Minggu, 19 Februari 2017

Playlist

Aku menghempas pintu sekeras mungkin, bahkan ingin terkesan sengaja.

"Don't be so naive to yourself like that! Cinta itu cuma sampah!" teriakku keras di depan wajahnya yang nampak ketakutan sekaligus menahan pilu. Mata bulatnya yang sejak dulu selalu kujaga agar tak menangis, kini meneteskan bulir demi bulir rasa pedih dalam diam. Untuk sesaat, bibirnya mulai bergetar pelan, hendak mengucap entah apa, namun tak kunjung bersuara karena jelas terlihat rasa takut merasukinya dengan gila.

"Apa?! APA?!" Sebelum lancar ia berkata-kata, kembali bentakanku menyayat pendengaran.

"APA!!!" bentakku untuk terakhir kalinya pada malam itu.

Ia yang sedari tadi hanya diam menatap, akhirnya mengangkat tangan kanan dan mengusap pipinya perlahan, berbalik mengambil tas di sebelahnya dan berjalan pergi, meninggalkanku yang merasa puas tersenyum dengan keberhasilan egoku di pertengkaran kami yang ke sekian kalinya.

***

Jelas, malam itu, aku ingin dia kejar seperti biasa. Meraih tanganku lembut, memelukku dari belakang, kemudian membisikkan kata maaf hingga aku kembali utuh ceria. Namun tidak dengan kenyataan, karena tepat tiga bulan yang lalu, di malam itu aku hanya pergi dijemput sang hujan. Bukan, tak seperti hujan yang biasanya kami tertawakan, yang biasanya selalu menjadi pelengkap acara jalan-jalan dan kisah romansa kami berdua. Hujan malam itu membawa rasa sakit yang tak kunjung reda hingga sekarang. Meski hanya menitik rintik demi rintik, tapi tanpa jeda, tanpa rima, tanpa tawa.

Ah, percuma. Tak mungkin setelah sekian lama, ia akan muncul membawa peluk hangat lalu kami kembali bahagia, batinku pelan.

Sepasang sepatu putih usang bergaris merah yang selalu kupakai kini kulempar ke sudut kamar. Berjalan di sekitar komplek rumah dan menangis hingga terbawa tidur, adalah dua cara ampuhku untuk cepat melupakan. Untuk memendam dalam-dalam masalah apa saja yang dapat membuatku kehilangan fokus dan akal sehat semampu yang kubisa. Tapi, tidur sudah. Mataku berontak kala kupaksakan membaca buku yang ada di pangkuan. Di luar, gerimis sang hujan berbisik dengan sendu dalam keheningan pagi yang masih terlalu buta. Tidak, jangan tidur lagi, batinku pelan berbicara.

Pandanganku beralih pada kasur yang kembali menggoda. Terlalu menggoda, malahan, hingga menatapnya saja pun kelopak mataku mulai terayun menutup. Spontan aku meluruskan duduk, dengan sedikit gelengan di kepala. Keluar sajalah.

Berdiri dengan cepat, kupakai sepatu putih usang bergaris merah itu dan bergegas menuju depan rumah. Tercium aroma hujan yang khas. Hmm... petrichor. But this time, without you.

Dengan parka abu yang menutup hingga leher, hoodie di kepala, celana hitam, dan sepatu kusam, aku mulai berjalan pelan. Tangan kiriku memasang earphone di kedua telinga, sementara tangan kanan menyusup masuk ke dalam kantung parka, menekan tombol yang menyalakan playlist acak seperti biasanya.

Tak seperti hari-hari sebelumnya, pagi ini tidak ada tujuan. Tidak ke taman komplek, tidak ke tempat bubur langganan sarapan, tidak tahu kemana. Pokoknya jalan saja, tanpa tujuan, dengan musik bervolume penuh di telinga, biar ramai dan lupa. Aku hanya ingin berjalan menjauh saja dari semua kekalutanku, dari kecemasanku, dari kamu.

Taylor Swift - If This Was a Movie
Come back, come back, come back to me like you could, you could, if you just said you’re sorry, I know that we could work it out somehow, but if this was a movie you’d be here by now

Salah lagu, batinku pelan. Jelas, kisah cintaku bukan sebuah film layar lebar, dan setelah semalam, jelas sudah ia tak akan kembali merengek seperti biasa. Jalanku semakin cepat, bahkan tanpa memperdulikan hujan yang semakin lebat. Kepalang tanggung lah.

Charlie Puth ft. Selena Gomez - We Don’t Talk Anymore
There must be a good reason that you’re gone, every now and then I think you might want me to come show up at your door, but I’m just too afraid that I’ll be wrong

Ya, mungkin hanya anganku saja. Ia sudah lelah dengan manjaku yang menyusahkan, mana mungkin ia masih mengharapkan aku muncul lagi? Bertanya kabarku saja pun sudah tidak. Mungkin aku malah akan diusir.

Alessia Cara - Here
But really I would rather be at home all by myself, not in this room with people who don’t even care about my well-being, I don’t dance, don’t ask, I don’t need a boyfriend, so you can go back, please enjoy your party, I’ll be here

Ha! Aku tak butuh kamu, teriakku bisu. Mulutku tanpa suara ikut bernyanyi sambil sesekali terpejam, menikmati irama dan mulai yakin kalau aku mampu melupakan.

Tove Lo - Habits (Stay High)
You’re gone and I gotta stay high all the time, to keep you off my mind, spend my days locked in a haze, trying to forget you babe, I fall back down

Walaupun tak separah liriknya, aku memang sudah berusaha keras melupakan. Menyibukkan diri dimana-mana, berusaha tidak menatap pesan-pesan lama, apapun demi melupa.

Shawn Mendes - Stitches
Tripping over myself, aching, begging you to come help, and now that I’m without your kisses, I’ll be needing stitches

Memang usahaku sudah sedemikian rupa, tapi tetap saja tak bisa menipu. Luka yang tersisa masih menganga, dan tak diacuhkan barang sedetikpun. Setelah semua yang dilalui bersama, pada akhirnya tak ada lagi kamu.

Bruno Mars - It Will Rain
‘Cause it would take a whole lot of medication, to realize what we used to have, we don’t have it anymore

Langkahku makin pelan, tanpa sadar mengimbangi lagu yang mengalun pilu. Air mata mulai menggenang di pelupuk. Bahkan hujan pun mengerti dan kini semakin deras, walau aku tetap saja acuh tak peduli walau harus basah kuyup.

Paloma Faith - Only Love Can Hurt Like This
Say I wouldn’t care if you walked away, but every time you’re there I’m begging you to stay, when you come close I just tremble

Benar yang selalu ayahku bilang tentang cinta. Selalu sama saja, selalu luka, selalu sisa tiada. Seperti teriakmu malam itu, kalau cinta cuma sampah. Tangisku pecah.

Imagine Dragons - Radioactive
I’m waking up, I feel it in my bones, enough to make my system blow, welcome to the new age, to the new age, welcome to the new age, to the new age

Seakan tersadar dari berbagai lamunan cengeng tadi, kini aku berjalan dengan cepat, basah namun lebih semangat. Ya, sudah cukup. Sudah saatnya lembar cinta aku tutup rapat-rapat.

Linkin Park - Numb
I’m tired of being what you want me to be, feeling so faithless, lost under the surface, don’t know what you’re expecting of me, put under the pressure of walking in your shoes

Hujan makin gila seakan tahu lagu di telingaku sedemikian menyeruaknya. Masa bodoh. Hari ini, galauku harus selesai!

Avril Lavigne - Wish You Were Here
I can be tough, I can be strong, but with you it’s not like that at all, there’s a girl that gives a shit, behind this wall, you just walked through it

Sialan, kembali lagi ke lagu sentimental seperti ini. Kusut sudah jalan pagiku kini. Terlalu banyak emosi yang tumpah. Membuat jantungku protes karena lelah. Membuat adrenalinku naik-turun seperti orang payah. Membuat khayalku terbang tak terarah. Tak jelas sudah.

Nafasku masih sesak dan batinku masih jengah, ketika hujan tiba-tiba mulai reda. Aku mengangkat kepala. Tiba-tiba saja kini aku berdiri di depan rumahnya yang sepi ditemani rintik hujan yang jatuh dengan pelan. Sudah tiga bulan. Nafas lelah terhela. Masih tidurkah? Lampu kamarnya masih menyala samar dari sela jendela.

Coldplay - Fix You
Lights will guide you home, and ignite your bones, and I will try to fix you

Haruskah aku mendekat dan mengetuk? Mungkin kata maaf kini masih berlaku. Mungkin sudah bukan waktunya lagi untuk mengedepankan ego dan malu. Lagipula, sudah tak nyaman terasa sepatu ini dengan air bekas hujan tadi yang merembes penuh gerutu.

Lady Antebellum - Need You Now
It’s a quarter after one, I’m all alone, and I need you know, said I wouldn’t call but I lost all control and I need you now, and I don’t know how I can do without, I just need you now

Tanpa kusadari, kakiku melangkah tanpa seizing logika. Maju lalu diam mematung di depan pintu, dengan tangan kiri kini melepas earphone sebelah kiri. Pelan, kuketuk pintu dengan ragu.

Satu.
Dua.

Tiga.

Hampir aku berbalik hendak pulang ketika pintu mengayun terbuka. Ia disana, dengan wajahnya yang terkejut. Sama denganku, earphone miliknya satu di telinga kanan, pasangannya tergantung di bahu kiri.

Adele - Hello
Hello, it’s me, I was wondering if after all these years you’d like to meet, to go over everything, they say that time’s supposed to heal ya, but I ain’t done much healing

“Hei...” ucapku lirih. Tak tahu harus berkata apa, tak menyiapkan kalimat yang cukup layak.

“Aku... minta maaf.”

***

Ada Band - Manusia Bodoh
Tiada yang salah, hanya aku manusia bodoh yang biarkan semua ini permainkanku berulang-ulang kali

Aku tertegun. Bagaimana mungkin setelah tiga bulan lamanya aku berusaha acuh sekuat tenaga, kini ia di hadapanku meminta maaf dengan sekujur tubuh yang basah kehujanan. Sejahat inikah efek dari diamku? Padahal aku diam karena merasa bersalah sudah sekeras itu padanya di malam tiga bulan lalu. Bodoh, batinku pelan, bukan padanya tapi pada diriku sendiri.

Tangga - Terbaik Untukmu
Mungkin ku cuma tak bisa pahami bagaimana cara tunjukkan maksudku, aku cuma ingin jadi terbaik untukmu

“Aku yang maaf...” sahutku pelan. Aku tak terpikir untuk mengatakan semua yang bergejolak di kepala. Lidahku terlalu kaku, nyaliku terlalu ciut. Terlanjur merasa bersalah dan malu sudah menyakitinya sedemikian pilu.

Dygta - Kesepian
Ku rindu disayangi, sepenuh hati, sedalam cintaku, setulus hatiku

Ia hanya diam menatap dalam ke arahku, dengan air mata yang menggenang di pelupuknya. Rasa bersalahku kian kuat.

“Maaf, untuk membuatmu serapuh ini, untuk semuanya...” Kuberanikan diri menyentuh pipinya yang dingin dan mengusapnya lembut. Bibirnya bergetar pelan, tapi bukan untuk menangis. Ia tersenyum penuh haru dengan tangis yang akhirnya meledak. Peluk menghambur.

Aerosmith - I Don’t Wanna Miss a Thing
I don’t wanna close my eyes, I don’t wanna fall asleep ‘cause I’d miss you baby, and I don’t wanna miss a thing
‘Cause even when I dream of you, the sweetest dream would never do, I’d still miss you, baby, and I don’t wanna miss a thing


Kali ini dari playlist kami berdua yang secara bersamaan memainkan lagu yang sama. Kami yang sama-sama terbiasa mendengarkan lagu sekencang mungkin sama-sama tertegun. Sekebetulan itu. Ia menengadah ke arahku tanpa melepas peluknya. Tersenyum manis, yang membuat aku tak tahan untuk tak mengecup keningnya lembut.

Kamis, 15 Desember 2016

Sajak untuk Masa Lalu

Awalnya aku tersedu,
karena tiada kunjung kamu datang membawa berita,
apalagi cinta.
Setelah pilu, meracau aku perihal merindu,
yang tiada henti menerjang mengacau kata,
dan berakhir dengan air mata.

Hingga lama-lama batin mulai meragu,
apa yang kutunggu akan berbuah manis,
atau hanya menjadi isak tangis?
Dan disanalah raga terpaku,
bersama sabar yang mulai teriris,
juga tangan yang mulai menepis.

Hei, biasa saja tampangmu,
ini hanya untaian yang biasa,
yang bisa kau atur semaumu,
juga bisa kau lempar sambil tertawa seenaknya.

Apa? Aku? Marah? Ah, apanya?
Sumpah, aku biasa saja.
Lembut nafasmu yang terasa di belakang telinga mulai terlupa,
apalagi lekuk keras wajahmu, sudah pergi kemana.

Jangan tengok ke arah mata,
sudah tak ada yang menggenang di ujung pelupuknya.
Malah kau tengok ke arah pipi,
khawatir ada yang mengalir deras di sebelah sini.

Ah, sudahlah,
biasa saja mukamu,
tak perlu tersedu dalam sendu,
tak usah mendadak tumpah menyesal begitu.

Itu kan dulu.
Perkara singgah selintas di kehidupanku,
lalu selewat saja kau berubah menjadi masa lalu,

sudah biasa.

Rabu, 14 Desember 2016

Perihal Air Mata dan Kita

Untuk lelaki yang baju dan hatinya kelabu tak bernada,
Bisa jelaskan, ada apa sih dengan air mata sampai-sampai kau sebegitu benci melihatnya?
Terbersit di pikiranku bahwa mungkin kamu benci karena harus bertanggung jawab atas tiap bulir dan tetes yang jatuh satu persatu di kiri dan kanan muka.
Bagaimana yang kau minta?
Menyakiti hati selewat kedipan mata dan berharap sang hati tetap tegar tak terganggu, seakan kita tak pernah ada?
Atau hati yang terluka parah seharusnya menyembuhkan dirinya sendiri saja, dan berpura-pura tak ada bekas luka yang menganga, dan dengan rela memaafkan tanpa kamu minta?

Sederhana saja, sesungguhnya.
Aku menangis ya karena aku manusia.
Bukan gelas kaca.
Bukan juga bola yang saat kau lempar akan kembali memantul serta merta.
Aku menangis karena aku ada.
Tapi kau seakan terusik dan berharap aku alpa. Ya?
Atau sebenarnya kau hanya takut tangisanku menggambarkan kondisi lemah dengan goretan-goretan kasar bak wanita gila?
Kau berdecak kesal, memutar bola mata, dan menghampiri tanpa suara,
Merasa malas harus menghiburku dengan kata-kata.
Ya, tak apa, sebenarnya.

Aku menangis karena aku masih punya rasa di balik raga.
Biarkan saja aku mengeluarkan semuanya.
Setelah habis satu belanga, aku akan kembali tertawa.
Dan tentang perlakuanmu itu, aku sudah lupa.

Minggu, 11 Desember 2016

Fucked Up

Last night, I tried every ways that I could do to close my eyes.

In the beginning, I listened to all the slow and whine playlists that I got. But not even a single song could take me to the Dreamland. Nothing but the way your voice sing me a lullaby to sleep.

Then, I read all the boring and nonsense fairytales that I got. But not even a single story could take me to the Dreamland. Nothing but the way you tell me a bed-time story.

Afterwards, I forced to close my eyes, hoping that darkness might give some helps. But instead of taking me to the Dreamland, I saw your shadow there, running away from me, further and further.

The next second, I was crying like a baby elephant, with my mouth was screaming desperately calling you to come back. But you never turned your head to me.

All of a sudden, I opened my eyes with such heavy breathes and my nose was bleeding. What was that? A dream? A nightmare? I didn't remember sleeping, but how could that possibly happen?

The next thing that I knew was that I felt so terrible. I couldn't settle my breath, it was like my lungs were stabbed over and over again. My nose couldn't stop bleeding. My body was in a damn fever and sweating all over, I even felt like I was about to blow up. My head was damn hurt I couldn't even think straight. I couldn't even move my feet. God I was so fucked up.

Yet still, all that I'm afraid of was losing you.

Sabtu, 03 Desember 2016

Tanggal Tiga Rasa Dilan dan Milea

Biasanya, aku benci ketika Desember mulai merayap tiba. Benci harus melewati bab terakhir buku kehidupan dengan mengingat-ngingat kenangan pahit bersama dia yang hingga kini masih menyisakan luka. Benci harus melewati bab terakhir buku kehidupan dengan mengikhlaskan perasaan dan menukarnya bersama kehampaan yang nyata.

Lalu kamu hadir, di selipan halaman-halaman awal pada bab terakhir. Membawa sepercik kejutan di tiap pertemuan, yang selalu berefek pada datangnya kerinduan.
Menjadi alasanku tersenyum malu, walau kamu hanya menatap dalam bisu yang bercumbu.

Semua waktu yang kuhabiskan untuk kita berdua tak pernah tak membuatku berbahagia. Mulai dari pertemuan pertama yang tak sampai semenit, yang penuh dengan rasa bersalah darimu dan juga rasa kecewa dariku. Lalu pertemuan kedua yang begitu menggelikan, di beranda museum pendidikan tempat lenganmu membawa pulang hadiah luka dari cubitan isengku. Juga pertemuan ketiga, yang menjadi hari jadinya kita, tanpa ada pertanyaan, tetapi ada jawaban. Kemudian pertemuan selanjutnya yang begitu beragam, mulai dari bermanja-manja bersama kopi dan pelukan ala anak kucing, obrolan ringan bersama roti cokelat di Partere, muncul di depan rumahku karena alasan merindu sembari membawa Toblerone, hingga rencana menikmati musik jazz di Kamis senja yang berujung duduk di taman bersama hangatnya canda dan yang aku tahu, kita bahagia.

Tapi jika boleh aku berbagi cerita, sungguh, tiga Desember kemarin adalah anugerah. Mungkin bagimu malam itu hanya sekedar Sabtu malam yang biasa saja. Mungkin bagimu tak ada yang berbeda dari petualangan kita bersama. Tapi, sungguh, aku bahagia. Melihatmu makan dengan lahap di sebelahku sudah lebih dari cukup untuk membuatku tersenyum dalam keremangan cahaya. Bisa memelukmu erat di antara dinginnya udara Bandung malam sudah lebih dari cukup untuk membuat hatiku hangat. Mendengar senandung senangmu di atas motor sudah lebih dari cukup untuk membuat tidurku nyenyak di penghujung malam. Memegang tanganmu selama di jalan pulang sudah lebih dari cukup untuk membuatku berkata pada diri sendiri kalau kamu memang orang yang tepat.

Tak butuh waktu lama untukmu menjadi candu baru ku, yang semoga saja tak mesti kucari gantinya hingga penghujung umur menyanyi sendu. Doaku saat malam dan kantuk mulai merayap hanyalah kamu, agar kiranya tanpa rintangan yang pilu kebahagiaan selalu menyertai setiap derap langkahmu tanpa belenggu.

Terima kasih ya, untuk malam minggu tiga Desember rasa Dilan dan Milea nya!
Terima kasih telah memilih untuk menjadi orang yang selalu ada untukku.
Terima kasih telah menjadi laki-laki yang selalu berusaha membuat rinduku terobati hingga mereda, walaupun kamu seringkali jadi kesusahan karena manjanya aku.
Terima kasih telah mengubah cap hitamku terhadap Desember menjadi cap keemasan yang penuh dengan rasa syukur.

Jangan berubah jadi Dilan, ya. Tetap jadi Pablo yang aku sayang, yang selalu punya sejuta cara untuk membuatku tertawa lepas saking bahagianya, dan menangis terisak saking rindunya.