Selasa, 30 Juli 2013

3 Absurd Years

Selamat bertemu kembali, kenangan. Sudah 3 tahun kamu pergi. Tak terasa. Hari ini tepat 3 tahun kepergianmu, dan ulang tahunmu yang ke 17. Andai kamu masih nyata, masih berwujud, masih hidup, pasti hidupku selama tiga tahun belakangan ini tidak akan seabsurd ini. Hancur.
 
Semenjak kepergianmu 3 tahun yang lalu, kisahku berantakan. Kisah cinta. Tak pernah bertahan lama. Ada pula yang kandas sebelum bersatu. Rasanya tak ada cinta yang pas untukku. Semuanya hanya lalu-lalang saja, tak ada keseriusan. Tak seperti yang kamu tawarkan padaku dulu. Ketulusan. Kepastian. Kejelasan. Bukan keabsurdan.

Menyentuh batu nisanmu, menabur bunga di makammu, mencabut rumput liar di tanah tempatmu bersemayam, membuatku menangis terisak. Rindu menyeruak. Seakan film di layar lebar, semua kenangan kita berputar jelas di anganku. Kita yang dulu, penuh ceria, penuh canda. Penuh rasa di masa muda.

Teringat hari yang paling kubenci. Jum'at, 30 Juli 2010. Kamu berjanji akan menemuiku di bangku taman di sebelah tukang es krim favorit kita. Kamu bilang ada yang akan kamu bicarakan. Aku berdebar. Menebak-nebak apa yang akan kamu utarakan. Apa mungkin... cinta?
 
2 jam aku duduk diam. Menunggu. Menantimu. Gerimis mulai turun tetes demi tetes. Tapi sosokmu tak kunjung menampakkan diri. Kemana perginya?

Aku mulai marah. Emosi. Terlalu lama aku bersabar. Aku berdiri, dalam keheningan hujan, berniat melangkahkan kaki pulang. Baru berdiri tegak, secara tiba-tiba handphone-ku bergetar. Ada panggilan. Tertera namamu. Kutekan tombol hijau untuk mengangkatnya. Baru saja aku hendak memprotes, memarahimu, ketika suara isakan ibumu terdengar dari ujung telepon. Katanya kamu sudah tidak ada. Pergi. Tidur. Untuk selamanya.

Aku kaku untuk sesaat. Tak tahu harus bilang apa pada ibumu. Sambungan telepon kuputus. Dalam diam, dalam hujan, aku menangis. Ini salah satu alasan kenapa aku menyukai hujan. Tak ada yang tahu aku menangis. Karena rinai hujan membasahi wajahku, tak terlihat air mata yang mengalir dari mataku. Aku merasa hampa.

Secepat ini? Kenapa kamu pergi begini cepat? Bahkan sebelum kamu tahu perasaanku dan sebelum aku mengerti isi hatimu. Kenapa Tuhan menghendaki kita berpisah? Aku bisa maklum dan menerima kalau hanya terpisah oleh keadaan dan jarak, tapi... nyawa? Ya Tuhan, aku menangis lagi memikirkan hal ini.

Sejak kehilanganmu, 3 tahun terakhir ini bukan tahun yang baik bagiku untuk masalah hati. Rasanya mereka semua hanya menjadikan aku persinggahan, bukan tujuan. Aku hanya pelarian, bukan garis akhir. Rasanya seperti aku dipermainkan. 3 tahun ini hidupku terasa absurd, aneh, tak lengkap. Berantakan. Diacak-acak mereka yang hanya menginginkan pelampiasan sesaat dariku. Berbeda dengan kamu... Kamu yang selalu apa adanya, lepas, jujur, polos, tulus, tanpa topeng, selalu terlihat begitu sempurna di mataku.

Ya ampun, apa yang kulakukan saat ini? Menangisimu? Kamu tak akan senang melihatku begini dari atas sana kan? Dulu, tanpa alasan yang jelas kamu pernah berkata, bahwa kamu tak mau melihat aku menangis. Maafkan aku, menangisimu. Tapi aku tak kuasa membendungnya. Ya, memang tak seharusnya. Seharusnya aku tersenyum senang untukmu, berhenti menangisimu, berdoa dmi kebahagiaanmu di surga sana, di samping Tuhan. Seharusnya aku membiarkanmu tenang...

Semoga damai disana, kamu. Semoga aku disini bisa melepasmu dengan rela. Dengan lapang dada. Terima kasih untuk tahun-tahun yang kita lewati dahulu. Begitu indah. Hangat. Manis.

Selamat jalan, Rako.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar