Rabu, 14 Agustus 2013

Don't Insult My Boyfriend!

Aku tersenyum padanya, lalu membiarkan motor bebek sederhana yang sudah mengantarku pulang itu menjauh. Dengan langkah santai aku menapaki anak tangga di teras rumah. Di ambang pintu, Mbok Diah, pengurus rumah keluargaku, berdiri menungguku. Wajahnya tampak cemas melihatku pulang tidak bersama supirku. Kulirik sekilas ke dalam ruang keluarga. Sepi.
"Mbok, Papa sama Mama mana? Ini kan udah jam 8 malem.' tanyaku sembari melangkahkan kaki masuk lalu duduk di sofa, meregangkan otot-ototku yang pegal.
"Belum pulang, nduk. Tadi pulang sama siapa, nduk?' Mbok Diah bertanya balik dengan sedikit logat Jawa nya kepadaku sembari membawakan kopi panas dan sup jagung hangat buatannya. Aku menyambutnya lalu menjawab sekenanya. "Sama Mas Jehand."
"Mas Jehand yang wong Jowo itu toh? Naik motor? Memangnya Mang Dana nggak jemput di kampus kamu?"
"Tadi Mang Dana dateng kok Mbok.. Cuma saya suruh pulang lagi. Kasihan, kan anaknya lagi sakit." jawabku pada Mbok Diah. Sejenak, beliau mengangguk ragu, lalu permisi untuk melanjutkan pekerjaannya di dapur. Aku menghirup kopi panas kesukaanku sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang keluarga. 
Ruangan yang tidak terlalu besar tetapi cukup nyaman karena penataan yang rapi dan baik. Tatapanku bergeser, dari mulai dinding yang berlapis cat berwarna putih lembut, lalu turun ke arah televisi dan home theater yang melengkapinya, yang biasa kugunakan untuk bernyanyi melepas jenuh sendirian, lalu ke piano tua yang biasa kumainkan untuk membuat lagu saat kesepian, hingga pada akhirnya tatapanku beralih ke atas piano tua itu. Aku tertegun sejenak. Di sana, di atas piano tua peninggalan nenekku, ada satu foto yang ditaruh disana, foto keluargaku; Papa, Mama, Kak Seno, dan aku. Foto itu terlihat begitu bahagia, semuanya memasang senyuman yang sempurna. Aku tersenyum pedih, memikirkan keluargaku yang semakin hari semakin sibuk dengan urusan masing-masing. "Kenyataannya, keluargaku kini tak sebahagia foto yang ada di atas sana," batinku lirih dan sedih dalam hati.

Inilah kepedihanku. Papa, Mama, dan Kak Seno. Sesederhana itulah kepedihanku.

-----

"Maaf ya, aku cuma bisa nganterin kamu pulang dengan motor butut saja, tidak seperti supirmu yang memakai mobil mewah itu." ujar Mas Jehand dari ujung telepon, suaranya terdengar begitu kecewa.
"Nggak apa-apa Mas, toh sama aja. Lagian tadi anaknya Mang Dana sakit, jadi ya kusuruh pulang aja, kasihan anaknya." jelasku sambil menghibur Mas Jehand. Sejenak, kami saling berdiam diri, tak ada yang berbicara.
"Kamu ndak malu naik motor sama aku?" tanya Mas Jehand.
"Kenapa harus malu?" aku membalikkan arah pertanyaanku padanya.
"Ya malu lah dilihat teman-temanmu, kamu ndak lihat apa, tadi tatapan mereka seperti memandang sinis ke arah kita. Terus di jalan kamu kena asap, kena hujan, kepanasan. Memangnya kamu nyaman seperti itu?"
"Aku nggak malu mas, mau dicemooh, mau kena polusi, mau kena air hujan, mau kena terik matahari, yang penting aku sama kamu." jelasku.
"Maafin aku ya, aku ndak bisa jadi seperti pria biasa yang lainnya, yang bisa ngasih kamu kemewahan." tutur mas Jehand pelan, masih dengan logat Jawanya.
"Manusia diciptakan Tuhan berbeda-beda itu untuk saling melengkapi, Mas. Aku mencintai kamu karena kamu berbeda. Kamu menawarkan kesederhanaan yang belum pernah ditawarkan lelaki lain padaku."
"Tapi aku merasa rendah, aku ndak bisa mengimbangi kamu.."
"Pacaran itu bukan soal sama seimbang Mas, tapi saling menerima apapun keadaan kekasihnya."
"Aku kagum sekali sama kamu. Kamu tetap terlihat sederhana walaupun kamu memiliki segalanya. Kamu masih bersikap rendah hati walaupun kamu bisa saja bersikap sombong dan memamerkan kekayaanmu seperti yang biasa orang-orang lakukan." kata Mas Jehand panjang lebar, membuatku secara refleks tersenyum.
"Aku nggak berhak memamerkan harta orang tua ku, hasil keringat orang tua tidak sepantasnya dipamerkan oleh anaknya, Mas." ucapku tenang sembari mendengar desahan nafasnya yang lembut di ujung telepon. "Aku sangat senang saat-saat seperti ini, ketika semua anggota keluargaku sibuk sendiri, kamu selalu ada mengisi kekosongan-kekosonganku. Aku ingin kita selalu seperti ini mas.." jelasku lirih.
"Aku juga ingin kita tetap begini, cantik." Respon Mas Jehand membuatku tersenyum.
Aku mencintai dia. Dia, yang secara status sosial dan fisik berbeda jauh denganku. Aku tak mau kehilangan dia.

