Jika aku boleh jujur, di balik rasa penasaranku terhadap kerabunan hubungan kita, aku menyimpan rasa takut. Rasa takut yang sangat tidak ingin kuluapkan. Aku tau, kamu tak pernah merasa seperti itu. Toh dalam benakmu, kita hanya teman, kan? Aku mengerti. Jiwamu tak ada bersamaku. Jiwamu sedang terbang, melayang menuju tepat ke arahnya, pada dia yang kau puja. Jiwamu terlalu bebas, terlalu lepas, aku tak punya hak untuk menahan kepergianmu. Bagaimana bisa aku berhak protes akan langkahmu yang semakin menjauh dariku? Status kita yang tak spesial membuat aku tertahan, tak bisa menahanmu, meski bibir ini sudah sangat ingin berteriak agar kau tetap tinggal, meski tangan ini sudah sangat ingin memeluk lenganmu agar kau tak bisa pergi dari sisiku. Pada akhirnya, kamu pergi. Aku hanya bisa menunggu. Menanti dengan sabar di tempat kita biasa bercanda gurau. Menanti kepulanganmu.
Aku tau, kamu tak pernah memikirkan betapa perihnya batinku, saat kamu pulang dengan wajah penuh cahaya, lalu kamu dengan suara penuh semangat, dan senyum indah serta mata berbinar, bercerita pada ku tentang dia, yang tersenyum padamu sepersekian detik, yang menjadi mimpi-mimpimu selama ini. Kadang aku iri padanya, aku ingin turut menjadi bagian dalam ceritamu itu. Ah, aku terlalu berkhayal. Lagipula, kata rindu yang terucap dari mulutmu hanya tertuju padanya kan? Padahal kau tau, dia jarang membalas tingkahmu, tapi kamu terus berjuang. Seperti aku, yang bertingkah mencari perhatianmu, tapi tak ada balasan dan tanggapan darimu. Aku hanya bisa diam, berpura-pura ikut bahagia mendengar ceritamu, meskipun aku menyembunyikan tangisan dan pedih yang mendalam pada batinku saat melihat binar matamu yang begitu menyayanginya.
Pernahkah kamu memikirkan betapa susahnya aku menahan diri untuk tidak menangis tiap-tiap kamu berceritera tentang kisahmu dengannya?
Ibuku bilang aku bodoh, karena mengejar kamu yang mengejarnya. Ayahku bilang aku bodoh, karena menangisi kamu yang tak pernah bahkan sekedar menyisipkan namaku dalam pikiranmu yang penuh dengan gambaran wanita impianmu itu. Sahabatku bilang aku bodoh, karena menahan rasa sakit, karena tidak memikirkan perasaan pedih ku sendiri demi melihat kamu berbahagia bersamanya. Tapi aku tak peduli, aku tak mau tau apa kata mereka. Yang ku mau hanya kamu. Aku bertahan, pura-pura tidak mendengar cibiran mereka, demi menunggu kembalinya kamu padaku, seutuhnya, tanpa bayang-bayangnya. Aku hanya ingin percaya, yakin, kalau kamu pasti akan ada untukku. Aku juga tak tau, mengapa aku dengan lugunya mau dibawa naik tinggi melayang bersama angan-angan tentang kamu, yang tak lama kemudian jatuh, terhempas, sakit. Bodoh, ya. Dengan polosnya aku percaya kalau kamu juga suatu saat akan merasakan hal yang sama padaku.
Aku tau, kamu pasti mengerti apa yang selama ini aku rasa. Apa telingamu tuli, tersumbat sesuatu, sehingga tak bisa mendengar bisikan hatiku yang berkata sayang? Apa matamu buta, terhalang kabut atau apa, sehingga tak bisa melihat ketulusan dalam setiap tatapanku padamu? Apa kepalamu terbentur sehingga otakmu menjadi parah, sehingga tak bisa memahami bahwa semua senyuman yang kulengkungkan adalah topeng dan kepalsuan untuk menutupi air mataku? Hei, ini cinta, harus bagaimana lagi aku menjelaskannya padamu?
Untukmu, yang masih sulit kulupakan, yang telah pergi tanpa meninggalkan pesan perpisahan, yang memilih berlari mengejar dia yang menurutku tak bisa membahagiakanmu sebaik aku, yang pergi dan tak akan kembali lagi untukku. Terima kasih untuk setiap detik yang pernah kita lewati, bersama-sama, meski hanya dalam status teman. Terima kasih pernah menghibrku di awal perkenalan kita dulu, ketika aku tersedu menangisi seseorang di masa lalu. Terima kasih atas saat-saat indah kita bertukar pikiran kala tengah malam hingga fajar datang. Terima kasih atas kata-kata singkat namun manis dan menenangkan dari mu saat aku terbaring sakit. Terima kasih untuk membawaku terbang tinggi bersama angan tentangmu. Terima kasih untuk lemparan keras, yang menghempaskan tubuh ringkihku ke tanah sehingga aku hancur, bersama harapanku tentangmu, tentang kita.
Kini aku sadar, harusnya dulu aku tidak menggubris ajakan perkenalanmu.
Harusnya kita tak pernah saling kenal dan dekat, sehingga aku tak perlu menangis begini.
Untukmu, yang masih sulit kulupakan -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar