Senin, 19 Agustus 2013

Cappuccino's Ilussion

            Aku melangkahkan kaki keluar dari gedung fakultas Antropologi. Kutelusuri jalan keluar kampus, lalu aku berhenti di depan sebuah Coffee Shop langgananku dan dia. Aku mengedarkan pandangan ke sekelilingku. Mana dia?
            “Rega!” terdengar suara seseorang yang begitu akrab di telingaku. Aku menengok ke belakang. Sosok pemilik suara itu menatap jelas ke arahku. Dia disana, berjalan ke arahku dengan senyuman yang begitu indah. Giginya yang berbaris rapi menambah manis senyumannya. Tak akan pernah kulupakan.
            Aku terpaku. Mataku lekat menatapnya. Tak pernah bosan.
            “Ngopi yuk?” ajaknya menepuk pundakku. Tatapannya hangat.
            Sesaat aku terdiam, merasa senang saat menyadari bahwa konsentrasinya benar-benar menyorot kepadaku, tak ada yang lain. Hanya padaku. “Yuk. Lo suka Cappuccino pakai Choco Granule kan?”
            Ia mengangguk senang. Aku tahu pasti keinginannya. Kopi, yang merupakan minuman kesukaannya, merupakan minuman yang membuatku muak. Sejak dulu, aku tak menyukai kopi, baik rasanya maupun aromanya. Aneh memang, aku, seorang lelaki, bisa tidak menyukai kopi. Tapi, itulah kenyataannya. Tiap meminum kopi, sesampainya di rumah, aku langsung mual. Tapi, demi menghabiskan waktu bersamanya, aku akan meminum kopi, bahkan bergelas-gelas, hanya untuk bersamanya. Ya, mungkin aku memang bodoh.
            Kami pun masuk ke dalam Coffee Shop favorit kami itu, mencari tempat duduk, lalu memanggil pelayan. Aku menyebutkan pesanan kami. Pelayan itu pun pergi dan tak lama ia kembali membawa pesanan kami: 2 Hot Cappuccino with Choco Granule.
            “Nih Nav, Choco Granule gue, ambil aja, karena gue tahu lo lebih suka kalau Choco Granule nya banyak.”
            Wanita itu tertawa geli. Navia, wanita yang selalu memasang senyuman termanis yang pernah kulihat, yang kurasa senyum itu hanya untukku. Kami menyesap cappuccino itu bersama, sesekali aku mencuri pandang ke arahnya. Aku memperhatikan cara ia menyesap kopinya, cara  ia meniup kopi panasnya, semuanya kurekam dalam otakku.
            Aku selalu senang saat sedang mengopi bersamanya. Aku merasa bahagia saat lenganku dan lengannya bersentuhan karena aku duduk tepat di sampingnya. Saat minum kopi bersamanya, kehangatan canda dan tawanya bisa turut kurasakan dalam hangatnya kopi yang sejujurnya membuatku mual.
            Setiap tiba saatnya dimana cappuccino kami habis, ingin rasanya aku memesan kembali cappuccino bagi kami berdua, hanya agar aku bisa lebih lama bersamanya. Saat bersamanya, semuanya terasa begitu menyenangkan, semua hal buruk mendadak terasa baik-baik saja. Aku jadi suka kopi, terutama cappuccino. Aku merubah tampilanku, merubah sikapku, semua hanya demi dia. Dulu, aku seorang pria badung. Selalu keluar sampai malam, belajar malas-malasan, jarang masuk kuliah. Semenjak dia hadir dalam hidupku, aku merubah semuanya, semi dia. Aku ingin terlihat baik dan benar di matanya. Aku ingin terlihat sempurna di mata wanita yang sangat kucintai. Kopi yang awalnya memuakkan menjadi terasa manis dan hangat, seperti senyuman dan sinar matanya.
Entah sudah berapa cangkir cappuccino yang kami minum bersama. Tidak dalam hubungan apa-apa. Hanya menggantung saja. Tak ada sapaan di pagi dan malam hari. Meskipun, ya, tentu saja aku mengharapkan itu semua. Aku seringkali menghubunginya duluan, namun biasanya balasannya begitu singkat. Aku lebih suka begini, pertemuan yang hangat dan akrab. Sudah berbulan-bulan aku memendam rasa sayang ini padanya. Tak mungkin dia tahu. Tak mungkin dia sadar. Aku menutupnya rapat-rapat.
            “Trims ya, udah mau nemenin ngopi.” Ucap Navia tersenyum manis sembari meraih tisu di atas meja. Aku mengangguk senang.
            Aku bangkit berdiri, meninggalkan meja dan bangku yang kami duduki di Coffee Shop itu, berpamitan padanya, lalu berjalan pulang ke kost-an ku dengan langkah ringan. Aku tak sabar menunggu hari esok datang. Minum cappuccino lagi dengannya. Saat terindah dalam hidupku. Memandangi parasnya secara diam-diam dari samping. Mencintai dan menyayanginya secara diam-diam. Menyakitkan, memang. Tapi aku bisa apa?
-----
            Aku berjalan seperti biasa menuju Coffee Shop. Aku bertekad, perasaan ini harus kuungkapkan padanya hari ini, bersama secangkir cappuccino yang akan menemaniku. Apa gunanya jika tidak diungkapkan? Apa bahagianya menjalani cinta sendiri? Hari ini aku ingin memperjuangkan cintaku padanya, membangun nyali yang selama ini tertahan.
            Aku menemukan sosoknya, duduk di meja biasa tempat kami mengopi. Matanya dan mataku bertemu, tapi hanya sekilas. Navia hanya tersenyum singkat. Entahlah.. Tak tahu kenapa, kurasa ia tak ada niat untuk mengopi bersamaku hari itu.
            “Ngopi yuk?”
            “Barusan udah.”
            Lho? Kenapa ia mengopi sendirian? Kenapa tak menungguku?
            “Tadi ngopi apa?”
            “Cappuccino.”
            “With Double Choco Granule as usual?”
            “Yup.”
            “Sendiri?”
            “Iya.”
            Aku mulai ragu. Ada apa dengannya? Aku duduk di seberangnya, mencoba membuka pembicaraan. Entah mengapa, aku agak ragu duduk di sisinya. Ia tampak mengambil jarak padaku hari ini.
            “Aku mau ngomong sama kamu. Penting. Boleh?”
            Baru saja ia hendak membuka mulutnya, sesosok bayangan muncul di mejaku. Seseorang berdiri di belakangku. Aku menoleh.
            “Eh, Rega. Ngopi, bro?”
            Sosok pemilik suara itu menyapaku. Putra? Teman satu kelasku? Hendak apa dia disini?
            Putra beranjak menuju tempat kosong di samping Navia. Tangannya lembut membelai rambut wanita yang kusayangi.
            “Sayang, maaf ya lama nunggu. Tadi ke kamar mandinya ngantri.”
            Aku hanya diam menatap pilu. Apakah mungkin…
            “Eh, Rega, ini Yudha, pacar gue. Kalau nggak salah, kalian berdua satu fakultas kan?” Dengan senyum lebar, ia memperjelas semuanya.
            Putra tersenyum padaku, ia mengangguk. Aku balas tersenyum, meskipun hatiku terasa pecah.
Jadi, selama ini aku hanya teman mengopi saja. Tak ada yang lebih. Aku tolol, menaruh harapan terlalu tinggi. Kini aku terhempas keras, sakit.
Dan akhirnya perasaanku padanya hanya dipendam, tak pernah terungkapkan. Kopi cappuccino yang kuminum ternyata member ilusi yang membuatku merasa kalau harapanku padanya akan berbalas. Nyatanya tidak. Hanya ilusi.
Tak akan ada lagi cappuccino atau kopi lainnya yang akan masuk ke mulutku.
Sudah cukup.

Jumat, 16 Agustus 2013

Just A Drama

“Gak perlu, aku bisa sendiri.” Kataku sambil menepis jemarinya dengan kasar saat ia mencoba membantuku membereskan kertas-kertas tugasku yang berserakan karena kusenggol secara tak sengaja tadi.
            Ia mematung, aku sibuk mengumpulkan kertas-kertas yang seharusnya sejak tadi kukerjakan, namun tertunda karena dia.
            “Dulu kamu buang aku, sekarang udah terlanjur, ngapain kamu coba-coba lagi buat ngubah hubungan kita?” tanyaku, berusaha agar nada suaraku terdengar tak peduli. Kulirik ia sekilas, tatapannya seakan kosong tetapi penuh emosi di dalamnya.
            “Kenapa ngajak ketemuan lagi sih?” tanyaku dingin. “Belum puas sama semua yang udah kamu lakuin selama ini? Belum cukup?”
            Ia menatapku dengan merasa bersalah. Sejenak, selama sepersekian detik, aku merasa kasihan padanya, tak seharusnya aku sekasar itu padanya. Tapi kemudian aku tak peduli, rasa kasihanku telah habis baginya, kepercayaanku dan kesabaranku sudah memudar untuknya. Aku tak mau lagi bertemu dengannya sejak 6 bulan yang lalu, yang mengubah semua perasaanku baginya, dari rasa sayang menjadi rasa muak akan semua hal tentangnya. Sejak kejadian itu, aku menghindarinya, tak ingin menemuinya. Pertemuan sialan di perpustakaan ini tak akan pernah terjadi jika saja dia tidak memohon-mohon dengan suara memelas seperti di telepon tadi.
            “Maafin aku ya.” Ia berucap dengan ekspresi polos, seakan-akan tak pernah ada kesalahan serius yang pernah ia lakukan di masa lalu. “Aku memang salah.”
            “Baru sadar kalau kamu salah? Iya, kamu memang salah!”
            “Aku menyesal.”
            “Lupakan saja.”
            “Aku menyesal.”
            “Sudahlah!”
            “Aku menyesal! Andika, aku menyesal. Aku minta maaf.” Ucapannya terdengar lembut saat menyebut namaku. Aku tak bisa menahan diri untuk tetap bersikap dingin. Kutatap matanya.
            “Aku udah maafin kamu dari sejak kejadian itu.”
            “Benarkah?” tanyanya, lugu seperti anak kecil. Aku mengangguk cepat, aku hanya ingin pertemuan ini cepat selesai, itu saja. Aku tak mau menatapnya lagi.
            “Maafkan aku ya, Dika. Aku benar-benar menyesal sudah melakukan hal itu padamu.”
            “Cukup! Percuma kamu bilang menyesal kalau kamu sendiri tetap bersikap seperti itu.”
            “Aku mesti bagaimana supaya kamu benar-benar memaafkanku?”
            “Nggak perlu berbuat apa-apa. Semuanya udah jadi masa lalu. Lupakan saja semuanya.” Ucapanku yang dingin mengunci mulutnya. Ia memandangku, menatapku, memohon belas kasihan. “Nggak perlu menatap aku seperti itu. Rasa kasihanku sama kamu sudah hilang.”
            Selama beberapa saat ke depan, aku terus mencecarnya. Ia hanya diam, mendengarkan dengan tekun, menatapku dengan penuh rasa bersalah. Aku tak bisa menahan emosiku. Bayangan saat peristiwa itu terjadi kembali muncul. Saat aku melihat dia, kekasihku di masa lalu, dicium keningnya oleh seorang lelaki, yang mana itu bukan aku, di ujung koridor gedung fakultas. Aku sangat ingin melupakan kejadian itu. Aku tak mau dibayang-bayangi masa lalu. Aku ini memang lelaki, tapi lelaki juga punya perasaan.
            “Pergilah, Nadya.”
            “Tanpa kamu bilang begitu pun aku akan pergi.”
            “Baguslah, aku gak perlu lagi liat muka kamu! Jangan kembali lagi, kalau perlu pergi selamanya!”
            “Iya. Aku akan pergi selamanya, Andika.”
            Dia mengucapkan kalimat terakhir di percakapan kami hari itu dengan nada yang aneh. Asing. Tapi ya sudahlah, aku tak peduli. Aku tak mau membuang waktuku yang berharga dengan hal yang tidak penting semacam ini. Aku beranjak lalu membawa barang-barangku, secepat mungkin menjauhi tempat itu. Nadya masih terdiam dengan ekspresi hampa di tempat duduknya.
            “Puas lo!” Batinku berseru. Aku tertawa sendiri. Aku rasa aku berhasil membuatnya merasakan sakit yang sepadan dengan apa yang dia perbuat dahulu. Aku sama sekali tak menyesal akan berpisah dengan Nadya. Ya Tuhan, betapa bahagianya.
            Aku tersenyum.

-----

            Ku lihat tanggal di handphone-ku. 26 Mei. Hari ulang tahunku yang ke-20. Dan sekaligus tepat 3 bulan semenjak kejadian di perpustakaan itu. Tak ada lagi komunikasi barang sedetikpun dengan Nadya. Aku tak pernah mendengar kabar tentangnya.
            Hari-hariku tanpanya berjalan datar. Sedikitpun tak ada rasa menyesal karena telah berbicara kasar pada Nadya. Meskipun, tak dapat kupungkiri, aku terkadang memikirkan dia. Entah mengapa, hari-hariku terasa tak lengkap. Terasa kehilangan. Terkadang aku iri melihat teman-temanku yang bermesraan secara terang-terangan di hadapanku, sementara aku hanya sendirian. Entahlah, mungkin hanya rasa kehilangan yang sesaat.
            Siang ini, aku sedang duduk di taman kampus, sibuk membalas sms-sms yang masuk mengucapkan selamat ulang tahun. Baru saja aku selesai, handphone-ku bergetar dan berdering. Nomor tak dikenal. Entah kenapa terasa penting. Jadi, kuangkat saja.
            “Halo?” jawabku setengah bertanya, ragu.
            “Halo.. Andika?” Terdengar suara seorang gadis yang agaknya akrab.
            “Ini Kiren, ini kak Andika ya?”
            “Kiren.. Adiknya Nadya?” Suaraku seakan tercekat.
            “Kenapa ya Ren? Ada apa?”
            “Kiren ada perlu sama kak Dika, bisa ketemuan gak kak?”
            “Di mana?”
            “Nanti Kiren jemput. Bisa kak?”
            Aku berpikir lama. Akhirnya, batinku menyerah. “Oke.”
-----

            “Ini tempat apa?” tanyaku saat turun dari mobil Kiren, menapaki tanah rerumputan yang basah berembun sehabis hujan. Kiren turun menghampiriku. Ia hanya diam, lalu mengajakku berjalan menyusuri padang ilalang dan rumput hijau segar. Tak lama, Kiren mengeluarkan kembar tabur dan air dari tas tangannya. Ada apa ini?
            Setelah menyusuri daerah itu beberapa saat, kami melewati dua pepohonan besar yang berdiri berseberangan. Di sanalah, aku melihat beberapa nisan. Aku terheran, mengapa di tempat seindah ini bisa ada kompleks pemakaman.
            Kami terus berjalan, hingga Kiren berhenti di depan sebuah nisan. Aku tak memperhatikan tulisan di nisan itu. Kiren berjongkok di samping nisan itu. Aku pun secara tak sadar ikut berjongkok di sisi lain nisan itu.
            “Sudah 3 bulan. dia pergi sesuai kemauan kak Dika.”
            Siapa?
            “Kak Nadya sakit, dia bilang pada Kiren kalau kak Nadya tak ingin kak Dika tahu tentang hal ini.”
            Nadya sakit? Separah apa? Itu karma namanya! Aku terus mengumpat-umpat dalam hati.
            “Kak Dika dan dia sudah pacaran sejak SMA kan?”
            Aku hanya diam. Aku tak suka masa laluku diungkit.
            “Kak Nadya tak mau kepergiannya membuat kak Dika merasa tersakiti.”
            Aku masih belum mengerti.
            “Saat kak Dika dan kak Nadya putus, itu semua rancangan kak Nadya. Ia membuat semuanya terjadi seakan-akan nyata.”
            Apa sih yang Kiren bicarakan?
            “Kak Nadya sengaja membuat semacam drama yang menyakiti kak Dika, agar kak Dika tak menyesal dan terluka ketika ia pergi. Karena sesungguhnya kak Nadya masih mencintai kak Dika. Dia yang bilang pada Kiren sebelum dia pergi.”
            Bullshit! Ini semua pasti salah!
            “Kak Dika tak pernah sadar kalau pertemuan terakhir kakak dengan kak Nadya adalah saat kak Dika memakinya habis-habisan.”
            Deg. Rasanya sebuah batu besar menimpaku. Dadaku terasa sesak.
            Perlahan, kutatap nisan itu. Kutepis pasir dan debu yang menutupi tulisan di sana. Tertulis namanya. Nama perempuan yang dulu menjadi pusat dari duniaku.
            Nadya.
            “Drama yang dirancang kak Nadya berhasil. Kak Dika tak terlihat terluka barang sedikitpun. Kak Dika tak menangis. Persis seperti yang diinginkan kak Nadya.”
            Aku diam, benar-benar diam. Aku tak tahu harus berkata apa. Lidahku kaku. Aku tak pernah menyangka..
            Setetes air mata meluncur dari pelupuk mataku, turun dan menetes ke tanah makam Nadya.
            Ya Tuhan..

Rabu, 14 Agustus 2013

Don't Insult My Boyfriend!

Aku tersenyum padanya, lalu membiarkan motor bebek sederhana yang sudah mengantarku pulang itu menjauh. Dengan langkah santai aku menapaki anak tangga di teras rumah. Di ambang pintu, Mbok Diah, pengurus rumah keluargaku, berdiri menungguku. Wajahnya tampak cemas melihatku pulang tidak bersama supirku. Kulirik sekilas ke dalam ruang keluarga. Sepi.
"Mbok, Papa sama Mama mana? Ini kan udah jam 8 malem.' tanyaku sembari melangkahkan kaki masuk lalu duduk di sofa, meregangkan otot-ototku yang pegal.
"Belum pulang, nduk. Tadi pulang sama siapa, nduk?' Mbok Diah bertanya balik dengan sedikit logat Jawa nya kepadaku sembari membawakan kopi panas dan sup jagung hangat buatannya. Aku menyambutnya lalu menjawab sekenanya. "Sama Mas Jehand."
"Mas Jehand yang wong Jowo itu toh? Naik motor? Memangnya Mang Dana nggak jemput di kampus kamu?"
"Tadi Mang Dana dateng kok Mbok.. Cuma saya suruh pulang lagi. Kasihan, kan anaknya lagi sakit." jawabku pada Mbok Diah. Sejenak, beliau mengangguk ragu, lalu permisi untuk melanjutkan pekerjaannya di dapur. Aku menghirup kopi panas kesukaanku sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang keluarga. 
Ruangan yang tidak terlalu besar tetapi cukup nyaman karena penataan yang rapi dan baik. Tatapanku bergeser, dari mulai dinding yang berlapis cat berwarna putih lembut, lalu turun ke arah televisi dan home theater yang melengkapinya, yang biasa kugunakan untuk bernyanyi melepas jenuh sendirian, lalu ke piano tua yang biasa kumainkan untuk membuat lagu saat kesepian, hingga pada akhirnya tatapanku beralih ke atas piano tua itu. Aku tertegun sejenak. Di sana, di atas piano tua peninggalan nenekku, ada satu foto yang ditaruh disana, foto keluargaku; Papa, Mama, Kak Seno, dan aku. Foto itu terlihat begitu bahagia, semuanya memasang senyuman yang sempurna. Aku tersenyum pedih, memikirkan keluargaku yang semakin hari semakin sibuk dengan urusan masing-masing. "Kenyataannya, keluargaku kini tak sebahagia foto yang ada di atas sana," batinku lirih dan sedih dalam hati.

Inilah kepedihanku. Papa, Mama, dan Kak Seno. Sesederhana itulah kepedihanku.

-----

"Maaf ya, aku cuma bisa nganterin kamu pulang dengan motor butut saja, tidak seperti supirmu yang memakai mobil mewah itu." ujar Mas Jehand dari ujung telepon, suaranya terdengar begitu kecewa.
"Nggak apa-apa Mas, toh sama aja. Lagian tadi anaknya Mang Dana sakit, jadi ya kusuruh pulang aja, kasihan anaknya." jelasku sambil menghibur Mas Jehand. Sejenak, kami saling berdiam diri, tak ada yang berbicara.
"Kamu ndak malu naik motor sama aku?" tanya Mas Jehand.
"Kenapa harus malu?" aku membalikkan arah pertanyaanku padanya.
"Ya malu lah dilihat teman-temanmu, kamu ndak lihat apa, tadi tatapan mereka seperti memandang sinis ke arah kita. Terus di jalan kamu kena asap, kena hujan, kepanasan. Memangnya kamu nyaman seperti itu?"
"Aku nggak malu mas, mau dicemooh, mau kena polusi, mau kena air hujan, mau kena terik matahari, yang penting aku sama kamu." jelasku.
"Maafin aku ya, aku ndak bisa jadi seperti pria biasa yang lainnya, yang bisa ngasih kamu kemewahan." tutur mas Jehand pelan, masih dengan logat Jawanya.
"Manusia diciptakan Tuhan berbeda-beda itu untuk saling melengkapi, Mas. Aku mencintai kamu karena kamu berbeda. Kamu menawarkan kesederhanaan yang belum pernah ditawarkan lelaki lain padaku."
"Tapi aku merasa rendah, aku ndak bisa mengimbangi kamu.."
"Pacaran itu bukan soal sama seimbang Mas, tapi saling menerima apapun keadaan kekasihnya."
"Aku kagum sekali sama kamu. Kamu tetap terlihat sederhana walaupun kamu memiliki segalanya. Kamu masih bersikap rendah hati walaupun kamu bisa saja bersikap sombong dan memamerkan kekayaanmu seperti yang biasa orang-orang lakukan." kata Mas Jehand panjang lebar, membuatku secara refleks tersenyum.
"Aku nggak berhak memamerkan harta orang tua ku, hasil keringat orang tua tidak sepantasnya dipamerkan oleh anaknya, Mas." ucapku tenang sembari mendengar desahan nafasnya yang lembut di ujung telepon. "Aku sangat senang saat-saat seperti ini, ketika semua anggota keluargaku sibuk sendiri, kamu selalu ada mengisi kekosongan-kekosonganku. Aku ingin kita selalu seperti ini mas.." jelasku lirih.
"Aku juga ingin kita tetap begini, cantik." Respon Mas Jehand membuatku tersenyum.
Aku mencintai dia. Dia, yang secara status sosial dan fisik berbeda jauh denganku. Aku tak mau kehilangan dia.

-----

Langkah kakiku ringan memasuki daerah Fakultas Sastra Inggris di universitas tempatku menggantungkan harapan, UNPAD, menikmati daun-daun kuning yang mulai berguguran di musim ini, merasakan angin yang semilir menyentuhku, tersenyum melihat indahnya awan-awan putih yang menggantung cerah bersama mentari. Namun senyumanku memudar tatkala kulihat Mas Jehand dan seorang wanita tengah berargumen di ujung koridor yang masih sepi kala itu.
"Sita itu istimewa dan wanita yang berkelakuan buruk seperti kamu tidak pantas mengganggunya!" sentak Mas Jehand kepada lawan bicaranya yang ternyata teman dekatku juga, Alicia. Saat itu aku hanya bisa diam, aku masih bingung akan apa yang Mas Jehand baru saja katakan pada Alicia.
Beberapa waktu kemudian, Alicia melihatku, lalu menghampiriku dan menarik lenganku ke hadapan Mas Jehand. Kerumunan pun semakin ramai, ingin tahu apa yang terjadi antara kami bertiga.
"Oh, jadi ini cewek yang lo sebut istimewa di mata lo Je? Kalau dia istimewa, dia gak akan ditinggalin sama orang tua dan kakaknya tiap hari! Kalau dia sebagus yang lo bilang, dia gak akan mau sama lo yang kayak orang bego, lo liat tampilan lo, cupu, pake kacamata! Lo bandingin sama dia, dia jauh tingkatannya sama elo Je! Lo cuma punya motor bobrok, lah dia mobilnya mewah. Gue yang istimewa Je, gue yang sepantasnya ngedapetin elo, gue yang nggak ngeliat kekurangan lo, gue yang tulus sama lo!" Bentak Alicia pada Mas Jehand. Saat itu juga, emosiku meluap. Aku menatap Alicia, yang dulunya teman dekatku, dengan penuh amarah.
"Eh, cewek jalang! Lo ngaca dong! Kalo lo sayang sama Mas Jehand, kalo lo nggak mandang kekurangan dia, lo gak seharusnya ngata-ngatain dia bego, ngatain penampilannya, ngatain kendaraannya. Gue cinta sama dia, gue berusaha menerima semua yang dia punya, itu namanya cinta! Tanpa elo ngelakuin hal bodoh begini pun, hidup gue udah cukup berantakan. Orang tua gue emang gak pernah ada untuk mengisi kekosongan gue, but I have Jehand! Jehand selalu jadi obat buat nutupin luka gue karena ketidakpedulian orang tua gue! Sekarang lo pergi, dan inget satu hal. Don't insult my boyfriend!" kataku panas. Alicia mematung sejenak, kemudian ia pergi menjauh, berlari pelan memecah kerumunan, sekilas kulihat matanya berkaca-kaca. Aku menggandeng tangan Mas Jehand, yang sedang tersenyum hangat menatapku. Aku serasa terbang melihatnya.

-----

Aku menghirup kopi panas kesukaanku sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang keluarga. Ruangan yang tidak terlalu besar tetapi cukup nyaman karena penataan yang rapi dan baik. Tatapanku bergeser, dari mulai dinding yang berlapis cat berwarna putih lembut, lalu turun ke arah televisi dan home theater yang melengkapinya, yang biasa kugunakan untuk bernyanyi melepas jenuh bersama orang-orang yang kusayangi, lalu ke piano tua yang biasa kumainkan untuk membuat lagu saat sedang berkumpul bersama orang-orang ynag kusayangi, hingga pada akhirnya tatapanku beralih ke atas piano tua itu. Aku tertegun sejenak. Di sana, di atas piano tua peninggalan nenekku, ada satu foto yang ditaruh disana, di sebelah foto keluargaku yang dulu, itu foto keluargaku yang baru; Papa, Mama, Kak Seno, Mas Jehand suamiku, aku, dan Memo, anak lelakiku. Foto itu terlihat begitu bahagia, semuanya memasang senyuman yang sempurna. Aku tersenyum manis, memikirkan keadaan keluargaku yang semakin hari semakin hangat, semakin dekat. "Kenyataannya, keluargaku kini lebih bahagia dari foto yang terpampang di atas sana." batinku riang dalam hati.

Ini kebahagiaanku. Papa, Mama, Kak Seno, Mas Jehand, dan anakku Memo. Sesederhana itulah kebahagiaanku.