Finally, I'm here again, stepping this part again. Berjalan lagi di jalur yang salah. Jatuh lagi di jurang yang sama. Berjalan terlalu jauh. Jatuh terlalu dalam. Lagi. I used to think that my steps were alright. I used to think that I was choose the right one. Kupikir semua sudah benar. Kusangka pilihanku sudah tepat. Nyatanya, aku mengulangi kesalahan terbesarku yang selalu kulakukan: Mengira kalau semua perhatianmu dan semua ucapanmu padaku itu berarti lebih, padahal nyatanya kosong, padahal itu semua hanya kata-kata biasa. Now, I'm crying, again. Entah untuk keberapa kalinya aku menangis lagi, karena kesalahanku sendiri. Sekarang semua terasa mati.
Aku memilih berhenti, menyerah, sampai di titik ini. Titik terlemahku. Titik persinggahan perihnya batin. Kemarin, kita masih bercengkrama. Bertukar pikiran bersama. Berbagi semua dilema. Iya, aku tau ini terdengar berlebihan. Kamu rasa ini berlebihan, kan? Of course, hell yeah you think like that. Kamu kan tak merasakan apa yang aku rasakan. Harusnya kita bertukar tempat sejenak, supaya kamu tau, bagaimana perihnya jadi aku. Batin ini sudah terlalu sakit. Perasaan ini mulai mati, mulai tak bisa merasakan apa-apa lagi.
Aku ingin bisa membaca isi hati semua orang. Terutama hatimu. Aku ingin bisa melihat, apa yang sebenarnya ada di balik semua perhatian dan kalimat-kalimat manismu. Aku ingin bisa menimang, seberapa jauh rasamu ada bagiku. Kalau saja aku bisa melakukan itu semua, aku pasti tak akan sebodoh ini. Tak akan lagi aku membodohi pikiranku sendiri. Aku terlalu yakin, terlalu membohongi realita, terlalu percaya bahwa semua yang keluar dari mulutmu padaku, semua perhatianmu, semua senyummu, adalah sesuatu yang lebih dari sekedar teman atau sahabat. Kusangka itu cinta. Yah, aku memang aneh. Tolong mengerti, semua orang yang sedang jatuh cinta pasti bersikap aneh, pasti semua yang biasa jadi terasa begitu istimewa, begitu spesial, begitu manis, begitu tulus. Sementara, di balik semua ilusi itu, tersembunyi fakta yang sesungguhnya: Kamu tak menyimpan rasa apapun yang lebih untukku. Aku hanya seorang yang biasa. Wajar kan, aku tersenyum saat membaca percakapan kita di chatbox? Tak apa kan, pipiku merona saat melihat isi pesanmu yang terasa begitu bermakna?
Entah apa ini namanya. Perasaan suka? Iya. Perasaan mencinta? Iya. Perasaan tak ingin kehilangan? Iya. Perasaan tak mau melepaskan? Iya juga. Apa kamu belum kunjung mengerti? Aku serius dengan ini semua, aku bersungguh-sungguh, aku tak pernah bermain dengan hati, batin, dan perasaan.
Aku masih belum paham, hingga detik ini, hingga saat jemari ini mengutarakan semua abjad pilu ini. Kenapa dia? Kenapa bukan aku? Kenapa kamu pergi? Kenapa kamu bertingkah seolah tak ada hal spesial yang terjadi dalam cerita kita? Kenapa begini perih? Kenapa kamu menghindar? Aku memperjuangkan kisah ini, aku berjuang, bertahan, meskipun senyatanya batin ini sudah sangat kelelahan, tapi aku berusaha. Namun, kini apa? Mana hati nurani milikmu? Alih-alih memperjuangkan aku, kamu pergi mengejarnya. Inikah balasannya? Dengan menjadi dingin? Diam padaku? Tak peduli lagi? Tak menghargai usahaku lagi? Tak menghiraukan ucapanku lagi? Kamu parah.
Sekarang kita disebut apa? Hanya teman ya? Iya? Status macam apa? Bukan ini yang kumau. Sesak batin rasanya. Aku ingin kita lebih dari ini, ingin lebih dari garis dan titik ini. Kamu yang sedang terpingkal-pingkal bersamanya, bersama dia yang kau mau, sementara aku yang sedang tersedu-sedan menghadapi kenyataan dan realita kalau kamu yang dulu sudah tiada. Kamu yang dulu sudah mati, kamu yang kini sudah bertransformasi menjadi pribadi yang asing bagiku.
Aku menengok masa lalu, merasa menyesal telah memperhatikanmu serinci itu, menyesal telah menyayangimu sedetail itu. Seharusnya tak usah aku mencari-cari riwayatmu. Semestinya tak usah aku mencoba menanyakan teleponmu, menanyakan semua tentangmu, menggali lebih dalam tentang hidupmu, tentang kamu. Bertingkah polos, seakan-akan hanya kamu lah tujuan terakhir dari semua sisa umurku. Jika sejak pertama aku tak melakukan semua kebodohan itu, harusnya aku tak perlu begini, menangis karena kepergian sosokmu yang dahulu. Harusnya aku tak usah merasakan perih yang sebegini hebatnya.
Aku tolol, memang beginilah aku, selalu menangis karena kesalahanku sendiri yang selalu terulang, berada dan jatuh di jalan yang sama.
Bukan ini akhir yang kumau. Harusnya, cerita kita berakhir dengan genggaman jemari lembutmu, menyelip di antara jemariku, dengan senyuman yang manis menatap masa depan, dengan dekapan hangat tubuhmu yang seolah tak mau melepaskan aku. Tapi apa dayaku, hanya bisa menatap kamu dan dia yang berbahagia dengan cerita kalian yang baru, yang tanpa aku.
Tapi, tetap, doa dariku akan selalu mendekapmu, meski tiada aku bersamamu.
Bandung, 19 Juli 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar