Kamis, 15 Desember 2016

Sajak untuk Masa Lalu

Awalnya aku tersedu,
karena tiada kunjung kamu datang membawa berita,
apalagi cinta.
Setelah pilu, meracau aku perihal merindu,
yang tiada henti menerjang mengacau kata,
dan berakhir dengan air mata.

Hingga lama-lama batin mulai meragu,
apa yang kutunggu akan berbuah manis,
atau hanya menjadi isak tangis?
Dan disanalah raga terpaku,
bersama sabar yang mulai teriris,
juga tangan yang mulai menepis.

Hei, biasa saja tampangmu,
ini hanya untaian yang biasa,
yang bisa kau atur semaumu,
juga bisa kau lempar sambil tertawa seenaknya.

Apa? Aku? Marah? Ah, apanya?
Sumpah, aku biasa saja.
Lembut nafasmu yang terasa di belakang telinga mulai terlupa,
apalagi lekuk keras wajahmu, sudah pergi kemana.

Jangan tengok ke arah mata,
sudah tak ada yang menggenang di ujung pelupuknya.
Malah kau tengok ke arah pipi,
khawatir ada yang mengalir deras di sebelah sini.

Ah, sudahlah,
biasa saja mukamu,
tak perlu tersedu dalam sendu,
tak usah mendadak tumpah menyesal begitu.

Itu kan dulu.
Perkara singgah selintas di kehidupanku,
lalu selewat saja kau berubah menjadi masa lalu,

sudah biasa.

Rabu, 14 Desember 2016

Perihal Air Mata dan Kita

Untuk lelaki yang baju dan hatinya kelabu tak bernada,
Bisa jelaskan, ada apa sih dengan air mata sampai-sampai kau sebegitu benci melihatnya?
Terbersit di pikiranku bahwa mungkin kamu benci karena harus bertanggung jawab atas tiap bulir dan tetes yang jatuh satu persatu di kiri dan kanan muka.
Bagaimana yang kau minta?
Menyakiti hati selewat kedipan mata dan berharap sang hati tetap tegar tak terganggu, seakan kita tak pernah ada?
Atau hati yang terluka parah seharusnya menyembuhkan dirinya sendiri saja, dan berpura-pura tak ada bekas luka yang menganga, dan dengan rela memaafkan tanpa kamu minta?

Sederhana saja, sesungguhnya.
Aku menangis ya karena aku manusia.
Bukan gelas kaca.
Bukan juga bola yang saat kau lempar akan kembali memantul serta merta.
Aku menangis karena aku ada.
Tapi kau seakan terusik dan berharap aku alpa. Ya?
Atau sebenarnya kau hanya takut tangisanku menggambarkan kondisi lemah dengan goretan-goretan kasar bak wanita gila?
Kau berdecak kesal, memutar bola mata, dan menghampiri tanpa suara,
Merasa malas harus menghiburku dengan kata-kata.
Ya, tak apa, sebenarnya.

Aku menangis karena aku masih punya rasa di balik raga.
Biarkan saja aku mengeluarkan semuanya.
Setelah habis satu belanga, aku akan kembali tertawa.
Dan tentang perlakuanmu itu, aku sudah lupa.

Minggu, 11 Desember 2016

Fucked Up

Last night, I tried every ways that I could do to close my eyes.

In the beginning, I listened to all the slow and whine playlists that I got. But not even a single song could take me to the Dreamland. Nothing but the way your voice sing me a lullaby to sleep.

Then, I read all the boring and nonsense fairytales that I got. But not even a single story could take me to the Dreamland. Nothing but the way you tell me a bed-time story.

Afterwards, I forced to close my eyes, hoping that darkness might give some helps. But instead of taking me to the Dreamland, I saw your shadow there, running away from me, further and further.

The next second, I was crying like a baby elephant, with my mouth was screaming desperately calling you to come back. But you never turned your head to me.

All of a sudden, I opened my eyes with such heavy breathes and my nose was bleeding. What was that? A dream? A nightmare? I didn't remember sleeping, but how could that possibly happen?

The next thing that I knew was that I felt so terrible. I couldn't settle my breath, it was like my lungs were stabbed over and over again. My nose couldn't stop bleeding. My body was in a damn fever and sweating all over, I even felt like I was about to blow up. My head was damn hurt I couldn't even think straight. I couldn't even move my feet. God I was so fucked up.

Yet still, all that I'm afraid of was losing you.

Sabtu, 03 Desember 2016

Tanggal Tiga Rasa Dilan dan Milea

Biasanya, aku benci ketika Desember mulai merayap tiba. Benci harus melewati bab terakhir buku kehidupan dengan mengingat-ngingat kenangan pahit bersama dia yang hingga kini masih menyisakan luka. Benci harus melewati bab terakhir buku kehidupan dengan mengikhlaskan perasaan dan menukarnya bersama kehampaan yang nyata.

Lalu kamu hadir, di selipan halaman-halaman awal pada bab terakhir. Membawa sepercik kejutan di tiap pertemuan, yang selalu berefek pada datangnya kerinduan.
Menjadi alasanku tersenyum malu, walau kamu hanya menatap dalam bisu yang bercumbu.

Semua waktu yang kuhabiskan untuk kita berdua tak pernah tak membuatku berbahagia. Mulai dari pertemuan pertama yang tak sampai semenit, yang penuh dengan rasa bersalah darimu dan juga rasa kecewa dariku. Lalu pertemuan kedua yang begitu menggelikan, di beranda museum pendidikan tempat lenganmu membawa pulang hadiah luka dari cubitan isengku. Juga pertemuan ketiga, yang menjadi hari jadinya kita, tanpa ada pertanyaan, tetapi ada jawaban. Kemudian pertemuan selanjutnya yang begitu beragam, mulai dari bermanja-manja bersama kopi dan pelukan ala anak kucing, obrolan ringan bersama roti cokelat di Partere, muncul di depan rumahku karena alasan merindu sembari membawa Toblerone, hingga rencana menikmati musik jazz di Kamis senja yang berujung duduk di taman bersama hangatnya canda dan yang aku tahu, kita bahagia.

Tapi jika boleh aku berbagi cerita, sungguh, tiga Desember kemarin adalah anugerah. Mungkin bagimu malam itu hanya sekedar Sabtu malam yang biasa saja. Mungkin bagimu tak ada yang berbeda dari petualangan kita bersama. Tapi, sungguh, aku bahagia. Melihatmu makan dengan lahap di sebelahku sudah lebih dari cukup untuk membuatku tersenyum dalam keremangan cahaya. Bisa memelukmu erat di antara dinginnya udara Bandung malam sudah lebih dari cukup untuk membuat hatiku hangat. Mendengar senandung senangmu di atas motor sudah lebih dari cukup untuk membuat tidurku nyenyak di penghujung malam. Memegang tanganmu selama di jalan pulang sudah lebih dari cukup untuk membuatku berkata pada diri sendiri kalau kamu memang orang yang tepat.

Tak butuh waktu lama untukmu menjadi candu baru ku, yang semoga saja tak mesti kucari gantinya hingga penghujung umur menyanyi sendu. Doaku saat malam dan kantuk mulai merayap hanyalah kamu, agar kiranya tanpa rintangan yang pilu kebahagiaan selalu menyertai setiap derap langkahmu tanpa belenggu.

Terima kasih ya, untuk malam minggu tiga Desember rasa Dilan dan Milea nya!
Terima kasih telah memilih untuk menjadi orang yang selalu ada untukku.
Terima kasih telah menjadi laki-laki yang selalu berusaha membuat rinduku terobati hingga mereda, walaupun kamu seringkali jadi kesusahan karena manjanya aku.
Terima kasih telah mengubah cap hitamku terhadap Desember menjadi cap keemasan yang penuh dengan rasa syukur.

Jangan berubah jadi Dilan, ya. Tetap jadi Pablo yang aku sayang, yang selalu punya sejuta cara untuk membuatku tertawa lepas saking bahagianya, dan menangis terisak saking rindunya.