Jumat, 10 Januari 2014

Glasses

”Kacamata kamu kemana?” tanyanya padaku. Aku menahan senyum, dia menatap lurus ke arah kedua bola mata coklat milikku.
”Ada.”
”Terus? Nggak dipake?”
"Nggak." Aku sengaja memelototkan kedua mataku dan berbalik membalas tatapannya. Puas.
”Kenapa?”
”Kenapa apanya?”
”Iya kenapa nggak pake kacamata aja?”
Kali ini aku tak kuasa menahan senyum yang terkembang. Aku menatap lekat ke arah bola matanya yang terhalang kacamata itu, lalu berkata, ”So, you’ll look at me straight into the eye…” Dia segera mengalihkan tatapan dan membetulkan letak kacamatanya. Aku tertawa.

-----

Hujan deras mengguyur di luar sana. Aku menunggu. Dia sudah terlambat hampir setengah jam dari yang dijanjikan. Seperti biasa, mendahulukan yang menurut dia lebih pantas didahulukan. Makan siang, mengantar teman, isi bensin, menjemput teman, nongkrong tak jelas, lalu tersadar jarum jam di tangannya sudah berlari mendahului.

Dia datang dengan langkah tenang. Sekujur tubuhnya basah kuyup. ”Udah nunggu lama?” tanyanya. Tetes-tetes air menutupi kacamatanya yang berembun. Agak geli melihatnya.
”Darimana?” aku membalikkan pertanyaan.
”Macet. Hujan. Hampir banjir..” Dia melepas kacamatanya dan mengusap wajahnya yang basah. Aku terdiam. Tak jadi tersenyum geli. Dia menyipitkan kedua matanya, tak biasa tanpa kacamata. ”Tapi perginya emang udah telat kan?” tanyaku lagi. Dia menghela nafas dan berniat memakai kembali kacamatanya yang masih berembun. Aku menahan tangannya dan merebut kacamatanya, mengambil lap kacamata dari dalam tas, lalu membersihkan kacamatanya dari bekas-bekas tetesan air hujan.
”Nih.” Aku mengembalikan kacamatanya dan dia memakainya.
”Lap kacamata kamu masih kamu bawa-bawa?”
Aku mengangguk.
”Ngapain?”
”Karena kamu nggak pernah bawa-bawa lap kacamata kamu..” jawabku singkat yang membuat dia tertegun.

-----

”Itu tulisannya apa? Kapan?” tanyaku padanya sambil memicingkan mata.
”Yang mana?”
”Itu..” tunjukku ke arah spanduk promosi acara jauh di seberang jalan. Dia malah menoleh heran ke arahku.”Apa?” tanyanya lagi.
”Kamu nggak bener-bener bisa baca jelas tanpa kacamata ya?” kataku padanya. Aku mendelik. ”Lensa kontak kan nggak ada yang buat astigmatisma. Bisa baca, tapi nggak terlalu jelas kalo yang jauh-jauh. Kamu yakin nggak mau pake kacamata lagi?”
Dia mengernyitkan dahi tak mengerti. Matanya menyipit, terpusat ke arah spanduk yang kutunjuk tadi. ”Jum’at minggu depan…” jawabnya, ”Dan aku yakin nggak mau pake kacamata lagi,” lanjutnya. Aku mengangkat bahu. ”Jum’at minggu depan kosong? Mau nonton acara itu gak?”
Dia balik mengangkat bahu.

-----

”Ada sesuatu..” ujarnya saat menghubungiku lewat telepon hari Kamis malam.
”Sama..” jawabku.
”Oke. Apa?”
”Nggak. Kamu dulu deh..” ujarku memberinya kesempatan berbicara lebih dahulu.
”Kacamata aku rusak.”
”Oh ya? Kenapa?”
”Keinjek orang. Kaca pecah, gagang patah, agak parah..”
”Ya ampun. Bukan agak. Itu parah. Terus?”
“Ya aku jadi rabun. Jumat nggak bisa ikut nonton.”
”Hah? Serius? Janjinya gimana dong?”
”Nggak apa-apa kan nonton sendiri?”
”Bisa nggak sendiri sih sebenernya..” aku terdiam sesaat, ”Itu yang tadi mau bilang…”
”Apa?”
”There’s this guy, asked me to go there too..”
“Oh ya? Bagus deh, jadi nggak ada aku nggak masalah..”
Ada yang meradang di dalam dada. “But I said no.”
“Kenapa? Hubungin lagi sana, bilang ajakannya diterima.”
”Kan asalnya maunya sama kamu..”
Dia tertawa. ”Ya abis gimana. Tega? Ini aku udah kayak orang buta, gak bisa lihat yang jelas, blur semua.”
“Telat juga. Mungkin orang itu udah punya acara lain lagi.”
“Hubungin dulu. Pasti mau.”
Ah, sial! Emang gampang?! “Nggak penasaran siapa orangnya?”
“Udahlah, sama siapapun, yang penting ada yang gantiin aku. Oke? Udah dulu ya…”
“Eh? Udah? Segini aja?”
Sungguh. Baru kali ini aku ingin menahannya lebih lama lagi.
“Oh iya. Lap kacamata kamu masih ada di kotak kacamata aku yang sekarang lagi ada di optik. Nggak tau beres kapan dibenerinnya. Nggak apa-apa ya?” tanyanya padaku di ujung telepon. Aku hanya bisa menghela nafas panjang. ”Ya udah. Ambil aja deh.”
”Oke. Ngomong-ngomong, have fun with the guy ya. Haha. Bye..”
Klik.

Aku menatap nanar ke arah kacamata yang tergeletak manis di atas meja kamar. Seolah sepasang lensa itu berbalik menatap dalam-dalam ke arahku. Apakah benar ini saatnya untuk belajar melepaskan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar