Kamis, 13 Februari 2014

Lekat.

I still thinking about me.
About you.
About us.
And what we could be.

After all this time, can we fix it? Can we take that second chance? Can we?

Mencoba aku untuk tidak peduli. Dengan semua angan semu yang mencoba memanah dan menjadikanku sasaran empuk. Berusaha tak melamunimu di setiap detik-detik hidupku yang kosong. Berusaha agar aku tak lagi terjerembab dan berakhir dengan luka yang serupa. Tapi datangnya kamu, kamu dengan berjuta-juta suratan yang tersirat.

Semu.
Muncul bagai letupan debu. Terlihat, tapi samar. Terasa, tapi tak tergenggam.

Abu.
Kembali dengan secercah cahaya, menembus benteng hitam dari bilik terdalam di jiwaku yang mengemas rapat akan semua tentangmu.

Rancu.
Hati ini melonjak-lonjak merintih melihat setitik harapan yang samar kau tunjukkan tapi kau tarik kembali karena adanya dia yang kini bersandar di bahumu.

Palsu.
Kasarku kujejal menyesak ke lubuk. Andai aku cukup berani menantangmu, menunjuk tajam telunjuk ini ke arah wajahmu yang selalu bertamu di mimpi-mimpiku. Untuk sekedar mengharap sang pasti.

Aku, atau dia? Siapa?

Mampuku hanya mematut memangku dagu menunggu. Mengubur lagi memori fana yang sempat kau kuak dan kau bangkitkan.

Sejenak.

Mudah ucapmu berkata sesal, mengajakku mengingat kita dari asal. Dan pada akhirnya kalah lah benteng kokohku, tumpukan patahan hatiku yang telah kususun ulang. Detik ini. Terus kau meyakinkan aku untuk tetap tinggal. Dengan mata penuh sesal.

Detik ini.
Tidak lagi.

Kembali kau dengannya. Membuatku kini menyusun ulang pondasi membatas diri, membenteng antara aku dan kamu bermaksud agar aku tahu diri.

Hancur.

Muak aku percaya, lelah aku terima, omong kosong dan harapan memang tipis terlihat beda.

Hebat.
Kau.

Lekat.