Selasa, 06 Oktober 2015

Sesal

"Please, come with me.."

Parau, Marcel memohon lewat suaranya yang serak. Pria itu berdiri di depan sebuah toko cokelat sambil diguyur derasnya air hujan.

Mirsha menggeleng.

Wanita itu menggenggam tas tangannya di tangan kanan, sementara tangan kirinya erat memegangi gagang payung merah yang sedari tadi hampir terbang ditiup angin kencang.

"Mirsha.. Please, marry me.."

Marcel benar-benar memintanya tanpa basa-basi.

Mirsha menatap Marcel pekat. Matanya yang agak sipit dan mulai sayu dengan kacamata yang ia ingat kalau dulu ia lah yang memilih frame untuk pria itu. Hidungnya yang mancung dengan sempurna. Bibirnya yang tipis nan menggoda. Kumis dan janggut tipis itu. Walau dibasahi derai hujan dan dengan tampang yang mengiba, Marcel tetap terlihat gagah.

Meski begitu, Mirsha kembali menggeleng.

"Kamu pikir aku akan jawab iya?" Mirsha menghela nafas pelan, "Bukan.. Kamu pikir, aku masih akan jawab iya?"

"Come on.."

"How dare you, Marcel. Detik yang lalu, kamu baru saja berselingkuh di belakang seorang wanita, dan detik berikutnya, dengan berani kamu melamarnya.."

"Aku 'kan sudah minta maaf berulang kali, Mir. Aku lupa diri. Aku sudah membongkar semua rahasia yang aku tutup-tutupi selama ini."

"Dan kamu pikir, segampang itu memberi maaf?"

"Kamu selalu seperti ini. Tidak pernah bisa menutup kesalahan seseorang di masa lalu. Aku sudah berjalan ke depan. Kenapa justru kamu yang terus saja berbalik ke belakang?"

"Lalu apa? Kamu marah dengan sikapku ini?"

"Yeah.. Maybe.. No.. But.. Aahh! Sudahlah! Ini cuma memperburuk keadaan, kamu pasti akan membahas hal itu lagi."

"She's my bestfriend, Marcel!"

"Dia yang duluan menggodaku, Mir!"

"Bullshit!"

"Tutup mulut kotormu, Mirsha! Kamu masih saja bersikap seperti ini, tidak pernah bisa berubah!"

"Begitukah? Then should I marry you?"

"....."

Marcel kelu. Bulir-bulir hujan menyusuri wajahnya tanpa henti, membuatnya memicingkan mata.

"Aku mencintaimu. Sudah. Itu saja. Alasanku cuma sesederhana itu.."

"Sudah, Cel? Aku takut kehabisan wafer cokelat.."

Mirsha mengalihkan pandangan ke arah etalase toko cokelat. Di bawah lindungan payung merah, begitu jelas, kedua bola matanya berkaca-kaca.


*


"Jadi, kamu akan tetap menikahinya?"


Marcel tertunduk, merenung di balik kemudi mobil sambil menatap kosong layar ponselnya. Satu pesan singkat yang sedari kemarin menunggu dibalas, karena sesungguhnya Marcel memang tidak mampu. Dan satu pertanyaan sederhana itu mampu membuat perut Marcel seakan keracunan makanan. Perutnya melilit.


"Aku ke rumahmu sekarang, ya. Ada penjelasan yang harus aku jelaskan."


Marcel memutar kunci, menjalankan mobil dan berbelok ke kanan di pertigaan depan. Padahal, sudah dihafalnya rumah Mirsha hanya tinggal lurus saja tanpa perlu berbelok.


"Mir, aku agak terlambat, ya. Macet."


Marcel mengetik dengan tergesa-gesa sambil menginjak gas.


*


Di depan rumah bercat kelabu Marcel memarkirkan mobilnya. Tak sampai lima langkah, ia sampai di depan pintu.


"Aku 'dah di depan, Sheil."


Kembali ia mengetik pesan.

Satu menit.

Dua menit.

Tiga menit.

Tak ada balasan.

Mata Marcel melirik gulungan koran harian yang diacuhkan di dekat keset. Mana Misheil?

Jempol Marcel menekan tombol hijau di ponsel, mencoba menghubungi nomor Misheil. Nada sambung terdengar di telinga kanannya, lama, panjang, dan mengambang, hingga akhirnya berhenti sendiri tak ada jawaban.

"Sheil?"

Meragu, Marcel mengetuk pintu. Mendorongnya sedikit, yang ternyata tidak dikunci. Sekali lagi dihubunginya nomor Misheil.

Dan itu dia.

Terdengar.

Dari arah ruang tengah, sayup dering ponsel Misheil yang dikenalnya. Marcel menghampiri sembari menyapu pandangan ke seluruh ruangan. Nihil, tak ada siapa-siapa. Tangannya berayun meraih ponsel Misheil dan sedetik kemudian ia tersentak begitu menatap tulisan yang tertera di layar ponsel Misheil.


DUMBASS is calling.....


Spontan Marcel memutuskan panggilan teleponnya. What the!

"Sheil! Misheil! Ini aku Marcel, kamu di atas?"


Marcel melangkah kesal menaiki anak tangga. Sayup suara televisi terdengar dari atas kepalanya. Mungkin ia sedang menonton..


"Marcel.."


Sejenak Marcel mematung ketika sadar suara seorang wanita memanggil lirih namanya.

"Sheil?"

Marcel mempercepat langkahnya, kini ia sudah sampai di anak tangga teratas. 


"Maaf, Cel.. Seharusnya aku dan kamu sama sekali tak perlu bertemu.."


Marcel menoleh ke arah sofa biru tua yang kosong di depan televisi. Sudah jelas pendengaranku rusak..


"I loved you, I really did.."


"Mirsha?!" panggil Marcel seketika. Perut yang sejak awal sudah melilit terasa semakin mulas. Bagaimana mungkin ia mendengar suara kekasihnya sendiri di rumah Misheil?


"Sehabis kamu menonton rekaman ini, kita tak akan pernah bisa bertatapan langsung lagi.."


Marcel, dengan limbung, berjalan menghampiri televisi yang tengah menayangkan sosok Mirsha dengan jelas. Wanita yang ia cintai itu hanya mengenakan handuk putih bersih melilit tubuhnya hingga bagian dada. Kini, di kepala Marcel, seribu kalimat tanya meletup-letup.


"Marcel.."


Pria itu menatap sosok Mirsha di layar yang lagi-lagi menyebut namanya lirih dan.. terisak. Wajah Mirsha begitu sayu, pucat dan lemas. Matanya merah dan kelopak matanya begitu dalam. Tiba-tiba saja Mirsha menangis, dinding air matanya runtuh. Dengan gemetaran jemari mungilnya mengusap pipi yang basah oleh tetes kesedihan. Seluruh tubuhnya berguncang, ia menangis tersedu-sedu.

Marcel baru saja melayangkan pandangannya pada pintu kamar tertutup di sebelah sofa yang didudukinya, ketika suara isakan Mirsha di layar terdengar mulai berubah. Kini bibir merahnya mulai tersenyum lebar, dan akhirnya ia cekikikan.


"Leave him now, darling.."


Samar namun cukup jelas untuk didengar Mirsha, suara seorang wanita lain terdengar. Mirsha menatap ke arah lain, lengannya terulur menerima sesuatu, dan mendadak air mukanya kembali nampak sedih. Perlahan namun dengan pasti, Mirsha mengarahkan sebilah pisau dapur yang tajam, ke lehernya sendiri. Ia menatap ke arah kamera sambil tersenyum pilu.


"Good bye, Marcel.."


WAIT!!! Refleks oleh rasa ngeri akan apa yang selanjutnya mungkin terjadi, Marcel menekan tombol power off di remote televisi yang ada di sebelahnya. Jantung Marcel bergemuruh hebat.

APA-APAAN INI?

Marcel tahu jelas Mirsha bukanlah seorang bintang televisi, bahkan iklan sekalipun. Ya, karena memang bukan. Tapi yang baru saja ia lihat itu apa???

Kedua mata pria gagah itu dengan marah sekaligus bingung menatap liar mengelilingi ruangan. Kabel panjang, port USB, kaset kecil, handycam, dan banyak benda tak jelas lainnya. Marcel makin tak paham.

Kedua kaki Marcel melangkah tergesa-gesa menghampiri pintu kamar yang tertutup. Kegelisahan memuncak. Ia mendorong pintu itu dengan kasar, dan seketika, bau busuk menyeruak menusuk hidungnya. Ingatannya akan sosok Mirsha yang hanya memakai handuk dalam video tadi memerintahkannya untuk segera memeriksa kamar mandi. Namun langkahnya terhenti. Banyak hal aneh di kamar tidur ini.

Di lantai berserakan beragam jenis pakaian dalam wanita, juga bermacam botol minuman keras, beberapa di antaranya pecah. Dan tak hanya itu, yang paling membuat rasa penasaran meluap ialah beberapa lembar foto polaroid yang bertebaran di atas kasur yang berantakan.

Marcel segera memungut beberapa lembar dan seketika ia mual menyadari apa yang tengah ia pandangi. Foto-foto dua wanita dewasa yang begitu ia kenal, yang melakukan hal-hal yang sungguh tidak pantas. Tanpa busana. Saling mendekap. Saling menjamah. Ada pula yang membuka kakinya lebar-lebar. Saling menciumi dengan penuh nafsu..

Kini Marcel sungguh bisa merasakan bulu tengkuknya merinding. Bukan ketakutan, tapi jijik. Akal sehat nya menyuruh untuk segera lari, untuk berhenti membayangkan apa yang ada di balik pintu kamar mandi. Hanya saja, rasa penasaran menginginkan sebuah jawaban. Kebenaran.

Ia tak perlu membuka pintu itu dengan kasar, karena sejujurnya Marcel begitu ngeri dengan bayangan apa yang akan ia dapati di balik pintu itu. Bahkan sebelum kakinya melangkah masuk ke sana, Marcel dapat dengan jelas memandangi darah segar yang berceceran di sekitar lantai kamar mandi itu.

Marcel sungguh ngeri setengah mati, namun dengan menguatkan mental, ia menarik tirai yang menjadi penghalang pandangannya ke bathtub.

Marcel tercekat.

Seandainya ia mampu, ia pasti akan menjerit.

Tapi pemandangan di depannya terlalu menghancurkan pertahanan diri.

Terlalu menguras energi.

Menyedot seluruh tenaga yang tersisa.

Mengoyak semua kata-kata yang bisa ia keluarkan.

Mirsha dan Misheil sudah tak bernyawa, dengan kedua raga yang terendam dalam kubangan air merah menghitam. Bahkan Marcel masih bisa melihat handuk yang melilit tubuh kekasihnya dalam video tadi, bedanya handuk itu kini berwarna kemerahan.

Marcel terhuyung-huyung ke arah belakang, lututnya lemas, hingga ia akhirnya jatuh di atas ceceran-ceceran darah itu. Ia tak bisa mengucapkan kata barang sepatahpun. Berusaha keras untuk bangkit, Marcel berusaha berjalan keluar meski sesekali ia terjatuh. Ia menyandarkan tubuhnya di sofa sambil bernafas terengah-engah. Bau busuk dan menyengatnya darah serta alkohol membuatnya pening dan mual. Dengan pandangan yang sudah mulai mengabur, Marcel meraih kaset kecil yang tadi ia lihat, memasukkannya ke dalam DVD player, dan memberanikan diri menekan tombol rewind hingga ke detik awal, memainkan barang bukti terkuat yang sejak awal sudah memberi gambaran.

Play.


Sesaat kamera merekam tak jelas, masih menyesuaikan posisi. Sosok Misheil mulai nampak duduk di sisi kasur, menenggak sebotol alkohol yang isinya tinggal setengah. Tak lama, wanita itu menyeringai aneh.

"Now and then I think of when we were together.. Like when you said you felt so happy you could die.."

Dengan suara yang parau, Misheil mulai bernyanyi. Matanya menatap tajam ke arah kamera. Lirik yang ia hafal meskipun dalam kondisi mabuk, diselingi menenggak minumannya, juga sesekali cekikikan sembari memilin-milin rambutnya.

"I told myself that you were right for me, but felt so lonely in your company.. But that was love and it's an ache I still remember.."

Sekali lagi, kamera menyesuaikan angle. Kini sudah lebih jelas dan stabil. Misheil masih tetap bernyanyi ketika satu suara yang lebih merdu bernyanyi seakan menyahuti Misheil.

"Guess that I don't need that though, now you're just somebody that I used to know.."

Mirsha, muncul menghampiri Misheil, tersenyum lebar dan manis. Ia mengambil botol minuman keras itu dari tangan Misheil dan menenggaknya sampai habis tak bersisa, lalu menjatuhkan botol itu ke lantai begitu saja.

Misheil tertawa. Ia mulai menggelitiki Mirsha hingga wanita itu kegelian dan terhempas ke atas kasur, kedua matanya terpejam sedang bibir merahnya tersenyum. Misheil kembali tegak, menatap tajam ke arah kamera, dan mulai bernyanyi lagi.

"Now and then I think of all the time you screwed me over.. But had me believing it was always something that I'd done.."

Misheil masih terus bernyanyi sementara Mirsha bangkit dan mulai menyentuh Misheil. Mirsha menciumi pipinya, hidungnya, mengecup bibirnya..


Fast forward.

Marcel sudah cukup muak sejak tadi. Ia tak perlu melihat apa saja yang kedua wanita itu lakukan, walau banyak pertanyaan mulai bermunculan dari otaknya. Bagaimana bisa mereka jadi seperti ini? Apa yang telah Misheil lakukan pada Mirsha? Dan yang paling penting, apa yang telah Marcel perbuat hingga mereka berdua bisa jadi seperti ini?


Play.


"You must be confused, huh, Marcel?"

Misheil, dengan tampangnya yang teler dan tubuhnya yang tanpa busana, menatap kamera. Mirsha di sampingnya, menangis terisak-isak.

"I just make it fast, stupid! Now you can get the point, right? You stole Mirsha from me. Dia pikir dia bisa sembuh total. Dengan bersamamu. Awalnya dia memang bahagia. Lalu hancur. Semua. Padahal sudah kubilang, semua lelaki sama saja. Dia tak mau percaya. Lalu gampang buatku membuktikannya. Aku masuk ke duniamu. Lalu apa? Kamu mudah saja terperdaya. Dan kini, masih berani mau menikahinya? Sampai kamu mati pun tak mungkin bisa, Marcel. Cinta, katamu? Cih!"

Misheil terbahak-bahak.

"Mirsha pun kembali ke pelukanku. Jadi kamu tak usah repot-repot mengikutinya sampai ke toko cokelat. Wafernya habis! Oh, Marcel.. I'll never say sorry, cause you're jerk.."

Misheil bangkit beranjak, lalu menghampiri kamera, dan menunjuk ke arah Mirsha.

"Mirsha's always mine. Screw you."

Lalu ia pergi. Hanya tinggal Mirsha yang masih menangis tersedu di tempat tidur. Wanita itu mulai mengangkat kepalanya, memandang pilu ke arah kamera dengan wajah basah oleh air mata.

"Marcel.."

Mirsha terdiam cukup lama, matanya lekat memandangi kamera.


Pause.


"Mirsha.." Marcel berbisik sedih hingga akhirnya tak kuasa menahan tangis.

Dibiarkannya video itu berhenti. Tak sanggup melanjutkan hingga ke bagian wanita tercintanya menghabisi nyawanya sendiri. Marcel hanya ingin memandang wajah Mirsha yang menatapnya seperti ini, meski perasaannya hancur hingga tak bisa jernih berpikir. Wajah cantik itu. Sinar mata yang meneduhkan. Senyum yang selalu menenangkan. Kini berganti dengan wajah memucat pasi. Lenyap tenggelam dalam kubangan darah di kamar mandi.

Marcel melipat kedua kakinya ke dada. Mendekapnya. Menundukkan kepala dan menangis sepuasnya. Ia hanya ingin seperti ini. Diam tak beranjak, mengurung semua memori bersama Mirsha dalam hatinya serapat mungkin.

Tak apa, wahai waktu, berjingkatlah jika kau mau.

Tinggalkan saja aku sendiri.

Kubur aku dalam-dalam hingga tak terlihat dari permukaan genangan penyesalan.
­
­
­