Ia mematung, aku sibuk mengumpulkan
kertas-kertas yang seharusnya sejak tadi kukerjakan, namun tertunda karena dia.
“Dulu kamu buang aku, sekarang udah
terlanjur, ngapain kamu coba-coba lagi buat ngubah hubungan kita?” tanyaku,
berusaha agar nada suaraku terdengar tak peduli. Kulirik ia sekilas, tatapannya
seakan kosong tetapi penuh emosi di dalamnya.
“Kenapa ngajak ketemuan lagi sih?”
tanyaku dingin. “Belum puas sama semua yang udah kamu lakuin selama ini? Belum
cukup?”
Ia menatapku dengan merasa bersalah.
Sejenak, selama sepersekian detik, aku merasa kasihan padanya, tak seharusnya
aku sekasar itu padanya. Tapi kemudian aku tak peduli, rasa kasihanku telah habis
baginya, kepercayaanku dan kesabaranku sudah memudar untuknya. Aku tak mau lagi
bertemu dengannya sejak 6 bulan yang lalu, yang mengubah semua perasaanku
baginya, dari rasa sayang menjadi rasa muak akan semua hal tentangnya. Sejak
kejadian itu, aku menghindarinya, tak ingin menemuinya. Pertemuan sialan di
perpustakaan ini tak akan pernah terjadi jika saja dia tidak memohon-mohon
dengan suara memelas seperti di telepon tadi.
“Maafin aku ya.” Ia berucap dengan
ekspresi polos, seakan-akan tak pernah ada kesalahan serius yang pernah ia
lakukan di masa lalu. “Aku memang salah.”
“Baru sadar kalau kamu salah? Iya,
kamu memang salah!”
“Aku menyesal.”
“Lupakan saja.”
“Aku menyesal.”
“Sudahlah!”
“Aku menyesal! Andika, aku menyesal.
Aku minta maaf.” Ucapannya terdengar lembut saat menyebut namaku. Aku tak bisa
menahan diri untuk tetap bersikap dingin. Kutatap matanya.
“Aku udah maafin kamu dari sejak
kejadian itu.”
“Benarkah?” tanyanya, lugu seperti
anak kecil. Aku mengangguk cepat, aku hanya ingin pertemuan ini cepat selesai,
itu saja. Aku tak mau menatapnya lagi.
“Maafkan aku ya, Dika. Aku
benar-benar menyesal sudah melakukan hal itu padamu.”
“Cukup! Percuma kamu bilang menyesal
kalau kamu sendiri tetap bersikap seperti itu.”
“Aku mesti bagaimana supaya kamu
benar-benar memaafkanku?”
“Nggak perlu berbuat apa-apa.
Semuanya udah jadi masa lalu. Lupakan saja semuanya.” Ucapanku yang dingin
mengunci mulutnya. Ia memandangku, menatapku, memohon belas kasihan. “Nggak
perlu menatap aku seperti itu. Rasa kasihanku sama kamu sudah hilang.”
Selama beberapa saat ke depan, aku
terus mencecarnya. Ia hanya diam, mendengarkan dengan tekun, menatapku dengan
penuh rasa bersalah. Aku tak bisa menahan emosiku. Bayangan saat peristiwa itu
terjadi kembali muncul. Saat aku melihat dia, kekasihku di masa lalu, dicium
keningnya oleh seorang lelaki, yang mana itu bukan aku, di ujung koridor gedung
fakultas. Aku sangat ingin melupakan kejadian itu. Aku tak mau dibayang-bayangi
masa lalu. Aku ini memang lelaki, tapi lelaki juga punya perasaan.
“Pergilah, Nadya.”
“Tanpa kamu bilang begitu pun aku
akan pergi.”
“Baguslah, aku gak perlu lagi liat
muka kamu! Jangan kembali lagi, kalau perlu pergi selamanya!”
“Iya. Aku akan pergi selamanya,
Andika.”
Dia mengucapkan kalimat terakhir di
percakapan kami hari itu dengan nada yang aneh. Asing. Tapi ya sudahlah, aku
tak peduli. Aku tak mau membuang waktuku yang berharga dengan hal yang tidak
penting semacam ini. Aku beranjak lalu membawa barang-barangku, secepat mungkin
menjauhi tempat itu. Nadya masih terdiam dengan ekspresi hampa di tempat
duduknya.
“Puas lo!” Batinku berseru. Aku tertawa
sendiri. Aku rasa aku berhasil membuatnya merasakan sakit yang sepadan dengan
apa yang dia perbuat dahulu. Aku sama sekali tak menyesal akan berpisah dengan
Nadya. Ya Tuhan, betapa bahagianya.
Aku tersenyum.
-----
Ku lihat tanggal di handphone-ku. 26
Mei. Hari ulang tahunku yang ke-20. Dan sekaligus tepat 3 bulan semenjak
kejadian di perpustakaan itu. Tak ada lagi komunikasi barang sedetikpun dengan
Nadya. Aku tak pernah mendengar kabar tentangnya.
Hari-hariku tanpanya berjalan datar.
Sedikitpun tak ada rasa menyesal karena telah berbicara kasar pada Nadya.
Meskipun, tak dapat kupungkiri, aku terkadang memikirkan dia. Entah mengapa,
hari-hariku terasa tak lengkap. Terasa kehilangan. Terkadang aku iri melihat
teman-temanku yang bermesraan secara terang-terangan di hadapanku, sementara
aku hanya sendirian. Entahlah, mungkin hanya rasa kehilangan yang sesaat.
Siang ini, aku sedang duduk di taman
kampus, sibuk membalas sms-sms yang masuk mengucapkan selamat ulang tahun. Baru
saja aku selesai, handphone-ku bergetar dan berdering. Nomor tak dikenal. Entah
kenapa terasa penting. Jadi, kuangkat saja.
“Halo?” jawabku setengah bertanya,
ragu.
“Halo.. Andika?” Terdengar suara
seorang gadis yang agaknya akrab.
“Ini Kiren, ini kak Andika ya?”
“Kiren.. Adiknya Nadya?” Suaraku
seakan tercekat.
“Kenapa ya Ren? Ada apa?”
“Kiren ada perlu sama kak Dika, bisa
ketemuan gak kak?”
“Di mana?”
“Nanti Kiren jemput. Bisa kak?”
Aku berpikir lama. Akhirnya, batinku
menyerah. “Oke.”
-----
“Ini tempat apa?” tanyaku saat turun
dari mobil Kiren, menapaki tanah rerumputan yang basah berembun sehabis hujan.
Kiren turun menghampiriku. Ia hanya diam, lalu mengajakku berjalan menyusuri
padang ilalang dan rumput hijau segar. Tak lama, Kiren mengeluarkan kembar
tabur dan air dari tas tangannya. Ada apa ini?
Setelah menyusuri daerah itu
beberapa saat, kami melewati dua pepohonan besar yang berdiri berseberangan. Di
sanalah, aku melihat beberapa nisan. Aku terheran, mengapa di tempat seindah
ini bisa ada kompleks pemakaman.
Kami terus berjalan, hingga Kiren
berhenti di depan sebuah nisan. Aku tak memperhatikan tulisan di nisan itu.
Kiren berjongkok di samping nisan itu. Aku pun secara tak sadar ikut berjongkok
di sisi lain nisan itu.
“Sudah 3 bulan. dia pergi sesuai
kemauan kak Dika.”
Siapa?
“Kak Nadya sakit, dia bilang pada
Kiren kalau kak Nadya tak ingin kak Dika tahu tentang hal ini.”
Nadya sakit? Separah apa? Itu karma
namanya! Aku terus mengumpat-umpat dalam hati.
“Kak Dika dan dia sudah pacaran
sejak SMA kan?”
Aku hanya diam. Aku tak suka masa
laluku diungkit.
“Kak Nadya tak mau kepergiannya
membuat kak Dika merasa tersakiti.”
Aku masih belum mengerti.
“Saat kak Dika dan kak Nadya putus,
itu semua rancangan kak Nadya. Ia membuat semuanya terjadi seakan-akan nyata.”
Apa sih yang Kiren bicarakan?
“Kak Nadya sengaja membuat semacam
drama yang menyakiti kak Dika, agar kak Dika tak menyesal dan terluka ketika ia
pergi. Karena sesungguhnya kak Nadya masih mencintai kak Dika. Dia yang bilang
pada Kiren sebelum dia pergi.”
Bullshit! Ini semua pasti salah!
“Kak Dika tak pernah sadar kalau
pertemuan terakhir kakak dengan kak Nadya adalah saat kak Dika memakinya
habis-habisan.”
Deg. Rasanya sebuah batu besar
menimpaku. Dadaku terasa sesak.
Perlahan, kutatap nisan itu. Kutepis
pasir dan debu yang menutupi tulisan di sana. Tertulis namanya. Nama perempuan
yang dulu menjadi pusat dari duniaku.
Nadya.
“Drama yang dirancang kak Nadya
berhasil. Kak Dika tak terlihat terluka barang sedikitpun. Kak Dika tak
menangis. Persis seperti yang diinginkan kak Nadya.”
Aku diam, benar-benar diam. Aku tak
tahu harus berkata apa. Lidahku kaku. Aku tak pernah menyangka..
Setetes air mata meluncur dari
pelupuk mataku, turun dan menetes ke tanah makam Nadya.
Ya Tuhan..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar