Aku memandang berulang-ulang SMS dari Riana, sahabat terbaikku semasa SMA.
Mencoba meyakinkanku biar datang nanti pada saat reuni SMA untuk
kesekian kalinya. Aku rebahkan badanku dengan sangat malas dan berat pada
sofa yang sudah tidak lagi terlalu empuk. Bahkan pinggangku sempat
mengeluh perih ketika tulangku bersinggungan dengan tulang-tulang sofa. Wajahku meringis ngilu.
“Uhhh.. sakit. Memang sofa tua, terlalu renta.” gerutuku.
Memang sudah terlalu lama, terlalu sulit untuk diingat, kapan terakhir
aku menepuk-nepuk debu sofa biar berterbangan. Kapan terakhir aku
menyikat dan menyeka sofa tua kesayangan dan satu-satunya ini. Sofa
dengan warna biru tua kelam, hadiah pernikahan dari sahabat-sahabatku dan dia, Riana salah satunya. Riana, sahabat yang begitu ingin aku temui, sahabat
yang ingin aku peluk, aku lepas, kemudian aku peluk lagi.
Kupandang sekali lagi handphone butut ini, memastikan akan mengatakan
“tidak” pada ajakan Riana. Tapi godaan untuk bertemu Riana sekali lagi
membuatku seakan bimbang, berteman dengannya tidak pernah sendu, mudah
menghilangkan pilu yang kadang terlalu lama menjadi lumut di hati.
Namun… kali ini? Riana… maaf, batinku.
Jengah. Hari begitu panjang, sedang menunggu dia untuk pulang, menemaniku yang
sendirian. Namun masih saja dia disibukkan oleh kemacetan jalan. Sepi,
bahkan burung gagak pun akan mati. Mendengarkan irama jam yang begitu
monoton diikuti dengan napasku yang sama-sama saja. Begitu standar,
begitu-begitu saja. Sejak hari itu, aku bilang hidupku terasa sama, terasa hambar,
menunggunya pulang, tanpa bisa melakukan apa-apa. Kecuali… kecuali
dengan memainkan social media dan bermain gadget masuk dalam hitungan
melakukan apa-apa.
Sesekali otakku berputar pada sisi reuni SMA. Mengingatkanku kembali
pada jaman-jaman indah semasa SMA. Begitu ingin aku pergi pada reuni
besok. Begitu ingin kakiku melangkah dan menari riang bersama Riana.
Seandainya saja aku bisa, batinku.
Kusibakkan tirai yang menutupi debu atas sofa. Ia sempat bilang, bulan kali ini
begitu indah untuk dipandang. Begitu menggoda untuk dicuri,
disandingkan dengan mataku yang berkilauan. Ah, masih saja dia romantis
sesuai caranya, pikirku. Pesan yang langsung saja dikirim ketika aku mengeluh
tentang rinduku padanya. Sepuluh jam begitu terasa berlebihan untukku.
Kasih, cepatlah pulang, rindu membuatku terus menggerutu, pesanku berulang-ulang di telepon.
Memang bulan sekarang begitu indah. Berkilauan, pamer, membuat bintang
disekitarnya menjadi iri. Cahayanya membuat bintang kehilangan
perhatian. Rasi bintang terindah dan venus merah pun tercuri
perhatiannya. Ah… tapi anggunnya bulan malam ini masih belum bisa
menggoyahkan pikiranku tentang reuni besok yang akan terjadi. Pikiranku membayangkan hiruk-pikuk dan kemeriahannya seperti tahun lalu. Tawa dan canda
diumbar, bahagia rasanya.
Lalu… tahun ini, apa aku lewatkan saja? batinku.
Lagi, Riana meneleponku kembali. Seingatku sudah kesembilan kalinya telepon itu datang. Tapi tidak pernah aku angkat. Khawatir terselip rindu dalam
getar suaraku. Khawatir terucap kata ingin bertemu, dengan malu yang
menunggu. Aku ingin bertemu Riana, bicara, tertawa, bahkan tertidur
sementara. Tapi tidak pada masa ini, aku belum siap.
Sama dengan belum siapnya aku untuk mengangkat panggilan dari Riana. Kali ini? Maaf… Riana, ucapku pelan.
Entah kenapa aku begitu mudah larut dalam sendu yang berkepanjangan.
Mudah tenggelam dalam rasa sepi, gundah, dan jengah bersamaan. Tidak
seperti aku yang dulu, semasa SMA yang begitu bersemangat, mengikuti banyak
kegiatan sekolah hingga lupa rumah. Lantas, mengapa aku masih ragu
untuk datang pada reuni?
Reuni. Datang atau tidak, kurasa mereka masih akan mengingatku. Tidak
hanya itu saja, mereka akan merindukanku dengan segala keramaian yang mereka buat. Reuni pasti masih ada tahun depan. Mungkin tidak menjadi
masalah aku melewatkannya tahun ini, kataku. Hanya saja, harus menunggu selama
dua belas bulan, atau empat puluh delapan minggu, atau tiga ratus enam
puluh lima hari lagi untuk reuni berikutnya.
Mulai tergoda aku untuk mengatakan iya pada Riana. Menelepon Riana balik,
mengatakan iya, kemudian menentukan corak apa yang akan kami pakai pada
reuni nanti. Belum selesai khayalanku pada keriuhan nanti, tiba-tiba
pintu depan ada yang mengetuk.
“Iya? Siapa?” teriakku dari dalam.
“Ini aku, akhirnya aku pulang.” jawab kekasihku datang.
“Sebegitu macet dijalan?” tanyaku dengan wajah kesal. Berniat sedikit
mencuri perhatian, melempar sinyal bahwa rinduku terlalu meluap-luap
saat ini.
Tanpa menjawab ia melepaskan sepatu dan menaruh belanjaan di meja
depan, berjalan dengan lelah menghampiriku. Tersenyum,
kemudian, “Hai.” Ia mengecupku manis di kening, memelukku erat, mengecup
pundakku sebegitu halus.
“Aku rindu.” bisikku.
“Iya, aku tau. Karena sama rasa itu ada padaku.” balas bisiknya.
Ia beranjak, kembali ke depan pintu rumah, mengambil belanjaan yang
tadi ia lepaskan. “Beli apa untuk hari ini?” tanyaku penasaran.
“Spesial, nasi goreng mawut plus telor dadar.” senyumnya mengisyaratkan sesuatu.
“Mang Jaksa??” tanyaku buru-buru.
Ia mengangguk. “YEAAH! Makasih sayaaang! Pantesan kamu lama.” erangku manja.
Mang Jaka adalah penjual nasi goreng mawut favoritku semasa SMA.
Rasanya begitu menggoda, aromanya terlalu naif untuk ditahan. Aku begitu
mencintai masakannya semasa itu, begitu menyukai racikan yang Mang Jaka buat selama
bertahun-tahun. Hingga kami lulus pun, aku dan dia masih sering bertandang ke
sana.
“Eh, kamu jadi ke reunian besok?” tiba-tiba dia bertanya.
Mendadak nafsu makanku yang tadi banyak, mulai melunak. “Hmm. Masih belum tau. Menurut kamu?”
Ia tersenyum manis menggoda. “Aku rasa Riana juga sangat merindukanmu.”
“Mungkin tidak, aku tidak akan datang.” sambilku membuka bungkusan nasi goreng mawut spesial.
“Yakin?” tanyanya sambil menggeser kursi biar duduk berhadapan denganku.
Aku hanya bisa mengangguk. Mengambil piring yang ia sodorkan, tak sabar untuk makan. Tak sabar untuk menyudahi percakapan. “Masih ada sekitar delapan belas jam untukmu berubah pikiran.” godanya lagi. Aku acuh, mulai makan dan menikmati nasi goreng mawut
spesial.
“Enak?” tanyanya sekali lagi. “Sudah pasti lah!” jawabku tanpa ragu, diakhiri dengan tawa kami yang memenuhi seisi rumah.
“Hmm. Sayang, besok pagi jadi kan?” tanyaku lirih.
Ia taruh piring dengan nasi goreng mawut di atas pangkuannya. Kemudian ia genggam tanganku erat, menatap mataku tajam. “Hanya bila kau siap.
Dan aku berharap secepatnya kau siap. Meski bukan besok.”
Aku tersenyum manis, “Sudah berapa kali kita menundanya?”
“Berkali-kali. Terlalu banyak.” jawabnya sambil membawa satu suapan nasi goreng mawut ke dalam mulutku.
“Jadi?” tanyanya padaku.
“Aku siap.” tegasku padanya.
Tersenyum dia, lalu berlutut, dikecupnya kedua kakiku, “Selamat diamputasi besok, kaki-kaki istriku.”
Disentuhnya pipiku dengan lembut. Mengusap pipiku dengan jempolnya yang
maju-mundur, “Aku mencintaimu, masih sama. Dengan atau tanpa kakimu.”
Diciumnya mesra bibirku yang basah dengan air mata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar