Jumat, 31 Januari 2014

“Hello, February!” atau “Hell, oh, February!”?

Selamat pagi!

Selamat pagi, Ma, yang sudah sibuk dengan semangat menyulamnya sejak matahari baru nongol ogah-ogahan.
Selamat pagi, Yah, yang derap langkah menuju teras depan tempat motornya terpakir sudah terdengar sebelum aku sempat mengumpulkan segenap nyawa untuk terjaga.
Selamat pagi Nyong, yang sempet-sempetnya ganggu sisa-sisa mimpi cuma buat nanya, "Jaket aku yang kemarin kamu pake ditaruh dimana?!".
Selamat pagi, Ver, Mon, yang selalu sigap berdedikasi tinggi menyiapkan nasi dengan telur ceplok plus kecap untuk kakak kalian yang selalu kesiangan karena selalu begadang ini, meskipun baru bakal gue makan beberapa jam kemudian.
Selamat pagi, Lang, Tem, Ren, yang siap siaga bersiul-siul merdu ala kenari penyanyi minta makan dan minta dimandikan dari kandang di luar sana, bikin kedua telinga gue makin nempel aja ke dalam bantal. Gara-gara Ayah pergi memancing sejak pagi, gue jadi berkewajiban mengurus kalian.
Selamat pagi kopi hitam, nasi, telur ceplok, dan kecap.
Selamat pagi juga kepada pagi, awal hari, matahari, sisa-sisa mimpi, dan hal-hal yang melintas di benak, aliran keluar-masuk otak, beberapa untuk teringat dan lainnya untuk terlupakan.

Selamat pagi semua.


Bulan Februari tiba-tiba jatuh tepat di hari ini.
Beberapa, antusias menyambut bulan kedua di kalender, dengan segala macam harapan, rencana liburan di sela-sela kepadatan, atau malah jadwal ujian dan tambahan pekerjaan.
Beberapa, mulai menandai tanggal-tanggal penting, tidak mau terlewatkan apa-apa yang harus dirayakan ataupun dikenang. Hari Valentine, hari Peristiwa Kapal Tujuh, hari Wartawan, hari Pasukan Kavaleri, hari Farmasi, atau sekedar hari-hari ulang tahun kerabat dan sahabat.

Beberapa, menyukai bulan ini. Saatnya menyiapkan pernak-pernik terbaik untuk memulai hingga mengakhiri bulan ini dengan berdansa bersama kebahagiaan.

Beberapa, membenci bulan ini. Yang datang terlalu cepat, terlalu tiba-tiba, mengusik ketenangan, mengingatkan, berapa banyak hari-hari ke belakang yang terbuang sia-sia, dan cita-cita yang belum sempat terwujud sampai awal bulan ini datang.


Gue, ada di antara. Seperti biasa, enggan memihak. Satu sisi menyukai dan sisi lain membenci. Februari.
"Gila, tiba-tiba udah Februari aja!"
"Kalau sisa-sisa resolusi gak tercapai sampe bulan ini berakhir, berarti harus mengikutsertakannya lagi di antara resolusi bulan depan."
Sepertinya memang iya, untuk yang satu itu.


Ah, tapi siapa bilang Februari ini sendu?
Setiap suka, setiap duka, setiap senang, setiap susah, setiap untung, setiap sial..
Setiap tawa, setiap air mata, setiap dosa, setiap asa..
Setiap cinta..
Setiap luka..
Toh bisa hadir pada bulan apa saja.


Jadi, gue mau mengabaikan titel bulan apa ini. Cukup tahu saja. Lalu sebaiknya gue menatap ke depan dan ancang-ancang angkat kaki, berlari.

Gue nggak akan pernah tahu kesempatan emas macam apa yang menunggu di hadapan, kalau gue selalu berjalan menunduk, atau bahkan melihat ke belakang.


I'm so much stronger than you think.

Cheers! :)

Senin, 27 Januari 2014

Dari Yoyo Untuk Anin

Kepada Anin,
pacar baru Astro.


Oi, jadi juga kalian?

Setelah malam itu chat gue ke Astro mengingatkan dia jangan tidur terlalu malam gak dibales, malam itu juga kalian resmi jadian?

Well, selamat, Nin. Lo perempuan yang beruntung.

Nggak banyak perempuan yang bisa masuk ke kehidupan laki-laki kaku itu begitu saja. Apalagi sampai dibagi cinta. Lo, entah apa alasan Astro memilih lo, atau lo yang memilih dia dan Astro menyetujui, mau nggak mau gue harus percaya bahwa lo memang telah melakukan sesuatu yang sangat besar dan berarti buat Astro.

Lo berhasil, entah dengan licik atau cerdik. Mencuri hati Astro. Mengambil sepersekian bagian dari seluruh perhatian yang selama ini hanya Astro berikan untuk kedua orang tua nya dan untuk adiknya. Juga untuk gue dan sahabat-sahabat kami yang lainnya.

Mungkin bagi lo, Astro cuma laki-laki kesekian yang saat ini kebetulan sedang dipertemukan. Tapi bagi Astro, lo itu istimewa, Nin. Gue masih inget binar-binar bola mata Astro kali pertama nama lo disebutnya, senyum yang terkembang sedemikian sempurna di wajahnya, serta tawa-tawa lepas setiap saat kalian berbincang di depan gue. Sebelum ada lo, binar-binar mata, senyum, dan tawa lepas itu pernah cuma jadi milik gue seorang, Nin. Dan gue peringatkan, jangan sampai semua kebahagiaan Astro itu nantinya hilang cuma karena lo, atau gue nggak akan segan-segan bikin perhitungan sama lo.

Gue tahu pasti, Nin, Astro bukan yang pertama di hidup lo. Tapi jangan sampai lo berani-beraninya membanding-bandingkan Astro dengan laki-laki lain yang pernah muncuh di hadapan lo. Karena itu nggak adil. Karena Astro nggak akan mungkin bisa membandingkan lo dengan siapa-siapa. Termasuk dengan gue sekalipun. Gue yang selama ini hanya mengambil peran sebagai seorang sahabat di hidup dia, meskipun sebenarnya gue merasakan lebih dari itu.

Gue nggak tahu apakah lo serius sama hubungan kalian ini. Tapi asal lo tahu aja, waktu gue dan sahabat-sahabat kami bertanya, Astro tersenyum dan mengangguk mantap, menyatakan bahwa akhirnya dia menemukan juga Nona Tepat-nya. Shit, sista! Sebegitu tingginya prestasi lo. Bahkan gue aja belum pernah berhasil jadi seorang Nona Tepat bagi siapapun juga.

Anin,

apapun itu alasan dan penyebabnya, gue nggak mau melihat setitikpun kekecewaan Astro jatuh atas nama lo. Jangan pernah berpikir untuk menyakiti Astro, apalagi benar-benar melakukannya. Bukan karena Astro lemah. Sekali lagi gue bilang, Astro bukan laki-laki lemah. Melainkan karena lo sendiri yang akan menyesal dan ketika lo sadar, waktu, sudah enggan berputar balik ke belakang.

Maaf, Nin. Gue udah terkesan terlalu menggurui lo. Dengan segala ancaman 'jangan-ini-jangan-itu'. Gue nggak meragukan lo. Gue nggak akan pernah meragukan apapun pilihan yang diambil Astro. Siapapun pilihan Astro. Bukan juga gue sok', cuma karena gue udah mengenal Astro jauh lebih lama dari lo. Gue hanya mau yang terbaik bagi Astro, bagi lo, bagi kalian berdua. Lagipula, anggap saja ini sekalian 'perkenalan' gue sama lo. Sayang, gue lagi sibuk sama banyak tugas sekolah dan pekerjaan sampingan gue, jadi nggak bisa mengintimidasi lo langsung secara empat mata.

Anin, pacar Astro yang selalu Astro banggakan,

satu lagi. Gue mau bilang bahwa gue sungguh-sungguh super teramat sangat sayang sama pacar lo itu. Dia sahabat gue dari kecil. Tolong jaga dia baik-baik. Kalau pulang malam, ingatin dia buat minum air putih hangat begitu sampai di rumah. Tolong juga sediakan sedikit waktu buat ngobrol sama sahabat-sahabat kami. Itu, cuma dua dari sekian banyak hal yang biasanya gue lakukan, dan lo harus mau menerima delegasi tugas gue ini.


Selamat sekali lagi.

Minggu depan gue free, gak ada tugas sekolah dan gak ada jadwal kerja. Gue mau ketemu lo.




Salam,

Yoyo.

Jumat, 24 Januari 2014

To The Man I Wanna Hug So Much

Hello there,

I don’t know what I’m thinking right now and I can’t tell you the reason I’m writing this.
I’m so drunk I can’t even open my eyes to see what sentences I’m arranging here.
You are the man I want to hug so much.
You are the man I want to hug in every single laugh I burst, so you can hear my laughter fill your ear.
You are the man I want to hug in every single tear I cry, so you can feel my teardrops falling onto your shoulder.
You are the man I want to hug in every single song we sing with every single step we dance.
Under the burning sun or through the pouring rain.
You are the man I want to hug so much. Just to listen to this arrhytmic heartbeats carefully I wished you could repair it.
Don’t worry, you don’t have to feel sorry. No need any of your signed prescription. I’m getting well as soon as possible. As soon as you hug me.
And please, please, please, please, please..
Don’t ever think to cheat on me. Just don’t. Or I would hug you so closely I could crush you to the bones.

Love,
Table 7, SKHnR.

Sabtu, 18 Januari 2014

Konyol.

Minggu kemarin, gue lagi nemenin satu orang temen cowok makan siang. Setelah ngobrol ngalor-ngidul dibumbui curcol, gue iseng nanya. 

“Pria itu kan cuma ada dua jenis. Kalo nggak brengsek, ya gay. Nah, kalo seandainya wanita juga cuma dua jenis, menurut lo, apa dan apa?”

Dia jawab.

“Kalo nggak jelek, ya matre.”
 
Sial. Jahat amat. Gue ngakak aja. Pengen membantah tapi sepertinya ngakak aja udah cukup. Hehe.
Sebenernya, gue juga kalo ditanya, nggak tau deh wanita itu apa dan apa. Malah menurut gue ada lebih dari dua hal pada wanita yang bisa bikin jengkel para pria. Terutama yang satu ini. So called.. PMS.

Ada pembicaraan iseng yang pernah entah gue bahas atau cuma gue denger (gue lupa), bahwa wanita itu udah satu paket sama PMS. And men, like it or not, have to deal with it.

Apa yang lo tau tentang PMS? Pre-Menstrual Syndrome? Haha. Menurut kelakar, bukan cuma itu. PMS-nya wanita adalah Pre-Menstrual Syndrome, Pas-Menstruasi Syndrome, dan Pasca-Menstrual Syndrome. Hehe. >:)

Jadi, intinya, wanita akan selalu PMS setiap saat. Hahaha. Take it seriously or not..

Bagi gue, PMS itu terbagi jadi physically dan mentally.

Physically, gak usah dibahas lah ya. SAKIT PERUT kebangetan (sengaja gue kepslok, abisan sumpah sakit), pegel-pegel, kepala keleyengan, dan juga merasa nggak enak di bagian-bagian tertentu.

Mentally.. Ini dia. Pars pro toto sih. Tapi sebagian besar memang merasakannya. Perubahan mood. Dan wanita, dalam kondisi ini, berubah menjadi makhluk paling menjengkelkan yang ada di muka bumi. Kemaren, lo masih ketawa-ketawa dengan ceria. Hari ini, lo galau berlebihan, marah-marah, galak, gampang tersinggung, cengeng, paranoid, manja, negative thinking, dan.. lain sebagainya, sebagaimana hal-hal menjengkelkan bisa terjadi. Juga, labil dan fragile.

Segitunya ya? Kok bisa ya segitunya?

Bad mood ini, yang terbungkus suasana galau berlebihan, kadang berlangsung seharian, atau kalau gue, biasanya semaleman. Setelah semaleman melakukan hal-hal bodoh untuk pelampiasan, misalnya ngomel-ngomel di jejaring sosial, nyuekin orang-orang, sampe merombak habis song playlist jadi lagu-lagu metal (I mean mellow total. :p).. Sumpah. Setelah beberapa jam kemudian, cuma satu yang gue rasain. KONYOL.

PMS itu konyol. Tau nggak kalo PMS itu berisiko tinggi mengubah image yang asalnya baik jadi buruk di mata orang lain. Masih mending kalo yang jadi rugi cuma gue sendiri. Nah, kalo ada orang lain yang kena imbas? Atau hal-hal penting lain yang terpengaruh?

Yang paling bahaya sih, menurut gue, kalo sampe PMS ini jadi ikut menyakiti hati orang lain. Lo mau tanggung jawab gimana? Ngeles? Bahwa lo lagi PMS? Dan minta dimengerti?

Emang sih. Pria-pria harus bisa ngerti. Apalagi mereka nggak pernah tau kan apa rasanya mengalami peluruhan dinding endometrium. Ah bahasa gue, sok-sokan jadi anak IPA padahal anak IPS. Hehehe. Tapi ya, seriusan aja. Emangnya mereka bisa se-mengerti itu?

Makanya, gue salut lah sama pria-pria yang tahan berurusan sama wanita PMS. Gue sih, kalo jadi pria, mending kabur dulu deh ke luar angkasa. Males banget di bumi wanitanya lagi pada PMS.

Ayolah.. Masa lo mau sih dijajah sama darah-darah kotor yang luruh itu dan menyerah menuruti emosi sesaat melulu?

Mulai sekarang, kalo lagi PMS, mending berpikir panjang dulu kali ya sebelum bertindak. Dan sebaiknya kita harus bisa menahan diri biar nggak meledak. Tenang aja, PMS nggak berlangsung lama kan. Besoknya, ketika lo bangun pagi, perasaan lo akan baik-baik saja dan semua hal buruk yang lo takutkan, tidak akan pernah terjadi. Daripada, kalo lo ngikutin perasaan, besok paginya ketika lo bangun, yang ada malah lo akan menyesal berkali-kali lipat.

Karena PMS itu konyol. Super.

Dan tulisan ini adalah self-note buat gue. Yang suka mengumbar ke-PMS-annya, berharap hal-hal nista yang gue lakukan akan dianggap sah-sah saja oleh orang lain dan memakai “Gue lagi PMS.” sebagai tameng.

So sorry.

Untuk yang pernah tersinggung, atau bahkan tersakiti.

Gue nggak mau sok-sokan PMS lagi.

Jumat, 10 Januari 2014

Glasses

”Kacamata kamu kemana?” tanyanya padaku. Aku menahan senyum, dia menatap lurus ke arah kedua bola mata coklat milikku.
”Ada.”
”Terus? Nggak dipake?”
"Nggak." Aku sengaja memelototkan kedua mataku dan berbalik membalas tatapannya. Puas.
”Kenapa?”
”Kenapa apanya?”
”Iya kenapa nggak pake kacamata aja?”
Kali ini aku tak kuasa menahan senyum yang terkembang. Aku menatap lekat ke arah bola matanya yang terhalang kacamata itu, lalu berkata, ”So, you’ll look at me straight into the eye…” Dia segera mengalihkan tatapan dan membetulkan letak kacamatanya. Aku tertawa.

-----

Hujan deras mengguyur di luar sana. Aku menunggu. Dia sudah terlambat hampir setengah jam dari yang dijanjikan. Seperti biasa, mendahulukan yang menurut dia lebih pantas didahulukan. Makan siang, mengantar teman, isi bensin, menjemput teman, nongkrong tak jelas, lalu tersadar jarum jam di tangannya sudah berlari mendahului.

Dia datang dengan langkah tenang. Sekujur tubuhnya basah kuyup. ”Udah nunggu lama?” tanyanya. Tetes-tetes air menutupi kacamatanya yang berembun. Agak geli melihatnya.
”Darimana?” aku membalikkan pertanyaan.
”Macet. Hujan. Hampir banjir..” Dia melepas kacamatanya dan mengusap wajahnya yang basah. Aku terdiam. Tak jadi tersenyum geli. Dia menyipitkan kedua matanya, tak biasa tanpa kacamata. ”Tapi perginya emang udah telat kan?” tanyaku lagi. Dia menghela nafas dan berniat memakai kembali kacamatanya yang masih berembun. Aku menahan tangannya dan merebut kacamatanya, mengambil lap kacamata dari dalam tas, lalu membersihkan kacamatanya dari bekas-bekas tetesan air hujan.
”Nih.” Aku mengembalikan kacamatanya dan dia memakainya.
”Lap kacamata kamu masih kamu bawa-bawa?”
Aku mengangguk.
”Ngapain?”
”Karena kamu nggak pernah bawa-bawa lap kacamata kamu..” jawabku singkat yang membuat dia tertegun.

-----

”Itu tulisannya apa? Kapan?” tanyaku padanya sambil memicingkan mata.
”Yang mana?”
”Itu..” tunjukku ke arah spanduk promosi acara jauh di seberang jalan. Dia malah menoleh heran ke arahku.”Apa?” tanyanya lagi.
”Kamu nggak bener-bener bisa baca jelas tanpa kacamata ya?” kataku padanya. Aku mendelik. ”Lensa kontak kan nggak ada yang buat astigmatisma. Bisa baca, tapi nggak terlalu jelas kalo yang jauh-jauh. Kamu yakin nggak mau pake kacamata lagi?”
Dia mengernyitkan dahi tak mengerti. Matanya menyipit, terpusat ke arah spanduk yang kutunjuk tadi. ”Jum’at minggu depan…” jawabnya, ”Dan aku yakin nggak mau pake kacamata lagi,” lanjutnya. Aku mengangkat bahu. ”Jum’at minggu depan kosong? Mau nonton acara itu gak?”
Dia balik mengangkat bahu.

-----

”Ada sesuatu..” ujarnya saat menghubungiku lewat telepon hari Kamis malam.
”Sama..” jawabku.
”Oke. Apa?”
”Nggak. Kamu dulu deh..” ujarku memberinya kesempatan berbicara lebih dahulu.
”Kacamata aku rusak.”
”Oh ya? Kenapa?”
”Keinjek orang. Kaca pecah, gagang patah, agak parah..”
”Ya ampun. Bukan agak. Itu parah. Terus?”
“Ya aku jadi rabun. Jumat nggak bisa ikut nonton.”
”Hah? Serius? Janjinya gimana dong?”
”Nggak apa-apa kan nonton sendiri?”
”Bisa nggak sendiri sih sebenernya..” aku terdiam sesaat, ”Itu yang tadi mau bilang…”
”Apa?”
”There’s this guy, asked me to go there too..”
“Oh ya? Bagus deh, jadi nggak ada aku nggak masalah..”
Ada yang meradang di dalam dada. “But I said no.”
“Kenapa? Hubungin lagi sana, bilang ajakannya diterima.”
”Kan asalnya maunya sama kamu..”
Dia tertawa. ”Ya abis gimana. Tega? Ini aku udah kayak orang buta, gak bisa lihat yang jelas, blur semua.”
“Telat juga. Mungkin orang itu udah punya acara lain lagi.”
“Hubungin dulu. Pasti mau.”
Ah, sial! Emang gampang?! “Nggak penasaran siapa orangnya?”
“Udahlah, sama siapapun, yang penting ada yang gantiin aku. Oke? Udah dulu ya…”
“Eh? Udah? Segini aja?”
Sungguh. Baru kali ini aku ingin menahannya lebih lama lagi.
“Oh iya. Lap kacamata kamu masih ada di kotak kacamata aku yang sekarang lagi ada di optik. Nggak tau beres kapan dibenerinnya. Nggak apa-apa ya?” tanyanya padaku di ujung telepon. Aku hanya bisa menghela nafas panjang. ”Ya udah. Ambil aja deh.”
”Oke. Ngomong-ngomong, have fun with the guy ya. Haha. Bye..”
Klik.

Aku menatap nanar ke arah kacamata yang tergeletak manis di atas meja kamar. Seolah sepasang lensa itu berbalik menatap dalam-dalam ke arahku. Apakah benar ini saatnya untuk belajar melepaskan?