Jumat, 16 Agustus 2013

Just A Drama

“Gak perlu, aku bisa sendiri.” Kataku sambil menepis jemarinya dengan kasar saat ia mencoba membantuku membereskan kertas-kertas tugasku yang berserakan karena kusenggol secara tak sengaja tadi.
            Ia mematung, aku sibuk mengumpulkan kertas-kertas yang seharusnya sejak tadi kukerjakan, namun tertunda karena dia.
            “Dulu kamu buang aku, sekarang udah terlanjur, ngapain kamu coba-coba lagi buat ngubah hubungan kita?” tanyaku, berusaha agar nada suaraku terdengar tak peduli. Kulirik ia sekilas, tatapannya seakan kosong tetapi penuh emosi di dalamnya.
            “Kenapa ngajak ketemuan lagi sih?” tanyaku dingin. “Belum puas sama semua yang udah kamu lakuin selama ini? Belum cukup?”
            Ia menatapku dengan merasa bersalah. Sejenak, selama sepersekian detik, aku merasa kasihan padanya, tak seharusnya aku sekasar itu padanya. Tapi kemudian aku tak peduli, rasa kasihanku telah habis baginya, kepercayaanku dan kesabaranku sudah memudar untuknya. Aku tak mau lagi bertemu dengannya sejak 6 bulan yang lalu, yang mengubah semua perasaanku baginya, dari rasa sayang menjadi rasa muak akan semua hal tentangnya. Sejak kejadian itu, aku menghindarinya, tak ingin menemuinya. Pertemuan sialan di perpustakaan ini tak akan pernah terjadi jika saja dia tidak memohon-mohon dengan suara memelas seperti di telepon tadi.
            “Maafin aku ya.” Ia berucap dengan ekspresi polos, seakan-akan tak pernah ada kesalahan serius yang pernah ia lakukan di masa lalu. “Aku memang salah.”
            “Baru sadar kalau kamu salah? Iya, kamu memang salah!”
            “Aku menyesal.”
            “Lupakan saja.”
            “Aku menyesal.”
            “Sudahlah!”
            “Aku menyesal! Andika, aku menyesal. Aku minta maaf.” Ucapannya terdengar lembut saat menyebut namaku. Aku tak bisa menahan diri untuk tetap bersikap dingin. Kutatap matanya.
            “Aku udah maafin kamu dari sejak kejadian itu.”
            “Benarkah?” tanyanya, lugu seperti anak kecil. Aku mengangguk cepat, aku hanya ingin pertemuan ini cepat selesai, itu saja. Aku tak mau menatapnya lagi.
            “Maafkan aku ya, Dika. Aku benar-benar menyesal sudah melakukan hal itu padamu.”
            “Cukup! Percuma kamu bilang menyesal kalau kamu sendiri tetap bersikap seperti itu.”
            “Aku mesti bagaimana supaya kamu benar-benar memaafkanku?”
            “Nggak perlu berbuat apa-apa. Semuanya udah jadi masa lalu. Lupakan saja semuanya.” Ucapanku yang dingin mengunci mulutnya. Ia memandangku, menatapku, memohon belas kasihan. “Nggak perlu menatap aku seperti itu. Rasa kasihanku sama kamu sudah hilang.”
            Selama beberapa saat ke depan, aku terus mencecarnya. Ia hanya diam, mendengarkan dengan tekun, menatapku dengan penuh rasa bersalah. Aku tak bisa menahan emosiku. Bayangan saat peristiwa itu terjadi kembali muncul. Saat aku melihat dia, kekasihku di masa lalu, dicium keningnya oleh seorang lelaki, yang mana itu bukan aku, di ujung koridor gedung fakultas. Aku sangat ingin melupakan kejadian itu. Aku tak mau dibayang-bayangi masa lalu. Aku ini memang lelaki, tapi lelaki juga punya perasaan.
            “Pergilah, Nadya.”
            “Tanpa kamu bilang begitu pun aku akan pergi.”
            “Baguslah, aku gak perlu lagi liat muka kamu! Jangan kembali lagi, kalau perlu pergi selamanya!”
            “Iya. Aku akan pergi selamanya, Andika.”
            Dia mengucapkan kalimat terakhir di percakapan kami hari itu dengan nada yang aneh. Asing. Tapi ya sudahlah, aku tak peduli. Aku tak mau membuang waktuku yang berharga dengan hal yang tidak penting semacam ini. Aku beranjak lalu membawa barang-barangku, secepat mungkin menjauhi tempat itu. Nadya masih terdiam dengan ekspresi hampa di tempat duduknya.
            “Puas lo!” Batinku berseru. Aku tertawa sendiri. Aku rasa aku berhasil membuatnya merasakan sakit yang sepadan dengan apa yang dia perbuat dahulu. Aku sama sekali tak menyesal akan berpisah dengan Nadya. Ya Tuhan, betapa bahagianya.
            Aku tersenyum.

-----

            Ku lihat tanggal di handphone-ku. 26 Mei. Hari ulang tahunku yang ke-20. Dan sekaligus tepat 3 bulan semenjak kejadian di perpustakaan itu. Tak ada lagi komunikasi barang sedetikpun dengan Nadya. Aku tak pernah mendengar kabar tentangnya.
            Hari-hariku tanpanya berjalan datar. Sedikitpun tak ada rasa menyesal karena telah berbicara kasar pada Nadya. Meskipun, tak dapat kupungkiri, aku terkadang memikirkan dia. Entah mengapa, hari-hariku terasa tak lengkap. Terasa kehilangan. Terkadang aku iri melihat teman-temanku yang bermesraan secara terang-terangan di hadapanku, sementara aku hanya sendirian. Entahlah, mungkin hanya rasa kehilangan yang sesaat.
            Siang ini, aku sedang duduk di taman kampus, sibuk membalas sms-sms yang masuk mengucapkan selamat ulang tahun. Baru saja aku selesai, handphone-ku bergetar dan berdering. Nomor tak dikenal. Entah kenapa terasa penting. Jadi, kuangkat saja.
            “Halo?” jawabku setengah bertanya, ragu.
            “Halo.. Andika?” Terdengar suara seorang gadis yang agaknya akrab.
            “Ini Kiren, ini kak Andika ya?”
            “Kiren.. Adiknya Nadya?” Suaraku seakan tercekat.
            “Kenapa ya Ren? Ada apa?”
            “Kiren ada perlu sama kak Dika, bisa ketemuan gak kak?”
            “Di mana?”
            “Nanti Kiren jemput. Bisa kak?”
            Aku berpikir lama. Akhirnya, batinku menyerah. “Oke.”
-----

            “Ini tempat apa?” tanyaku saat turun dari mobil Kiren, menapaki tanah rerumputan yang basah berembun sehabis hujan. Kiren turun menghampiriku. Ia hanya diam, lalu mengajakku berjalan menyusuri padang ilalang dan rumput hijau segar. Tak lama, Kiren mengeluarkan kembar tabur dan air dari tas tangannya. Ada apa ini?
            Setelah menyusuri daerah itu beberapa saat, kami melewati dua pepohonan besar yang berdiri berseberangan. Di sanalah, aku melihat beberapa nisan. Aku terheran, mengapa di tempat seindah ini bisa ada kompleks pemakaman.
            Kami terus berjalan, hingga Kiren berhenti di depan sebuah nisan. Aku tak memperhatikan tulisan di nisan itu. Kiren berjongkok di samping nisan itu. Aku pun secara tak sadar ikut berjongkok di sisi lain nisan itu.
            “Sudah 3 bulan. dia pergi sesuai kemauan kak Dika.”
            Siapa?
            “Kak Nadya sakit, dia bilang pada Kiren kalau kak Nadya tak ingin kak Dika tahu tentang hal ini.”
            Nadya sakit? Separah apa? Itu karma namanya! Aku terus mengumpat-umpat dalam hati.
            “Kak Dika dan dia sudah pacaran sejak SMA kan?”
            Aku hanya diam. Aku tak suka masa laluku diungkit.
            “Kak Nadya tak mau kepergiannya membuat kak Dika merasa tersakiti.”
            Aku masih belum mengerti.
            “Saat kak Dika dan kak Nadya putus, itu semua rancangan kak Nadya. Ia membuat semuanya terjadi seakan-akan nyata.”
            Apa sih yang Kiren bicarakan?
            “Kak Nadya sengaja membuat semacam drama yang menyakiti kak Dika, agar kak Dika tak menyesal dan terluka ketika ia pergi. Karena sesungguhnya kak Nadya masih mencintai kak Dika. Dia yang bilang pada Kiren sebelum dia pergi.”
            Bullshit! Ini semua pasti salah!
            “Kak Dika tak pernah sadar kalau pertemuan terakhir kakak dengan kak Nadya adalah saat kak Dika memakinya habis-habisan.”
            Deg. Rasanya sebuah batu besar menimpaku. Dadaku terasa sesak.
            Perlahan, kutatap nisan itu. Kutepis pasir dan debu yang menutupi tulisan di sana. Tertulis namanya. Nama perempuan yang dulu menjadi pusat dari duniaku.
            Nadya.
            “Drama yang dirancang kak Nadya berhasil. Kak Dika tak terlihat terluka barang sedikitpun. Kak Dika tak menangis. Persis seperti yang diinginkan kak Nadya.”
            Aku diam, benar-benar diam. Aku tak tahu harus berkata apa. Lidahku kaku. Aku tak pernah menyangka..
            Setetes air mata meluncur dari pelupuk mataku, turun dan menetes ke tanah makam Nadya.
            Ya Tuhan..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar