Satu tamparan keras mendarat di pipi kiriku tadi siang. Panasnya masih terasa sampai sekarang. Itu tangan Ayah. Menghujaniku dengan cacian, makian, tamparan, semua yang membuat batin dan fisikku sama-sama kesakitan.
"PERCUMA PUNYA ANAK KAYAK KAMU! KONDISI KAMU NGEREPOTIN!"
Aku bisa apa? Hanya menangis sambil berusaha menutupi wajah dan menghindar dari tamparan-tamparan Ayah yang menyiksaku. Aku ingin melawan, menjawab semua cecaran Ayah, tapi aku juga tak mau mendapat lebih banyak pukulan dan tamparan di sekujur tubuhku. Badanku sakit semuanya, tapi batinku lebih terasa pedih. Ayah memukulku lagi. Aku jatuh tersungkur.
"Ayah, aku tak penah ingin dilahirkan dengan keadaan seperti ini. Siapa yang ingin cacat, Ayah? Kalau boleh memilih, pasti aku akan memilih menjadi anak yang normal. Tak ada yang ingin berada di posisiku, termasuk aku sendiri. Tapi beginilah yang Tuhan berikan. Kenapa Ayah tak bisa menerimanya?" bisikku pada diriku sendiri, tak berani bersuara lebih keras. Aku menunduk. Air mataku mengambang, tak lama meleleh jatuh.
"NGAPAIN NANGIS? SUDAH SANA JANGAN DISITU TERUS, MAU AYAH TENDANG? AYAH KESAL LIAT KAMU!"
Sebegitu menjijikkannya kah aku di mata Ayah? Ayah, aku tahu aku tidak sempurna. Tapi setidaknya hargai aku. Aku juga anak Ayah. Aku anak Ayah yang pertama. Aku selalu iri melihat adik-adikku. Ayah memanjakan mereka. Menyayangi mereka. Tak tega untuk membentak mereka. Lalu kenapa Ayah sebegini kasar padaku?
Buang saja aku, Ayah.
Aku sayang Ayah. Sangat sayang. Inikah rasa sayang Ayah, dengan memukuliku, menamparku, menendangku, menghinaku, memakiku? Kenapa? Apa kalau aku tidak ada, Ayah akan lebih berbahagia? Kalau iya, bilang saja, Ayah! Bilang saja! Karena kalau Ayah meng-iya-kan, aku rela, aku mau pergi, angkat kaki dari rumah ini, demi kebahagiaan Ayah.
Terima kasih, Ayah. Bagaimanapun juga, Ayah tetap Ayahku.
Aku sayang Ayah. Meski Ayah tidak sayang aku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar