“Rega!” terdengar suara seseorang
yang begitu akrab di telingaku. Aku menengok ke belakang. Sosok pemilik suara
itu menatap jelas ke arahku. Dia disana, berjalan ke arahku dengan senyuman
yang begitu indah. Giginya yang berbaris rapi menambah manis senyumannya. Tak
akan pernah kulupakan.
Aku terpaku. Mataku lekat
menatapnya. Tak pernah bosan.
“Ngopi yuk?” ajaknya menepuk
pundakku. Tatapannya hangat.
Sesaat aku terdiam, merasa senang
saat menyadari bahwa konsentrasinya benar-benar menyorot kepadaku, tak ada yang
lain. Hanya padaku. “Yuk. Lo suka Cappuccino pakai Choco Granule kan?”
Ia mengangguk senang. Aku tahu pasti
keinginannya. Kopi, yang merupakan minuman kesukaannya, merupakan minuman yang
membuatku muak. Sejak dulu, aku tak menyukai kopi, baik rasanya maupun
aromanya. Aneh memang, aku, seorang lelaki, bisa tidak menyukai kopi. Tapi,
itulah kenyataannya. Tiap meminum kopi, sesampainya di rumah, aku langsung
mual. Tapi, demi menghabiskan waktu bersamanya, aku akan meminum kopi, bahkan
bergelas-gelas, hanya untuk bersamanya. Ya, mungkin aku memang bodoh.
Kami pun masuk ke dalam Coffee Shop
favorit kami itu, mencari tempat duduk, lalu memanggil pelayan. Aku menyebutkan
pesanan kami. Pelayan itu pun pergi dan tak lama ia kembali membawa pesanan
kami: 2 Hot Cappuccino with Choco Granule.
“Nih Nav, Choco Granule gue, ambil
aja, karena gue tahu lo lebih suka kalau Choco Granule nya banyak.”
Wanita itu tertawa geli. Navia, wanita
yang selalu memasang senyuman termanis yang pernah kulihat, yang kurasa senyum
itu hanya untukku. Kami menyesap cappuccino itu bersama, sesekali aku mencuri
pandang ke arahnya. Aku memperhatikan cara ia menyesap kopinya, cara ia meniup kopi panasnya, semuanya kurekam
dalam otakku.
Aku selalu senang saat sedang
mengopi bersamanya. Aku merasa bahagia saat lenganku dan lengannya bersentuhan
karena aku duduk tepat di sampingnya. Saat minum kopi bersamanya, kehangatan
canda dan tawanya bisa turut kurasakan dalam hangatnya kopi yang sejujurnya
membuatku mual.
Setiap tiba saatnya dimana
cappuccino kami habis, ingin rasanya aku memesan kembali cappuccino bagi kami
berdua, hanya agar aku bisa lebih lama bersamanya. Saat bersamanya, semuanya
terasa begitu menyenangkan, semua hal buruk mendadak terasa baik-baik saja. Aku
jadi suka kopi, terutama cappuccino. Aku merubah tampilanku, merubah sikapku,
semua hanya demi dia. Dulu, aku seorang pria badung. Selalu keluar sampai
malam, belajar malas-malasan, jarang masuk kuliah. Semenjak dia hadir dalam
hidupku, aku merubah semuanya, semi dia. Aku ingin terlihat baik dan benar di
matanya. Aku ingin terlihat sempurna di mata wanita yang sangat kucintai. Kopi
yang awalnya memuakkan menjadi terasa manis dan hangat, seperti senyuman dan
sinar matanya.
Entah
sudah berapa cangkir cappuccino yang kami minum bersama. Tidak dalam hubungan
apa-apa. Hanya menggantung saja. Tak ada sapaan di pagi dan malam hari.
Meskipun, ya, tentu saja aku mengharapkan itu semua. Aku seringkali
menghubunginya duluan, namun biasanya balasannya begitu singkat. Aku lebih suka
begini, pertemuan yang hangat dan akrab. Sudah berbulan-bulan aku memendam rasa
sayang ini padanya. Tak mungkin dia tahu. Tak mungkin dia sadar. Aku menutupnya
rapat-rapat.
“Trims ya, udah mau nemenin ngopi.”
Ucap Navia tersenyum manis sembari meraih tisu di atas meja. Aku mengangguk
senang.
Aku bangkit berdiri, meninggalkan
meja dan bangku yang kami duduki di Coffee Shop itu, berpamitan padanya, lalu
berjalan pulang ke kost-an ku dengan langkah ringan. Aku tak sabar menunggu
hari esok datang. Minum cappuccino lagi dengannya. Saat terindah dalam hidupku.
Memandangi parasnya secara diam-diam dari samping. Mencintai dan menyayanginya
secara diam-diam. Menyakitkan, memang. Tapi aku bisa apa?
-----
Aku berjalan seperti biasa menuju
Coffee Shop. Aku bertekad, perasaan ini harus kuungkapkan padanya hari ini,
bersama secangkir cappuccino yang akan menemaniku. Apa gunanya jika tidak
diungkapkan? Apa bahagianya menjalani cinta sendiri? Hari ini aku ingin
memperjuangkan cintaku padanya, membangun nyali yang selama ini tertahan.
Aku menemukan sosoknya, duduk di
meja biasa tempat kami mengopi. Matanya dan mataku bertemu, tapi hanya sekilas.
Navia hanya tersenyum singkat. Entahlah.. Tak tahu kenapa, kurasa ia tak ada
niat untuk mengopi bersamaku hari itu.
“Ngopi yuk?”
“Barusan udah.”
Lho? Kenapa ia mengopi sendirian?
Kenapa tak menungguku?
“Tadi ngopi apa?”
“Cappuccino.”
“With Double Choco Granule as
usual?”
“Yup.”
“Sendiri?”
“Iya.”
Aku mulai ragu. Ada apa dengannya?
Aku duduk di seberangnya, mencoba membuka pembicaraan. Entah mengapa, aku agak
ragu duduk di sisinya. Ia tampak mengambil jarak padaku hari ini.
“Aku mau ngomong sama kamu. Penting.
Boleh?”
Baru saja ia hendak membuka
mulutnya, sesosok bayangan muncul di mejaku. Seseorang berdiri di belakangku. Aku
menoleh.
“Eh, Rega. Ngopi, bro?”
Sosok pemilik suara itu menyapaku.
Putra? Teman satu kelasku? Hendak apa dia disini?
Putra beranjak menuju tempat kosong
di samping Navia. Tangannya lembut membelai rambut wanita yang kusayangi.
“Sayang, maaf ya lama nunggu. Tadi
ke kamar mandinya ngantri.”
Aku hanya diam menatap pilu. Apakah
mungkin…
“Eh, Rega, ini Yudha, pacar gue.
Kalau nggak salah, kalian berdua satu fakultas kan?” Dengan senyum lebar, ia
memperjelas semuanya.
Putra tersenyum padaku, ia mengangguk.
Aku balas tersenyum, meskipun hatiku terasa pecah.
Jadi,
selama ini aku hanya teman mengopi saja. Tak ada yang lebih. Aku tolol, menaruh
harapan terlalu tinggi. Kini aku terhempas keras, sakit.
Dan
akhirnya perasaanku padanya hanya dipendam, tak pernah terungkapkan. Kopi
cappuccino yang kuminum ternyata member ilusi yang membuatku merasa kalau
harapanku padanya akan berbalas. Nyatanya tidak. Hanya ilusi.
Tak
akan ada lagi cappuccino atau kopi lainnya yang akan masuk ke mulutku.
Sudah
cukup.