-----

Langkah kakiku ringan memasuki daerah Fakultas Sastra Inggris di universitas tempatku menggantungkan harapan, UNPAD, menikmati daun-daun kuning yang mulai berguguran di musim ini, merasakan angin yang semilir menyentuhku, tersenyum melihat indahnya awan-awan putih yang menggantung cerah bersama mentari. Namun senyumanku memudar tatkala kulihat Mas Jehand dan seorang wanita tengah berargumen di ujung koridor yang masih sepi kala itu.
"Sita itu istimewa dan wanita yang berkelakuan buruk seperti kamu tidak pantas mengganggunya!" sentak Mas Jehand kepada lawan bicaranya yang ternyata teman dekatku juga, Alicia. Saat itu aku hanya bisa diam, aku masih bingung akan apa yang Mas Jehand baru saja katakan pada Alicia.
Beberapa waktu kemudian, Alicia melihatku, lalu menghampiriku dan menarik lenganku ke hadapan Mas Jehand. Kerumunan pun semakin ramai, ingin tahu apa yang terjadi antara kami bertiga.
"Oh, jadi ini cewek yang lo sebut istimewa di mata lo Je? Kalau dia istimewa, dia gak akan ditinggalin sama orang tua dan kakaknya tiap hari! Kalau dia sebagus yang lo bilang, dia gak akan mau sama lo yang kayak orang bego, lo liat tampilan lo, cupu, pake kacamata! Lo bandingin sama dia, dia jauh tingkatannya sama elo Je! Lo cuma punya motor bobrok, lah dia mobilnya mewah. Gue yang istimewa Je, gue yang sepantasnya ngedapetin elo, gue yang nggak ngeliat kekurangan lo, gue yang tulus sama lo!" Bentak Alicia pada Mas Jehand. Saat itu juga, emosiku meluap. Aku menatap Alicia, yang dulunya teman dekatku, dengan penuh amarah.
"Eh, cewek jalang! Lo ngaca dong! Kalo lo sayang sama Mas Jehand, kalo lo nggak mandang kekurangan dia, lo gak seharusnya ngata-ngatain dia bego, ngatain penampilannya, ngatain kendaraannya. Gue cinta sama dia, gue berusaha menerima semua yang dia punya, itu namanya cinta! Tanpa elo ngelakuin hal bodoh begini pun, hidup gue udah cukup berantakan. Orang tua gue emang gak pernah ada untuk mengisi kekosongan gue, but I have Jehand! Jehand selalu jadi obat buat nutupin luka gue karena ketidakpedulian orang tua gue! Sekarang lo pergi, dan inget satu hal. Don't insult my boyfriend!" kataku panas. Alicia mematung sejenak, kemudian ia pergi menjauh, berlari pelan memecah kerumunan, sekilas kulihat matanya berkaca-kaca. Aku menggandeng tangan Mas Jehand, yang sedang tersenyum hangat menatapku. Aku serasa terbang melihatnya.

-----

Aku menghirup kopi panas kesukaanku sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang keluarga. Ruangan yang tidak terlalu besar tetapi cukup nyaman karena penataan yang rapi dan baik. Tatapanku bergeser, dari mulai dinding yang berlapis cat berwarna putih lembut, lalu turun ke arah televisi dan home theater yang melengkapinya, yang biasa kugunakan untuk bernyanyi melepas jenuh bersama orang-orang yang kusayangi, lalu ke piano tua yang biasa kumainkan untuk membuat lagu saat sedang berkumpul bersama orang-orang ynag kusayangi, hingga pada akhirnya tatapanku beralih ke atas piano tua itu. Aku tertegun sejenak. Di sana, di atas piano tua peninggalan nenekku, ada satu foto yang ditaruh disana, di sebelah foto keluargaku yang dulu, itu foto keluargaku yang baru; Papa, Mama, Kak Seno, Mas Jehand suamiku, aku, dan Memo, anak lelakiku. Foto itu terlihat begitu bahagia, semuanya memasang senyuman yang sempurna. Aku tersenyum manis, memikirkan keadaan keluargaku yang semakin hari semakin hangat, semakin dekat. "Kenyataannya, keluargaku kini lebih bahagia dari foto yang terpampang di atas sana." batinku riang dalam hati.

Ini kebahagiaanku. Papa, Mama, Kak Seno, Mas Jehand, dan anakku Memo. Sesederhana itulah kebahagiaanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar