Senin, 19 Agustus 2013

Cappuccino's Ilussion

            Aku melangkahkan kaki keluar dari gedung fakultas Antropologi. Kutelusuri jalan keluar kampus, lalu aku berhenti di depan sebuah Coffee Shop langgananku dan dia. Aku mengedarkan pandangan ke sekelilingku. Mana dia?
            “Rega!” terdengar suara seseorang yang begitu akrab di telingaku. Aku menengok ke belakang. Sosok pemilik suara itu menatap jelas ke arahku. Dia disana, berjalan ke arahku dengan senyuman yang begitu indah. Giginya yang berbaris rapi menambah manis senyumannya. Tak akan pernah kulupakan.
            Aku terpaku. Mataku lekat menatapnya. Tak pernah bosan.
            “Ngopi yuk?” ajaknya menepuk pundakku. Tatapannya hangat.
            Sesaat aku terdiam, merasa senang saat menyadari bahwa konsentrasinya benar-benar menyorot kepadaku, tak ada yang lain. Hanya padaku. “Yuk. Lo suka Cappuccino pakai Choco Granule kan?”
            Ia mengangguk senang. Aku tahu pasti keinginannya. Kopi, yang merupakan minuman kesukaannya, merupakan minuman yang membuatku muak. Sejak dulu, aku tak menyukai kopi, baik rasanya maupun aromanya. Aneh memang, aku, seorang lelaki, bisa tidak menyukai kopi. Tapi, itulah kenyataannya. Tiap meminum kopi, sesampainya di rumah, aku langsung mual. Tapi, demi menghabiskan waktu bersamanya, aku akan meminum kopi, bahkan bergelas-gelas, hanya untuk bersamanya. Ya, mungkin aku memang bodoh.
            Kami pun masuk ke dalam Coffee Shop favorit kami itu, mencari tempat duduk, lalu memanggil pelayan. Aku menyebutkan pesanan kami. Pelayan itu pun pergi dan tak lama ia kembali membawa pesanan kami: 2 Hot Cappuccino with Choco Granule.
            “Nih Nav, Choco Granule gue, ambil aja, karena gue tahu lo lebih suka kalau Choco Granule nya banyak.”
            Wanita itu tertawa geli. Navia, wanita yang selalu memasang senyuman termanis yang pernah kulihat, yang kurasa senyum itu hanya untukku. Kami menyesap cappuccino itu bersama, sesekali aku mencuri pandang ke arahnya. Aku memperhatikan cara ia menyesap kopinya, cara  ia meniup kopi panasnya, semuanya kurekam dalam otakku.
            Aku selalu senang saat sedang mengopi bersamanya. Aku merasa bahagia saat lenganku dan lengannya bersentuhan karena aku duduk tepat di sampingnya. Saat minum kopi bersamanya, kehangatan canda dan tawanya bisa turut kurasakan dalam hangatnya kopi yang sejujurnya membuatku mual.
            Setiap tiba saatnya dimana cappuccino kami habis, ingin rasanya aku memesan kembali cappuccino bagi kami berdua, hanya agar aku bisa lebih lama bersamanya. Saat bersamanya, semuanya terasa begitu menyenangkan, semua hal buruk mendadak terasa baik-baik saja. Aku jadi suka kopi, terutama cappuccino. Aku merubah tampilanku, merubah sikapku, semua hanya demi dia. Dulu, aku seorang pria badung. Selalu keluar sampai malam, belajar malas-malasan, jarang masuk kuliah. Semenjak dia hadir dalam hidupku, aku merubah semuanya, semi dia. Aku ingin terlihat baik dan benar di matanya. Aku ingin terlihat sempurna di mata wanita yang sangat kucintai. Kopi yang awalnya memuakkan menjadi terasa manis dan hangat, seperti senyuman dan sinar matanya.
Entah sudah berapa cangkir cappuccino yang kami minum bersama. Tidak dalam hubungan apa-apa. Hanya menggantung saja. Tak ada sapaan di pagi dan malam hari. Meskipun, ya, tentu saja aku mengharapkan itu semua. Aku seringkali menghubunginya duluan, namun biasanya balasannya begitu singkat. Aku lebih suka begini, pertemuan yang hangat dan akrab. Sudah berbulan-bulan aku memendam rasa sayang ini padanya. Tak mungkin dia tahu. Tak mungkin dia sadar. Aku menutupnya rapat-rapat.
            “Trims ya, udah mau nemenin ngopi.” Ucap Navia tersenyum manis sembari meraih tisu di atas meja. Aku mengangguk senang.
            Aku bangkit berdiri, meninggalkan meja dan bangku yang kami duduki di Coffee Shop itu, berpamitan padanya, lalu berjalan pulang ke kost-an ku dengan langkah ringan. Aku tak sabar menunggu hari esok datang. Minum cappuccino lagi dengannya. Saat terindah dalam hidupku. Memandangi parasnya secara diam-diam dari samping. Mencintai dan menyayanginya secara diam-diam. Menyakitkan, memang. Tapi aku bisa apa?
-----
            Aku berjalan seperti biasa menuju Coffee Shop. Aku bertekad, perasaan ini harus kuungkapkan padanya hari ini, bersama secangkir cappuccino yang akan menemaniku. Apa gunanya jika tidak diungkapkan? Apa bahagianya menjalani cinta sendiri? Hari ini aku ingin memperjuangkan cintaku padanya, membangun nyali yang selama ini tertahan.
            Aku menemukan sosoknya, duduk di meja biasa tempat kami mengopi. Matanya dan mataku bertemu, tapi hanya sekilas. Navia hanya tersenyum singkat. Entahlah.. Tak tahu kenapa, kurasa ia tak ada niat untuk mengopi bersamaku hari itu.
            “Ngopi yuk?”
            “Barusan udah.”
            Lho? Kenapa ia mengopi sendirian? Kenapa tak menungguku?
            “Tadi ngopi apa?”
            “Cappuccino.”
            “With Double Choco Granule as usual?”
            “Yup.”
            “Sendiri?”
            “Iya.”
            Aku mulai ragu. Ada apa dengannya? Aku duduk di seberangnya, mencoba membuka pembicaraan. Entah mengapa, aku agak ragu duduk di sisinya. Ia tampak mengambil jarak padaku hari ini.
            “Aku mau ngomong sama kamu. Penting. Boleh?”
            Baru saja ia hendak membuka mulutnya, sesosok bayangan muncul di mejaku. Seseorang berdiri di belakangku. Aku menoleh.
            “Eh, Rega. Ngopi, bro?”
            Sosok pemilik suara itu menyapaku. Putra? Teman satu kelasku? Hendak apa dia disini?
            Putra beranjak menuju tempat kosong di samping Navia. Tangannya lembut membelai rambut wanita yang kusayangi.
            “Sayang, maaf ya lama nunggu. Tadi ke kamar mandinya ngantri.”
            Aku hanya diam menatap pilu. Apakah mungkin…
            “Eh, Rega, ini Yudha, pacar gue. Kalau nggak salah, kalian berdua satu fakultas kan?” Dengan senyum lebar, ia memperjelas semuanya.
            Putra tersenyum padaku, ia mengangguk. Aku balas tersenyum, meskipun hatiku terasa pecah.
Jadi, selama ini aku hanya teman mengopi saja. Tak ada yang lebih. Aku tolol, menaruh harapan terlalu tinggi. Kini aku terhempas keras, sakit.
Dan akhirnya perasaanku padanya hanya dipendam, tak pernah terungkapkan. Kopi cappuccino yang kuminum ternyata member ilusi yang membuatku merasa kalau harapanku padanya akan berbalas. Nyatanya tidak. Hanya ilusi.
Tak akan ada lagi cappuccino atau kopi lainnya yang akan masuk ke mulutku.
Sudah cukup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar