejawab:
Kenapa gue bisa sayang sama orang ini?

Oh, and again, after all this time.

Why can't I stop?

Oh iya.
Tadi sore, gue liat pelangi. Bagus banget.
Udah berapa tahun gue gak nemu pelangi. Dan walaupun itu cuma ilusi, gue sangat menikmati pemandangannya.
Tapi.
The most I focus on the rainbow, the harder I can see it.

Dan setelah bertahun-tahun gue gak liat pelangi, gue baru sadar tentang hal itu.

Bahwa I love looking at the rainbow.

Tapi dulu, gue gak bener-bener memantek pandangan gue ke pelangi ini.
Gue hanya..

Menikmati pemandangannya. Wonderful. Charming.

I can finally understand.
That even after the worst rain, when the sun comes shine.
There it is.
Rainbow.
Such a beautiful illusion.
Something you can't touch.
Something you can't reach.

Only something that makes you feel better.
Something colorful that you can see through.
Something so great that can always comforts you.

Then I realize, that love does happen for a reason.
But I don't need to have any reason to enjoy its wonder.

Dan sekarang gue buka mata, terus mikir, "Wah, pelangi."

Selasa, 13 Mei 2014

A Story for Ma.

Satu cerita untuk Ma.

Tadi siang Ma menelpon, masih sama dengan biasa. Menanyakan pukul berapa aku pulang, apa yang sedang aku lakukan, dan apa yang sudah aku lakukan di sekolah.

Ma bilang, kemarin Ma sudah membaca ceritaku yang kemarin lalu.

Cerita tentang rasa cinta, dan hubungan mengenai cinta itu sendiri terhadap waktu.


Ketika Ma bicara seperti itu,
Aku bingung harus bereaksi apa.
Aku hanya bicara tanpa jelas arahnya.
Sekedar berkata 'ah', 'uh', 'eh'. Dan sebagainya.
Pembicaraan dengan Ma sangat singkat.
Hingga pada akhirnya Ma menyudahinya, karena harus kembali bekerja.


Singkat. Aku berbicara pada Ma tak pernah dalam waktu lama. Tidak selama seperti aku ditelpon kekasih.

Atau bahkan. Ditelpon lelaki yang sedang ku dekati.


Pembicaraan dengan Ma selalu singkat.

Bahkan tidak lebih dari 5 kali aku memejamkan mata.


Sorenya, aku menonton suatu film Jepang.

Tokyo Tower.
Cerita tentang Me, Okasan, and sometimes Otosan.
Cerita tentang seorang Anak, Ibu, dan kadang Ayah.
Setiap episodenya membuatku tersentuh dan terhindar dari kantuk.


Banyak pesan yang bisa aku ambil dari cerita-cerita itu.
Membuatku teringat tentang Ma, dan Pa.
Ma, kali ini, aku ingin membuat satu cerita untuk Ma.
Mungkin, tidak sepanjang seperti yang Ma inginkan.
Tapi ini mungkin sedikit berhubungan dengan cerita yang aku post tanggal kemarin.
Mengenai waktu dan rasa sayang, dan penyesalan.


Ma. Mari kita mulai. :)


Ma.
Kakak sudah besar.
Sudah putih abu, dan bahkan sebentar lagi, akan melanjutkan kuliah. :)
Dan sekarang sudah terpisah jauh dari Ma, Pa, dan saudara yang lain.
Bukan raga kita semua yang terpisah. Tapi waktu kita. Kakak sekarang sudah mulai punya dunia sendiri. Sudah jarang mengobrol intim bersama semuanya.
Kakak disini baik-baik saja. Kakak sudah belajar untuk berusaha hidup lebih sehat. Meskipun sering sakit tanpa Mama tahu. :)


Ma.
Kakak sudah besar.
Sudah putih abu, dan bahkan sebentar lagi, akan melanjutkan kuliah.
Dan kadang, Kakak berpikir.
Kakak sudah segini besar.
Bukankah, sudah hampir menuju hari-hari tanpa serumah dengan Ma, Pa, dan saudara yang lain?
Maksud Kakak, Kakak sudah sebesar ini.
Sudah saatnya memikirkan jurusan kuliah nanti, pekerjaan, hidup mapan, dan apa yang bisa membuat Kakak tak bergantung lagi pada Ma dan Pa.
Ketika itu. Kakak berpikir bahwa kadang waktu bermain curang, memutar seenaknya, sehingga menjadi lebih cepat dari biasanya dan tak pernah bisa diulang.


Ma, masih banyak yang ingin Kakak lakukan untuk Ma dan Pa.
Sebelum-sebelumnya.
Masih merasa malu dengan perayaan hari-hari besar.
Seperti hari Ibu, yang sebenarnya Kakak tak bisa memberikan apa-apa, bahkan untuk meringankan pekerjaan Ma saja hampir-hampir tidak pernah.
Seperti hari Ulang Tahun Ma, yang Kakak hanya bisa mengucapkan ucapan selamat ulang tahun. Tanpa hadiah, tanpa kado.
Seperti hari raya bermaaf-maafan, Kakak hanya bisa meminta maaf, tanpa menangis.


Ma.
Di film Jepang yang Kakak beritahu, meskipun Kakak baru menonton pada episode 4, tapi Kakak sangat kesal dengan anak itu, anak dari Okasan and Otosan.
Menjadi anak yang hampir bisa di bilang egois.
Dimana sang Ibu bekerja keras, dan si Anak berada dalam posisi yang goyah di kampusnya, berbeda kota.
Si anak pernah menghabiskan uang hasil jerih payah Ibunya dengan tidak bijak.
Bisa ditebak, harapan si Ibu dapat dengan mudahnya menguap di tangan si Anak.
Hingga di akhir film satu episode, Kakak berpikir.
Apa jangan-jangan, Kakak juga demikian?


Ma, tidak pernah sekalipun mengatakan bahwa Kakak adalah anak yang mengecewakan dan tanpa harap.
Sama halnya di film itu.
Ma, hanya meminta Kakak berjuang dengan sungguh-sungguh, dengan semangat, tanpa melupakan Tuhan.
Karena Ma, disana juga berjuang demi Kakak, Pa, dan saudara-saudara, dan 2 orang adik Kakak.
Itu membuat Kakak menjadi menyesal.
Karena pernah berlaku tidak sungguh-sungguh.
Pernah menganggap remeh.
Entah itu dalam pelajaran, piano, menyanyi, organisasi, menulis, praktek, dan hal lain.
Sedangkan Ma, selalu tidur dalam larut.
Lebih larut dari siapapun.
Untuk mengerjakan semua yang bisa Ma kerjakan.
Semalam suntuk.
Dan pada saat itu, kadang Kakak malah asik menelpon kekasih.
Maaf Ma.


Ma.
Tulisan ini membuat Kakak mengerti banyak hal.
Mengerti bahwa sekarang Kakak tidak pernah berusaha sendirian.
Ma disana.
Sama halnya berjuang keras.
Seperti Kakak.


Mari, Ma.
Kita berusaha lagi.
Lakukan yang terbaik!


Dan Ma,
Kakak ingin ucapkan terima kasih.
Kadang Ma menjadi seorang yang melindungi Kakak, orang yang benar-benar berusaha mengerti Kakak dari hati.
Menjadi teman curhat, dan mencoba membujuk Pa untuk mengerti apa mau dan maksud Kakak.


Ma.
Maaf, untuk semua-semua ketidak sungguh-sungguhan Kakak.
Maaf, pembicaraan kita di telpon yang sangat singkat.
Maaf, Kakak masih terjebak dalam keadaan yang malu untuk ungkapkan sayang.
Malu untuk mengatakannya langsung.


Mungkin dari tulisan yang “agak panjang” ini,
Ma bisa mengerti bahwa Kakak selalu menyayangi Ma.
Dan ingin melakukan yang terbaik yang Kakak bisa.
Untuk Ma, Pa, keluarga, dan Kakak sendiri. :)


Love you, Ma. :)
Happy 'late' Mom's Day.


 

Jumat, 09 Mei 2014

Reuni

Aku memandang berulang-ulang SMS dari Riana, sahabat terbaikku semasa SMA. Mencoba meyakinkanku biar datang nanti pada saat reuni SMA untuk kesekian kalinya. Aku rebahkan badanku dengan sangat malas dan berat pada sofa yang sudah tidak lagi terlalu empuk. Bahkan pinggangku sempat mengeluh perih ketika tulangku bersinggungan dengan tulang-tulang sofa. Wajahku meringis ngilu. 

“Uhhh.. sakit. Memang sofa tua, terlalu renta.” gerutuku.  

Memang sudah terlalu lama, terlalu sulit untuk diingat, kapan terakhir aku menepuk-nepuk debu sofa biar berterbangan. Kapan terakhir aku menyikat dan menyeka sofa tua kesayangan dan satu-satunya ini. Sofa dengan warna biru tua kelam, hadiah pernikahan dari sahabat-sahabatku dan dia, Riana salah satunya. Riana, sahabat yang begitu ingin aku temui, sahabat yang ingin aku peluk, aku lepas, kemudian aku peluk lagi.

Kupandang sekali lagi handphone butut ini, memastikan akan mengatakan “tidak” pada ajakan Riana. Tapi godaan untuk bertemu Riana sekali lagi membuatku seakan bimbang, berteman dengannya tidak pernah sendu, mudah menghilangkan pilu yang kadang terlalu lama menjadi lumut di hati. Namun… kali ini? Riana… maaf, batinku. 

Jengah. Hari begitu panjang, sedang menunggu dia untuk pulang, menemaniku yang sendirian. Namun masih saja dia disibukkan oleh kemacetan jalan. Sepi, bahkan burung gagak pun akan mati. Mendengarkan irama jam yang begitu monoton diikuti dengan napasku yang sama-sama saja. Begitu standar, begitu-begitu saja. Sejak hari itu, aku bilang hidupku terasa sama, terasa hambar, menunggunya pulang, tanpa bisa melakukan apa-apa. Kecuali… kecuali dengan memainkan social media dan bermain gadget masuk dalam hitungan melakukan apa-apa. 

Sesekali otakku berputar pada sisi reuni SMA. Mengingatkanku kembali pada jaman-jaman indah semasa SMA. Begitu ingin aku pergi pada reuni besok. Begitu ingin kakiku melangkah dan menari riang bersama Riana. Seandainya saja aku bisa, batinku. 

Kusibakkan tirai yang menutupi debu atas sofa. Ia sempat bilang, bulan kali ini begitu indah untuk dipandang. Begitu menggoda untuk dicuri, disandingkan dengan mataku yang berkilauan. Ah, masih saja dia romantis sesuai caranya, pikirku. Pesan yang langsung saja dikirim ketika aku mengeluh tentang rinduku padanya. Sepuluh jam begitu terasa berlebihan untukku. Kasih, cepatlah pulang, rindu membuatku terus menggerutu, pesanku berulang-ulang di telepon. 

Memang bulan sekarang begitu indah. Berkilauan, pamer, membuat bintang disekitarnya menjadi iri. Cahayanya membuat bintang kehilangan perhatian. Rasi bintang terindah dan venus merah pun tercuri perhatiannya. Ah… tapi anggunnya bulan malam ini masih belum bisa menggoyahkan pikiranku tentang reuni besok yang akan terjadi. Pikiranku membayangkan hiruk-pikuk dan kemeriahannya seperti tahun lalu. Tawa dan canda diumbar, bahagia rasanya. 

Lalu… tahun ini, apa aku lewatkan saja? batinku.

Lagi, Riana meneleponku kembali. Seingatku sudah kesembilan kalinya telepon itu datang. Tapi tidak pernah aku angkat. Khawatir terselip rindu dalam getar suaraku. Khawatir terucap kata ingin bertemu, dengan malu yang menunggu. Aku ingin bertemu Riana, bicara, tertawa, bahkan tertidur sementara. Tapi tidak pada masa ini, aku belum siap.

Sama dengan belum siapnya aku untuk mengangkat panggilan dari Riana. Kali ini? Maaf… Riana, ucapku pelan.

Entah kenapa aku begitu mudah larut dalam sendu yang berkepanjangan. Mudah tenggelam dalam rasa sepi, gundah, dan jengah bersamaan. Tidak seperti aku yang dulu, semasa SMA yang begitu bersemangat, mengikuti banyak kegiatan sekolah hingga lupa rumah. Lantas, mengapa aku masih ragu untuk datang pada reuni? 

Reuni. Datang atau tidak, kurasa mereka masih akan mengingatku. Tidak hanya itu saja, mereka akan merindukanku dengan segala keramaian yang mereka buat. Reuni pasti masih ada tahun depan. Mungkin tidak menjadi masalah aku melewatkannya tahun ini, kataku. Hanya saja, harus menunggu selama dua belas bulan, atau empat puluh delapan minggu, atau tiga ratus enam puluh lima hari lagi untuk reuni berikutnya.

Mulai tergoda aku untuk mengatakan iya pada Riana. Menelepon Riana balik, mengatakan iya, kemudian menentukan corak apa yang akan kami pakai pada reuni nanti. Belum selesai khayalanku pada keriuhan nanti, tiba-tiba pintu depan ada yang mengetuk. 

“Iya? Siapa?” teriakku dari dalam.

“Ini aku, akhirnya aku pulang.” jawab kekasihku datang.

“Sebegitu macet dijalan?” tanyaku dengan wajah kesal. Berniat sedikit mencuri perhatian, melempar sinyal bahwa rinduku terlalu meluap-luap saat ini.

Tanpa menjawab ia melepaskan sepatu dan menaruh belanjaan di meja depan, berjalan dengan lelah menghampiriku. Tersenyum, kemudian, “Hai.” Ia mengecupku manis di kening, memelukku erat, mengecup pundakku sebegitu halus.

“Aku rindu.” bisikku.

“Iya, aku tau. Karena sama rasa itu ada padaku.” balas bisiknya.

Ia beranjak, kembali ke depan pintu rumah, mengambil belanjaan yang tadi ia lepaskan. “Beli apa untuk hari ini?” tanyaku penasaran.

“Spesial, nasi goreng mawut plus telor dadar.” senyumnya mengisyaratkan sesuatu.

“Mang Jaksa??” tanyaku buru-buru.

Ia mengangguk. “YEAAH! Makasih sayaaang! Pantesan kamu lama.” erangku manja.

Mang Jaka adalah penjual nasi goreng mawut favoritku semasa SMA. Rasanya begitu menggoda, aromanya terlalu naif untuk ditahan. Aku begitu mencintai masakannya semasa itu, begitu menyukai racikan yang Mang Jaka buat selama bertahun-tahun. Hingga kami lulus pun, aku dan dia masih sering bertandang ke sana.

“Eh, kamu jadi ke reunian besok?” tiba-tiba dia bertanya.

Mendadak nafsu makanku yang tadi banyak, mulai melunak. “Hmm. Masih belum tau. Menurut kamu?”

Ia tersenyum manis menggoda. “Aku rasa Riana juga sangat merindukanmu.”

“Mungkin tidak, aku tidak akan datang.” sambilku membuka bungkusan nasi goreng mawut spesial.

“Yakin?” tanyanya sambil menggeser kursi biar duduk berhadapan denganku.

Aku hanya bisa mengangguk. Mengambil piring yang ia sodorkan, tak sabar untuk makan. Tak sabar untuk menyudahi percakapan. “Masih ada sekitar delapan belas jam untukmu berubah pikiran.” godanya lagi. Aku acuh, mulai makan dan menikmati nasi goreng mawut spesial.

“Enak?” tanyanya sekali lagi. “Sudah pasti lah!” jawabku tanpa ragu, diakhiri dengan tawa kami yang memenuhi seisi rumah.

“Hmm. Sayang, besok pagi jadi kan?” tanyaku lirih.

Ia taruh piring dengan nasi goreng mawut di atas pangkuannya. Kemudian ia genggam tanganku erat, menatap mataku tajam. “Hanya bila kau siap. Dan aku berharap secepatnya kau siap. Meski bukan besok.”

Aku tersenyum manis, “Sudah berapa kali kita menundanya?”

“Berkali-kali. Terlalu banyak.” jawabnya sambil membawa satu suapan nasi goreng mawut ke dalam mulutku.

“Jadi?” tanyanya padaku.

“Aku siap.” tegasku padanya.

Tersenyum dia, lalu berlutut, dikecupnya kedua kakiku, “Selamat diamputasi besok, kaki-kaki istriku.”

Disentuhnya pipiku dengan lembut. Mengusap pipiku dengan jempolnya yang maju-mundur, “Aku mencintaimu, masih sama. Dengan atau tanpa kakimu.”

Diciumnya mesra bibirku yang basah dengan air mata. 

Selasa, 06 Mei 2014

Marah

Sudah sekian lama kau pergi, meninggalkan aku dan teman yang waktu itu hanya mentertawaiku ketika melihatmu jauh. Sembari kau membagi kasih, aku kau tanggalkan. Mencoret-coret kembali warna yang telah pudar, tak berjeda, tanpa perasaan.

Kau menangis palsu. Lidahmu terlalu kelu untuk berdalih. Jidatmu berkenyit, berpikir, drama mana yang ingin kau mainkan. Jauh sejak dulu, kita bertukar gerak dalam layar, tapi kini sirna tanpa jejak. Sering ku mainkan berulang, tapi kau tidak.

Satu.
Dua.
Tiga.

Waktu itu aku yakin dengan cinta. Jarak ujung terjauh samudera dengan selat banda tidak akan mampu menandinginya. Berkata kau dulu,"Aku sayang banget sama kamu."

Dengan wajah sedih, kuakhiri kisah kita. Menyudahi semuanya. Ya. SE-MU-A-nya.

Masa bergerak cepat, berulang kali bulan berganti, matahari nampak begitu lelah menanti. Tapi aku di sini masih marah, tenggelam dalam masa lalu yang begitu penuh sesal. Seandainya, merupakan kata yang sering terbesit semenjak saat itu.

Rindukan damai, menutup mata, dan mulai berhitung kembali.

Satu.
Dua.
Tiga.

Masih saja wajahmu terus berkelana dalam otakku yang kecil dan sempit. Membiarkan aku menyiksa diri tanpa batas, tak berbudi.

A-KU MA-RAH.

Bersenandung aku berbalapan dengan decit kursi yang bergoyang. Diikuti hentakan ujung kaki berbalas-balas. Jemari kananku naik bergantian, menimbulkan bunyi ketika kukuku menyentuh kayunya yang keropos tanpa isi. Sesekali ku tengok jam, lebih dari tengah malam. Tapi kau masih belum ingin pulang. Berkeliaran, muncul timbul dalam memori yang seenaknya kau buka-tutup.

Aku marah. Terlalu marah, hingga mataku menangis begitu lelah. Berpejam, menghitung.

Satu.
Dua.
Tiga.

Kau bilang begitu mencintaiku waktu itu. Apapun yang terjadi kita akan selalu bersama, dalam kasih, dalam pedih. Dalam mesra kita berbagi cinta, tawa, sesekali tangis kita maklumi tanpa sengaja. Bergandeng tangan kita di malam itu, wajahmu terlalu lelah untuk berjalan. Ingin kau menggendong, tapi... memegang tanganmu dan melihat wajahmu berkilauan di bawah sinar rembulan membuatku tak tega untuk menambah beban langkahmu.

Begitu banyak yang bisa membuat kita bahagia dan bertahan. Bahkan, begitu banyak alasan untuk kita kembali bersama. Tapi... kau memilih pergi.

Sa-tu.
Du-a.
Ti-ga.

DOR!

Laras yang dingin kini hangat darah.