Aku tersenyum padanya, lalu membiarkan motor bebek
sederhana yang sudah mengantarku pulang itu menjauh. Dengan langkah santai aku
menapaki anak tangga di teras rumah. Di ambang pintu, Mbok Diah, pengurus rumah
keluargaku, berdiri menungguku. Wajahnya tampak cemas melihatku pulang tidak
bersama supirku. Kulirik sekilas ke dalam ruang keluarga. Sepi.
"Mbok, Papa sama Mama mana? Ini kan udah jam 8
malem.' tanyaku sembari melangkahkan kaki masuk lalu duduk di sofa, meregangkan
otot-ototku yang pegal.
"Belum pulang, nduk. Tadi pulang sama siapa,
nduk?' Mbok Diah bertanya balik dengan sedikit logat Jawa nya kepadaku sembari
membawakan kopi panas dan sup jagung hangat buatannya. Aku menyambutnya lalu
menjawab sekenanya. "Sama Mas Jehand."
"Mas Jehand yang wong Jowo itu toh? Naik
motor? Memangnya Mang Dana nggak jemput di kampus kamu?"
"Tadi Mang Dana dateng kok Mbok.. Cuma saya
suruh pulang lagi. Kasihan, kan anaknya lagi sakit." jawabku pada Mbok
Diah. Sejenak, beliau mengangguk ragu, lalu permisi untuk melanjutkan
pekerjaannya di dapur. Aku menghirup kopi panas kesukaanku sambil mengedarkan
pandangan ke sekeliling ruang keluarga.
Ruangan yang tidak terlalu besar tetapi cukup
nyaman karena penataan yang rapi dan baik. Tatapanku bergeser, dari mulai dinding
yang berlapis cat berwarna putih lembut, lalu turun ke arah televisi dan home
theater yang melengkapinya, yang biasa kugunakan untuk bernyanyi melepas jenuh
sendirian, lalu ke piano tua yang biasa kumainkan untuk membuat lagu saat
kesepian, hingga pada akhirnya tatapanku beralih ke atas piano tua itu. Aku
tertegun sejenak. Di sana, di atas piano tua peninggalan nenekku, ada satu foto
yang ditaruh disana, foto keluargaku; Papa, Mama, Kak Seno, dan aku. Foto itu
terlihat begitu bahagia, semuanya memasang senyuman yang sempurna. Aku
tersenyum pedih, memikirkan keluargaku yang semakin hari semakin sibuk dengan
urusan masing-masing. "Kenyataannya, keluargaku kini tak sebahagia foto
yang ada di atas sana," batinku lirih dan sedih dalam hati.
Inilah kepedihanku. Papa, Mama, dan Kak Seno.
Sesederhana itulah kepedihanku.
-----
"Maaf ya, aku cuma bisa nganterin kamu pulang
dengan motor butut saja, tidak seperti supirmu yang memakai mobil mewah
itu." ujar Mas Jehand dari ujung telepon, suaranya terdengar begitu
kecewa.
"Nggak apa-apa Mas, toh sama aja. Lagian tadi
anaknya Mang Dana sakit, jadi ya kusuruh pulang aja, kasihan anaknya."
jelasku sambil menghibur Mas Jehand. Sejenak, kami saling berdiam diri, tak ada
yang berbicara.
"Kamu ndak malu naik motor sama aku?"
tanya Mas Jehand.
"Kenapa harus malu?" aku membalikkan arah
pertanyaanku padanya.
"Ya malu lah dilihat teman-temanmu, kamu ndak
lihat apa, tadi tatapan mereka seperti memandang sinis ke arah kita. Terus di
jalan kamu kena asap, kena hujan, kepanasan. Memangnya kamu nyaman seperti
itu?"
"Aku nggak malu mas, mau dicemooh, mau kena
polusi, mau kena air hujan, mau kena terik matahari, yang penting aku sama
kamu." jelasku.
"Maafin aku ya, aku ndak bisa jadi seperti
pria biasa yang lainnya, yang bisa ngasih kamu kemewahan." tutur mas
Jehand pelan, masih dengan logat Jawanya.
"Manusia diciptakan Tuhan berbeda-beda itu
untuk saling melengkapi, Mas. Aku mencintai kamu karena kamu berbeda. Kamu
menawarkan kesederhanaan yang belum pernah ditawarkan lelaki lain padaku."
"Tapi aku merasa rendah, aku ndak bisa
mengimbangi kamu.."
"Pacaran itu bukan soal sama seimbang Mas,
tapi saling menerima apapun keadaan kekasihnya."
"Aku kagum sekali sama kamu. Kamu tetap
terlihat sederhana walaupun kamu memiliki segalanya. Kamu masih bersikap rendah
hati walaupun kamu bisa saja bersikap sombong dan memamerkan kekayaanmu seperti
yang biasa orang-orang lakukan." kata Mas Jehand panjang lebar, membuatku
secara refleks tersenyum.
"Aku nggak berhak memamerkan harta orang tua
ku, hasil keringat orang tua tidak sepantasnya dipamerkan oleh anaknya,
Mas." ucapku tenang sembari mendengar desahan nafasnya yang lembut di
ujung telepon. "Aku sangat senang saat-saat seperti ini, ketika semua
anggota keluargaku sibuk sendiri, kamu selalu ada mengisi
kekosongan-kekosonganku. Aku ingin kita selalu seperti ini mas.." jelasku
lirih.
"Aku juga ingin kita tetap begini,
cantik." Respon Mas Jehand membuatku tersenyum.
Aku mencintai dia. Dia, yang secara status sosial
dan fisik berbeda jauh denganku. Aku tak mau kehilangan dia.
-----
Langkah kakiku ringan memasuki daerah Fakultas
Sastra Inggris di universitas tempatku menggantungkan harapan, UNPAD, menikmati
daun-daun kuning yang mulai berguguran di musim ini, merasakan angin yang
semilir menyentuhku, tersenyum melihat indahnya awan-awan putih yang
menggantung cerah bersama mentari. Namun senyumanku memudar tatkala kulihat Mas
Jehand dan seorang wanita tengah berargumen di ujung koridor yang masih sepi
kala itu.
"Sita itu istimewa dan wanita yang berkelakuan
buruk seperti kamu tidak pantas mengganggunya!" sentak Mas Jehand kepada
lawan bicaranya yang ternyata teman dekatku juga, Alicia. Saat itu aku hanya
bisa diam, aku masih bingung akan apa yang Mas Jehand baru saja katakan pada
Alicia.
Beberapa waktu kemudian, Alicia melihatku, lalu
menghampiriku dan menarik lenganku ke hadapan Mas Jehand. Kerumunan pun semakin
ramai, ingin tahu apa yang terjadi antara kami bertiga.
"Oh, jadi ini cewek yang lo sebut istimewa di
mata lo Je? Kalau dia istimewa, dia gak akan ditinggalin sama orang tua dan
kakaknya tiap hari! Kalau dia sebagus yang lo bilang, dia gak akan mau sama lo
yang kayak orang bego, lo liat tampilan lo, cupu, pake kacamata! Lo bandingin
sama dia, dia jauh tingkatannya sama elo Je! Lo cuma punya motor bobrok, lah
dia mobilnya mewah. Gue yang istimewa Je, gue yang sepantasnya ngedapetin elo,
gue yang nggak ngeliat kekurangan lo, gue yang tulus sama lo!" Bentak
Alicia pada Mas Jehand. Saat itu juga, emosiku meluap. Aku menatap Alicia, yang
dulunya teman dekatku, dengan penuh amarah.
"Eh, cewek jalang! Lo ngaca dong! Kalo lo
sayang sama Mas Jehand, kalo lo nggak mandang kekurangan dia, lo gak seharusnya
ngata-ngatain dia bego, ngatain penampilannya, ngatain kendaraannya. Gue cinta
sama dia, gue berusaha menerima semua yang dia punya, itu namanya cinta! Tanpa
elo ngelakuin hal bodoh begini pun, hidup gue udah cukup berantakan. Orang tua
gue emang gak pernah ada untuk mengisi kekosongan gue, but I have Jehand!
Jehand selalu jadi obat buat nutupin luka gue karena ketidakpedulian orang tua
gue! Sekarang lo pergi, dan inget satu hal. Don't insult my boyfriend!"
kataku panas. Alicia mematung sejenak, kemudian ia pergi menjauh, berlari pelan
memecah kerumunan, sekilas kulihat matanya berkaca-kaca. Aku menggandeng tangan
Mas Jehand, yang sedang tersenyum hangat menatapku. Aku serasa terbang
melihatnya.
-----
Aku menghirup kopi panas kesukaanku sambil
mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang keluarga. Ruangan yang tidak terlalu
besar tetapi cukup nyaman karena penataan yang rapi dan baik. Tatapanku
bergeser, dari mulai dinding yang berlapis cat berwarna putih lembut, lalu
turun ke arah televisi dan home theater yang melengkapinya, yang biasa
kugunakan untuk bernyanyi melepas jenuh bersama orang-orang yang kusayangi,
lalu ke piano tua yang biasa kumainkan untuk membuat lagu saat sedang berkumpul
bersama orang-orang ynag kusayangi, hingga pada akhirnya tatapanku beralih ke
atas piano tua itu. Aku tertegun sejenak. Di sana, di atas piano tua
peninggalan nenekku, ada satu foto yang ditaruh disana, di sebelah foto
keluargaku yang dulu, itu foto keluargaku yang baru; Papa, Mama, Kak Seno, Mas
Jehand suamiku, aku, dan Memo, anak lelakiku. Foto itu terlihat begitu bahagia,
semuanya memasang senyuman yang sempurna. Aku tersenyum manis, memikirkan
keadaan keluargaku yang semakin hari semakin hangat, semakin dekat.
"Kenyataannya, keluargaku kini lebih bahagia dari foto yang terpampang di
atas sana." batinku riang dalam hati.
Ini kebahagiaanku. Papa, Mama, Kak Seno, Mas Jehand,
dan anakku Memo. Sesederhana itulah kebahagiaanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar